Seperti biasa, sekolah, pulang, pesan ojek daring, rapatkan helm, macet, sampai rumah.
Pulang kali ini terasa berbeda karena sebuah hal kecil yang terbesit dalam pikiran. Entah karena macet atau karena tak ada yang bisa kulakukan selain berpikir, aku mengingat percakapan kami. Setidaknya cukup berkesan untuk hari ini.
Siang hari itu, semua kegiatan berjalan seperti biasa. Rutinitas. Belajar. Namun bedanya, kali ini guru yang mengisi jam pelajaran bahasa Indonesia tidak masuk kelas dan ruangan kami mati lampu karena sepertinya ada kesalahan pada kabelnya atau, entahlah.
Gunting, kertas warna, lem, dan teman-teman menjadi peramai suasana. Dia, seorang laki-laki yang cukup aku kagumi kebetulan sekelompok mengerjakan tugas menghias-apalah itu. Oh. Bukan, bukan. Aku mengaguminya karena kecerdasannya. Jangan salah paham.
Dia duduk di sampingku, menatap kaca smartphone, mencari referensi untuk kegiatan-menghias-apalah ini.
"Duh, cita-citamu apasih? Aku penasaran."
"Cita-cita apa? Pekerjaan?"
"Iya."
Ia mengawang. Sepertinya berpikir.
"Hm."
"Aku tidak tahu. Aku belum menentukannya. Sepertinya aku akan bekerja seperti layaknya pekerja kantoran biasa."
Kini, ia membuatku berpikir. Tak sia-siakah kecerdasan itu jika kau tidak menggunakannya?
"Memikirkan masa depan membuatku takut. Makanankupun, hingga sekarang, masih disiapkan. Aku tak bisa berpikir bagaimana masa depanku.
Orang tua kita semua merupakan sosok figur yang mencerminkan kesuksesan. Aku takut suatu saat aku, ya, aku tidak bisa mencapai orang tuaku.
Bersyukurlah menjadi seorang wanita. Kau hanya perlu bekerja, mendapat uang, dengan begitu dapat dianggap sukses. Sementara kami, harus inilah, itulah.
Aku takut jika suatu saat, semoga tidak, kita terkena penyakit atau apapun yang menghalangi kegiatan mencari nafkah. Sehingga anak-anakku tak dapat makan. Kita tidak tahu apapun yang terjadi.
Seorang laki-laki bisa saja menginginkan kebebasan. Dengan menjadi apa yang ia mau, montir misalnya. Tapi jika mengikuti kebebasan, bagaimana keluargaku nanti? Anak-anakku makan apa?"
Jawaban yang cukup mengherankan. Seorang laki-laki SMA yang sekarang sedang sibuk menghias styrofoam hijau demi mendapatkan nilai kelompok yang baik dan tidak mengikuti semester pendek, memikirkan hal-hal semacam keluarga. Laki-laki yang tak pernah satu hari berpuasa mengucapkan lelucon konyol. Laki-laki yang penasaran apakah bahasa Inggris termasuk rumpun bahasa Jermanik atau Keltik. Semua menjadi aneh.
Kami terdiam sejenak.
"Duh, kalau seandainya kamu nggak nyinyir (dalam hati: kalau bisa lebih ganteng juga), mungkin aku udah suka sama kamu dari dulu."
Aku benar-benar mengatakan dengan sejujurnya. Meskipun yang dekat tak akan pernah mengalahkan yang jauh.
Aku tersenyum, dia termenung.
Hei kawan, terima kasih sudah menyadarkanku betapa seorang yang humoris bisa saja berpikir serius. Terima kasih sudah menyadarkanku bahwa meraih mimpi tidaklah mudah. Kecerdasan tak cukup untuk hidup. Terima kasih sudah merendahkan egoku.