Awal

15 3 1
                                    

Namaku, Nimas Pamela. Aku biasa dipanggil Nimas. Aku siswi kelas 11 di sebuah SMA tersohor, di Bandung.

Ya, aku orang yang kaku. Aku tidak terkenal di sekolah, tidak pula menjadi bahan olok-olok kakak kelas. Aku hanyalah aku.

Aku memiliki seorang sahabat. Kami telah bersahabat sejak kelas satu SMP. Namanya, Alifya Anshar. Alifya orang yang sangat mengerti aku.

Selama ini, ia yang selalu mendengar keluh kesahku. Saat aku menangis, ia selalu berusaha menghiburku, walaupun aku merasa lawakannya receh dan gak lucu.

Hidupku terasa hambar, hanya seperti biasanya. Sekolah, belajar, minum vanilla latte di kafe, dan pulang. Ya, itu rutinitas yang aku lakukan setiap harinya. Walau terkadang, Alifya suka memberikan sedikit bumbu terhadap hari-hari hambarku.

Filsafat adalah duniaku. Jonstein Gaarder, seorang filsafah yang membuatu terlena akan teori-teori dan opini-nya tentang filsafat.

Aku juga rutin mengajar anak-anak kurang beruntung di hari Minggu. Nama tempatnya Permata Hati, aku hidup dan tumbuh bersama mereka.

Aku hanya seorang aktivis remaja yang selalu menerka-nerka perihal Hak Asasi Manusia. Aku selalu mengikuti kegiatan keremajaan yang berhubungan dengan anak-anak. Salah satu mimpiku adalah ; membangun sebuah panti asuhan untuk mereka yang membutuhkan.

Alifya selalu bilang kalau aku orang yang terlalu baik atau semacamnya, tapi menurutku, aku melakukan ini karena aku merasa mereka patut untuk diperjuangkan. Mereka juga berhak untuk dapat merasakan indahnya kebahagiaan. Dan berhubung, aku juga menyukai anak-anak.

Ya, hal itu sudah seperti sebuah siklus yang memenuhi hidupku. Terkadang, memang terasa membosankan.

Sampai aku berjumpa dengannya.

Dia, Angga Satria.

Angga, kakak kelas di tempatku bersekolah. Dia juga seorang aktivis yang bergerak di bidang lingkungan. Dia seorang pecinta alam, ia sering mendaki gunung, dan selalu ikut dalam kegiatan kepramukaan. Dia juga aktif dalam organisasi OSIS di sekolah.

Aku hanya seorang dari banyak orang penggemar Angga. Tapi, aku hanya seorang penggemar rahasia, yang malu kala menunjukan kekaguman di hadapan sang Idola.

Aku sudah menaruh rasa dengannya sejak masa orientasi. Dia sebagai penanggung jawab kelasku, saat itu.

Banyak dari teman-temanku yang mengidolakan Angga. Kalau dibandingkan dengan teman-teman yang lain, mungkin, aku hanya seorang angin lalu.

Aku tidak pernah melihatnya bersama perempuan manapun, tapi aku sering melihat perempuan yang mencoba mendekatinya.

Sedihnya lagi, perempuan-perempuan itu selalu ditolaknya, walaupun secara halus, tapi tetap saja.

Seperti tidak mungkin jika aku disandingkan dengan seorang Angga yang bagaikan burung elang. Tajam, tegas, dan tangkas.

Aku mungkin hanya seekor ayam. Kaku, tak teranggap, dan hanya mematuk-matuk tanah.

Walaupun, boleh apabila kita bermimpi setinggi langit. Tapi kan, sakit juga kalau ujungnya berbeda dengan ekspektasi. Realita memang selalu melukai hati seorang pengharap.

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang