Satu : Kelulusan

65 8 2
                                    

Gerimis membasahi sebagian rumput. Awan abu-abu kehitaman menggelayut. Setitik demi setitik air hujan turun ibarat pasukan tentara yang siap untuk menyerbu. Angin tidak terlalu kencang seperti hari sebelumnya, namun gerimis yang turun sudah lumayan membuatku basah pagi ini. Suasana lapangan kantor tidak ramai diisi oleh siswa yang berbaris seperti biasa, sebab gerimis membuat genangan air yang licin.

Aku berlari kecil dari gerbang sekolah menuju kelas, melintasi kantor dan parkir guru, berpayungkan tas cangklong hijau tua milikku.

"Hamada, cepat!!". Seru seorang teman perempuan memanggil dari depan kelas.

"Iya. Ini juga sudah cepat!!" jawabku sambil tersenyum. Sambil terus melintasi kantor dan parkiran guru menuju kelas.

"Ayo, sini cepat! Aku masih mau cerita soal yang kemarin. Soalnya kan kemarin ceritanya terpotong. Coba nggak keburu pulang.!"

"Iya sabar.. Baru juga sampai. Ini kan masih pagi. Kan bisa ceritanya ditunda pas jam istirahat.!"

"Iya sih, tapi masalahnya ceritanya udah diujung lidah nih.!" kata wanita itu dengan ekspresi tak sabaran.

"Sabaar,, innallaha ma'as shaabiriin.." Kataku dengan lembut sambil tersenyum. "Bajuku masih agak basah nih kena gerimis, aku keringin dulu biar enakan. Nggak enak kan kalo dengar ceritanya tapi sambil ngibas-ngibas baju."

"Yaahh. Ya udah cepetan yah." jawabnya gemes dan sedikit kecewa.

Namun dia tetap menungguku mengeringkan pakaian. Sambil sesekali memelintir rambut ikalnya.
Dia bernama Sofia, salah satu sahabat ku yang berwajah cantik dan bersifat penyayang. Namun dia memiliki sifat agak seperti anak-anak. Jadi apa saja keinginannya harus terpenuhi segera. Sebab ia akan jadi marah dan merajuk jika tidak dipenuhi.

Aku mungkin satu-satunya yang sedikit bisa memahami karakternya. Hingga akhirnya ia bisa jadi sahabatku saat ini.

Awalnya saat ia sedang patah hati karena hubungannya dengan pacarnya harus putus karena sang pacar dijodohkan dengan pilihan orang tua. Ia memiliki pacar yang sudah dijalin sangat lama. Namun kini harus berhenti.

Tidak sengaja aku mendapatinya sedang duduk sendiri dibawah pohon samping kelas. Pohon yang biasa ku jadikan tempat merenung dan menatap indah pemandangan alam ciptaan Allah. Tempat dimana ku lepaskan beban setelah pelajaran-pelajaran yang ku anggap melelahkan selesai.
Saat itu, ia sedang duduk sambil terisak.
Aku dan dia sebelumnya tidak begitu akrab. Sebab aku memang tidak terlalu banyak bergaul dengan perempuan. Kebiasaan yang sudah sejak SMP ku lakukan.

Meskipun sekelas kami pun jarang bertegur sapa keculi diskusi di dalam kelas. Bukan cuka dia, tapi juga teman perempuan ku yang lain.

Saat itu dipikiranku, kenapa tumben ada orang lain disini. Padahal teman-teman yang lain juga tahu bahwa itu adalah tempat ku beristirahat jika jam mata pelajaran sudah selesai.

Saat aku masih bergelut dengan pertnyaan itu, dia tiba-tiba berkata :"maaf yah kalo aku duduk sebentar disini. Sebentar aja."

Aku jadi kaget, namun segera ku tepis dan berkata :"oh iya tidak apa-apa. Silahkan. Kalo begitu aku duduk disebelah sana saja" sambil nunjuk gazebo kecil tak jauh dari pohon. Tujuan ku biar setelah dia selesai, aku bisa langsung kembali ke pohon itu.

Sebelum aku beranjak, dia kembali berkata :"boleh aku bertanya?"

"Oh?? Bertanya? Oh iya silahkan." Jawab ku

"Apakah salah kalo aku setia pada seseorang tapi, justru kami harus terpisah karena keputusan orang tuanya memilih orang lain?"

Dari pertanyaannya ini, aku kini tau sebab ia duduk di pohon itu. Dia sedang patah hati dan ingin menjauh sejenak dari teman-teman yang lain untuk meluapkan sedihnya.

Sejak saat itulah kami jadi akrab dan bersahabat.

***

Suasana kelas menjadi riuh setelah ibu guru menjelaskan bahwa acara kelulusan sebentar lagi.

Bayang-bayang menjadi seorang mahasiswa seolah ada didepan mata. Dan juga menjadikan Cita-citaku menjadi seorang ilmuan menjadi semakin dekat. Selepas ibu guru keluar, seperti biasa aku dan teman yang tegabung dalam kelompok belajar khusus Jurusan IPA yang kami beri nama SAICO yang berarti SAINS COMMUNITY berkumpul dibelakang kelas. Kelompok belajar yang hanya terdiri dari 10 orang anggota yaitu Aku, Abdullah, Rita, Ani, Putra, Johar, Ricko, Sinta, Susi dan Hafidz ini melakukan diskusi kecil dan juga tukar pikiran.

Hari ini temanya bebas tentang tujuan setelah lulus. Satu persatu mengutarakan tujuan dan cita-cita masing-masing. Banyak dari mereka memilih menjadi guru, sebab guru yang ada dikabupaten kurang memadai. Ada juga yang memilih menjadi pengacara, ada juga yang memilih sesuai jurusan keilmuannya. Aku sendiri memilih menjadi seorang pakar Ilmu Kimia, sebab kecintaanku terhadap ilmu kimia sangat besar sehingga memilih untuk masuk pada jurusan itu.

Kawan-kawann sangat mendukungku. Kini aku menjadi semakin semangat untuk masuk pada jurusan yang ku idam-idamkan.

****

Waktu terus berlalu. Hari demi hari ku lalui dengan campur aduk. Kadang bahagia sebab ujian telah berakhir. Namun kadang menjadi tegang sebab khawatir hasil ujian tidak Memuaskan. Bulan ini adalah bulan Juni. Dua bulan lalu siswa tingkat akhir telah melakukan Ujian Nasional Setingkat SMA. Ujian yang menurutku adalah hidup mati bagi seorang siswa. Dan tepat hari ini, tanggal 20 Juni adalah hari pengumuman kelulusan bagi kami. Sebelum apel pagi dimulai, aku dan teman yang lain berkumpul bersama saling menguatkan apapun hasilnya nanti.

"Ini adalah hari pengumuman kelulusan. Apapun hasilnya maka itulah batas kemampuan kita. Sebab ini adalah ujian. Artinya kita diuji sampai dimana pemahaman kita selama ini." kata Abdullah memberi semangat. Kata-katanya sedikit memberikan ketenangan dihati.

"Iya, betul. Kalo kita nggak lulus. Berarti kemampuan kita masih dibawa rata-rata.." sambung Rita memotong kalimat Abdullah. Namun kata-katanya ini justru menurunkan semangat.

"Tapi kalo kita yakin dengan kerja keras kita dalam ujian kemarin, maka kita tidak perlu khawatir dengan hasil hari ini kan?" kata Ani kembali sedikit menyemangati.

"Di atas segalanya ada Allah. Lulus enggak lulus itu sudah qadarullah. Sudah ditulis di Lauhil Mahfudz. Jadi tak usahlah khawatir dan bersedih hati kalo enggak lulus. Allah enggak bakal uji HambaNya di luar batas kemampuannya. Iyakan??" kata ku ikut menyemangati yang lain.

Dalam keadaan menunggu, gerimis kembali menemani segala rasa hati mereka. Menemani dalam penantian pengumuman kelulusan. Satu persatu bersusulan turun. Hingga kembali menambah debit air yang berada ditengah lapangan sekolah.

"Allahumma shoyyiban naafi'an." gumamku lirih. Sambil berdoa "semoga kami semua lulus."

***

Cita-cita Menuju CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang