Selepas sholat subuh berjamaah di masjid aku masih duduk membaca dzikir pagiku. Lalu ku lanjutkan menyelesaikan tilawah Al Quran setengah juz yang belum aku selesaikan kemarin. Iya, aku membiasakan diri untuk menyelesaikan setiap hari minimal satu juz tilawah Al Quran dan dzikir pagi dan petang. Itu adalah target harian yang aku buat agar tilawah dan dzikir ku lebih teratur. Jika hari ini tidak terselesaikan karena kesibukan atau hal lain, maka aku akan jadikan hutang pada diriku dan akan aku bayar keesokan harinya.
Aku selesai tepat pukul enam pagi. Sebelum pulang, aku menyempatkan diri untuk melakukan sholat sunnah syuruq dan dhuha. Sampai di rumah aku mempersiapkan segala keperluan untuk ujian seleksi hari ini. Sebenarnya aku agak kurang bersemangat mengikuti ujian hari ini. Sebab perasaanku masih belum rela untuk kuliah ditempat yang bukan pilihanku. Tapi karena mengingat kondisi keuangan bapak yang tidak memungkinkan, dengan berat hati aku iyakan.
"Hamada bagaimana? Sudah siap berangkat hari ini?". Tanya ibu padaku saat melihat aku sedang duduk diruang tamu menunggu kakak memanaskan motor.
"InsyaAllah lah bu." jawabku singkat
"Loh kok gitu jawabnya. Yang semangat dong. Ini kan salah satu bentuk jihad jaman sekarang. Kalo dulu dimasa Nabi orang berjihad dengan pedang, maka sekarang jihadnya dengan pena." kata Ibu sambil mengelus lembut rambutku.
"Iya bu InsyaAllah siap." kataku sambil menarik nafas panjang. Ibu hanya tersenyum melihatku.
Ibu sebenarnya tahu bahwa ujian ini bukanlah yang ku inginkan. Sebab sebelumnya aku pernah bercerita pada ibu bahwa hanya kuliah di kotalah yang aku inginkan dengan alasan tidak ingin jauh dari rumah. Biar mudah jenguk mereka kalau sedang libur. Walaupun aku yakin ibu tahu sebenarnya keinginanku kuliah dikota dengan alasan lain. Ibu juga faham bahwa aku peduli kepada kondisi bapak. Makanya ibu tidak berkomentar apa-apa soal seleksi ini.
"Sebelum berangkat, kalian sarapan dulu. Biar lebih bertenaga." kata ibu mengingatkan kami.
"Iya bu." jawabku.
Aku tidak berharap besar bisa lulus ujian kali ini. Justru aku berharap tidak lulus sama sekali atau bahkan aku didiskualifikasi hari ini dengan alasan yang aku tidak tau. Tapi sampai pukul tujuh kakak tidak memberi kabar itu. Aku pasrah.
Kami berangkat ketempat seleksi menggunakan sepeda motor milik bapak. Dengan pakaian yang lumayan rapi menggunakan kemeja ungu dan celana kain coklat tua serta sepatu yang kupakai sewaktu masih sekolah dan kakak menggunakan semi koko putih dan celana kain hitam berbalut jazket ala mahasiswa, kami berangkat.
Sekitar tiga puluh menit setelah menempuh perjalanan beberapa kilo dari rumah ke kota. Kaminpun tiba di tempat seleksi penerimaan berlangsung.
Kami masuk di sebuah ruang kantor tempat aku ujian.Pukul delapan kami sampai. Nuansa kantor terasa begitu mewah dengan meja panjang di tengah dan delapan kursi di kiri kanan berjejer rapi. Satu kursi diujung meja dan satu layar proyektor besar di dinding sisi meja yang lain.
Saat kami masuk dalam ruangan ternyata sudah berkumpul beberapa orang peserta ujian lain. Mereka semuanya laki-laki. Mereka semua dari berbagai daerah di Sulawesi Tenggara. Masing-masing tiga dari Konawe Utara, dua dari Raha, dua dari kota Kendari, satu dari Bau-Bau, satu dari Konawe dan aku sendiri satu-satunya dari Konawe Selatan yang ikut tes hari ini.
Sambil menunggu waktu ujian tiba, kami sempat berkenalan dan saling sapa. Mereka semua ramah dan baik. Bekas wudhu dan sujud nampak diwajah mereka. Aku berprasangka bahwa mereka adalah orang-orang yang sholeh. Daerah mereka pasti tidak sembarang mengutus mereka kesini. Mereka pasti pemuda-pemuda pilijan yang sudah diyakini kemampuan mereka. Aku berfikir bahwa mereka semua pasti akan lulus. Seketika ada sedikit rasa khawatir tidak akan lulus jika bersaing denga mereka. Padahal ujian ini tidak kuharapkan bisa lulus sama sekali. Tapi entah kenapa rasa takut itu tiba-tiba muncul.
Satu jam dari waktu yang dijadwalkan sudah lewat. Tapi ujian belum juga dimulai. Panitia tidak memberi tahu penyebabnya. Mereka hanya datang membawakan kami snack dan minuman, menyapa kami sambil tersenyum lalu keluar dari ruangan. Rasa bosan mulai menghampiri kami semua, dan juga rasa khawatirku yang sedari tadi menghiasi bayang-bayangku juga tergantikan dengan rasa bosan. Kami semua satu persatu beranjak keluar dari ruangan menuju teras tempat kami berada agar rasa bosan sedikit hioang dan sedikit menyejukkan pandangan.
Kami melihat kesibukan panitia yang lalu lalang seolah tak menghiraukan kami. Mereka hanya berhenti sejenak sambil berkata.
"Sabar ya,, ustadznya lagi dalam perjalan dari bandara. InsyaAllah sebentar lagi sampai." Melempar senyum lalu berlalu.
Untuk menghilangkan rasa bosan kami, kami saling tukar cerita tentang asal daerah dan sekolah masing-masing. Juga kegiatan keseharian kami. Ternyata dugaan ku memang benar. Disekolah asal mereka, rata-rata mereka adalah aktifis Rohis. Sedangkan aku hanya anak seorang petani biasa yang belajar agama dari guru ngaji di TPA. Nyaliku untuk meneruskan ujian inipun makin kecil. Aku sedikit pucat. Merasakan rasa gugup berbicara dengan mereka. Sebab pembahasan mereka saling berhubungan. Cuma aku sendiri yang hanya mengangguk ketika mendengar cerita mereka dan ikut tertawa saat mereka tertawa.
Ketika lagi asyik cerita, tiba-tiba salah seorang panitia berhambur keluar menuju mobil Van Silver yang berhenti tepat didepan kantor dan bergegas membukakan pintu mobil. Dari pintu mobil keluarlah seorang lelaki agak kurus dan jangkung. Aku sangat terkesima melihatnya. Orang itu mengenakan kacamata, dan setelan jaz, bawahan kain hitam, semi sepatu serta menenteng tas laptop. Panitia tersebut menunduk sambil menyalami lelaki tersebut. Tampak dari penampilannya orang itu sangat berwibawa. Aku langsung yakin bahwa ini pasti ustadz yang dimaksud panitia yang bakal jadi penguji kami hari ini.
Saat memasuki ruang depan kantor, dengan wibawa yang dimilikinya ustadz penguji itu melewati kami dengan sekedar menatap sekilas dan tersenyum. Tanpa berhenti sedikitpun untuk sekedar basa basi pada panitia, ustadz itu langsung menuju ruang ujian. Kami pun segera menuju ruang yang sama ustadz itu masuk.
Saat melihat ustadz penguji kami, seketika aku kembali merasakan gugup yang sangat hebat. Panas dingin menyelimuti tubuhku. Sebab tampak jelas dari wajahnya beliau adalah orang yang sangat berilmu. Aku terus memerhatikan beliau yang sedang sibuk membuka laptopnya ditemani panitia yang sebelumnya menjemput beliau. Perasaanku jadi campur aduk, antara gugup, takut, khawatir dan cemas jika jawaban yang ku berikan nanti tidak berkompeten. Terlebih ketika aku tahu para peserta lain tingkat keilmuan mereka diatas rata-rata. Padahal ujiannya belum dimulai sama sekali.
***
Sampai dirumah aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku benar-benar merasa lelah. Setengah hari ini tenagaku banyak terkuras. berangkat dengan jarak yang lumayan jauh. pukul setengah dua siang kami baru mulai ujian. Padahal jadwal yang diberikan sebelumnya pukul sembilan pagi.
Namun ustadz penguji kami baru datang sekitar pukul sepuluh.Ustadz penguji itu bernama Jumadil Muhammad. Ia seorang sarjana sastra di Universitas Muslim Indonesia, Makassar. Meki nampak sederhana, namin penampilannya sungguh memikat bagi siapa saja yang melihatnya. Tutur kata dan cara bicaranya menandakan ia seorang yang sangat cerdas. Pantas saja saat beliau tiba, ia disambut oleh panitia dengan rasa hormat yang besar. Padahal dari wajahnya bisa terlihat ia masih sangat muda. Sekitar umur tiga puluh lima. Namun hal itu tidak mengurangi rasa hormat mereka padanya.
Di ruangan berukuran lima kali sepuluh meter itu adalah ruang rapat kantor yang sekaligus menjadi ruang ujian kami, agenda ujian diadakan. Dimulai dengan materi ringkas dari Ustadz Jumadil, berupa ceramah singkat, selayang pandang kampus yang akan kami masuki, dan beberapa slideshow berisi film pendek tentang kejayaan masa depan dengan kecanggihan teknologinya. Saat materi berlangsung rasa gugup yang sedari tadi menyerang ku perlahan hilang berganti kekaguman ku pada sosok yang ada di depan ku ini. Dia begitu ramah, baik juga sangat berwibawa. Hingga sedikit terbesit untuk bisa lulus pada ujian seleksi ini agar bisa mengeyam pendidikan dikampus masa depan seperti yang beliau paparkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cita-cita Menuju Cinta
SpiritüelKisah anak Rantau Pulau Sulawesi Ceritanya insyaAllah akan terus diperbaharui. So jangan lupa komen dan follow juga vote. Agar ceritanya bisa terus berkembang..