Keempat

7 2 0
                                    

Aku membuka mulutku lebar-lebar, tak percaya dengan kabar yang barusan aku dengar.

Aku merasa sangat lemas, kakiku menyentuh tanah, ponselku jatuh mengenaskan membentur trotoar.

Aku terus menggeleng-gelengkan kepala, berharap kalau ini hanya mimpi buruk yang akan berakhir kala aku membuka mata.

Faktanya tidak.

Mama menghampiriku yang masih terduduk lemas di pekarangan, memelukku erat.

“Nimas, kamu kenapa nak? Angga mana?!” tanya mama panik, melihat keadaanku yang tampak mengerikan sekarang.

“Angga ma, Angga,” sahutku pelan, tak mampu berkata-kata.

“Angga mana, nak? Ada apa dengan Angga?!” seru mama panik.

Aku melepaskan pelukan mama. Mundur, berusaha menjauh dari siapapun yang berada di dekatku.

Aku kembali terisak dan berteriak kencang, “Angga KECELAKAAN MA!”

Dan saat itu juga, aku pergi keluar pagar, segera menuju rumah sakit yang diberitahukan polisi tadi.

Teriakan mama tidak berpengaruh apa-apa saat itu. Aku seperti orang gila, ya, orang yang gila karena Angga.

Aku sampai di rumah sakit itu, isakan masih setia menemaniku. Aku berjalan menuju meja resepsionis.

Petugas disana terkejut melihat penampilanku.

“Angga mana!” teriakku.

“Nona tenang dulu ya, minum air putih ini dulu, tenangkan diri dahulu, nona.”

Sekuat tenaga aku menahan segala pikiran buruk yang kian menghampiriku. Aku berusaha tenang. Setelah tenang, petugas itu tersenyum.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis itu ramah.

“S-saya mencari Angga.” Resepsionis itu tampak mengerutkan dahi dan kemudian mengangguk.

“Pasien Angga ada di kamar Sakura, lantai 1.” Aku segera pergi dari sana tanpa mengucapkan terima kasih atau semacamnya.

Mataku menelusuri setiap kamar di lantai satu, sampai aku melihat sebuah kamar yang tengah ramai penjenguk.

Orang-orang disana menampakan wajah sedih, ada beberapa yang menangis.

Aku mencoba mendekat melihat kamar itu. Kamar Sakura. Seperti kata resepsionis tadi.

Aku segera menerobos masuk, orang-orang tampak bingung dengan keberadaanku, tapi, aku tidak perduli.

Aku memasuki kamar, betapa terkejutnya aku melihat seseorang yang kucinta dan seorang yang sangat berharga bagiku, terbujur kaku disana. Kulitnya memutih, matanya terpejam, tubuhnya bersimbah darah.

Aku berjalan mendekat, “Angga."

Aku mengguncang tubuh rapuhnya pelan, berharap ia mendengar. “Angga ini aku, Nimas,” panggilku lagi berharap ia bangun dan kembali memberikan senyuman lebarnya untukku.

Tiba-tiba seorang wanita setengah baya, memelukku erat. Wanita itu menangis disana.

“Angga sudah tenang disana, doakan Angga, Nimas.” Aku membelalakan mata mendengar itu. Segera aku melepas pelukannya.

“Gak! Angga gak mungkin pergi! Angga mau nemenin aku jalan! Angga gak mungkin pergi!,” teriakku.

Aku kembali menghampiri Angga, menepuk-nepuk pipinya supaya ia bangun. “Ga, Angga bangun. Angga bangun, ga. Aku disini. Aku disini, ngga. Angga bangun! Angga bangun! ANGGA BANGUN, ANGGA!”

Aku terus meronta, sampai aku merasa seseorang mengusap kepalaku disana.

Mama hadir disana bersama papa.

“Ikhlaskan dia nak, dia sudah tenang disana.” Aku melunak mendengar perkataan mama.

“Angga bahagia nak disana.” Kali ini papa yang berseru.

Aku masih terisak, mataku menatap Angga yang tampak mengenaskan. “Angga ma, pa, Angga. Kenapa Angga ninggalin aku, ma, pa! Aku sayang sama Angga! Harusnya malam ini, kita jalan-jalan.”

Mama ikut menangis mendengar ocehanku. Mama memelukku erat. Menyalurkan kekuatan seorang ibu disana. Menyuruhku untuk tetap tegar dan tetap tersenyum.

“Kamu gak boleh nangis, nanti Angga sedih kalau kamu nangis.”
Aku terisak dalam pelukan mama.

Sampai aku merasa pandanganku menggelap, aku jatuh tak berdaya.

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang