8 ~] Gerimis

485 66 21
                                    


.
.
.
.
.

Sudah pukul lima sore saat aku duduk di ruangan Mba Mona dan tim ekspor. Membahas pembagian tugas karena salah satu dari kami akan cuti hamil selama tiga bulan. Dan Mba Mona yang bersikeras enggan merekrut staf baru.

Mba Mona menatap Mas Irfan, "Fan, sementara kamu urus bill payment by air." Kemudian dia menatap Riana. "Dan Riana payment by sea."

Tak lama Mas Irfan mengajukan protes. "Mba, untuk payment terlalu riskan kalau yang ngerjain Riana. Riana masih staf probation. Ini untuk antisipasi saja mengurangi kemungkinan kesalahan nantinya. Lagipula Riana masih beradaptasi sama apa yang dikerjakan sekarang."

"Lalu sebaiknya siapa?" Mba Mona bertanya balik.

"Didi saja, Mba," jawab Mas Irfan.

Aku langsung menengok ke Arah Mas Irfan. Apa maksudnya mengajukan namaku? Padahal aku juga belum pernah mengerjakan urusan payment.

"Aku setuju," Mba Sandra ikut menjawab. "Didi kerjanya cepet." Mba Mona menengok sebentar ke arah Mba Sandra.

"Ok, kalau gitu Didi aja." Mba Mona langsung setuju dengan usulan Mas Irfan. "Untuk beberapa buyer nanti Dina dan Riana yang pegang." Dina dan Riana nampak setuju karena lebih memilih diam.

"Masih ada dua minggu sebelum Sandra cuti, jadi kalian bisa tanya dan pelajari skema kerjanya Sandra." Mba Mona melirik sekilas ke arah jam tangannya.

"Oke, ada pertanyaan?" Mba Mona menatap kami bergantian.
Karena tidak ada yang bertanya Mba Mona langsung membubarkan meeting.

"Mas, kok lo gitu sih, malah ngajuin nama gue, gue kan belum pernah ngerjain payment." Aku berusaha protes pada Mas Irfan saat kami sedang berjalan menuju meja kerja kami.

"Nggak apa-apalah Di, kalau lo bingung nanti bisa tanya gue. Riana tuh bikin PO aja sering selisih sama Merchandiser. Gue nggak mau nanti kerja dua kali revisi kerjaannya dia. Ujung-ujungnya gue yang direpotin."

"Tapi lo ngerepotin gue."

"Udah lah, sama juga yang lain dapat kerjaan tambahan juga dari Mba Mona. Jangan ngedumel, tambah jelek lo."

Aku diam setelah mendengar ucapan Mas Irfan. Aku jadi ingat pembicaraanku dengan Ncu tempo hari. Kalau aku mengeluh seperti ini apa bedanya aku dengan Ncu? Padahal saat itu aku yang dengan sombongnya merasa sok bijak memberikan sedikit penjelasan dengan konsep rejeki. Tapi sekarang saat aku dalam kondisi yang hampir sama tidak bisa berpikir bijak dan malah terjebak dengan ucapanku sendiri.

Astagfirullah.

Seperti buah simalakama apa yang aku ucapkan kepada Ncu aku rasakan juga.

***

Hampir pukul enam, saat aku berdiri di depan lobby kantor. Hujan yang turun cukup deras, hingga membuatku enggan untuk berjalan menuju halte bus terdekat.

Allohuma soyyiban naffiian ... Dalam hati aku melafalkan doa turun hujan ini. Aku pernah mendengar suatu hadist yang menjelaskan jika turun hujan adalah waktu doa yang tepat.

Karena itu ... Aku merapalkan doa lagi dalam hati, lalu memejamkan mata. Belum selesai aku berdoa, saat ada suara yang mengganggu. "Kenapa nggak bawa payung?"

Ck, aku kenal suara ini, si songong menyebalkan. Aku langsung menengok ke arahnya. Menatap malas tanpa menjawab pertanyaannya, sebelum kembali menghadap ke depan, ke arah jalan.

"Udah ketahuan musim hujan, pinter banget sih nggak bawa payung."

Aku hanya menghela nafas dan bergeser menjauhinya beberapa melangkah. Anggap saja tidak kenal orang ini.

It's Okay, I'm Thirty 30Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang