7. Beautiful View, Beautiful Moment, and Beautiful You

75 9 0
                                    

Lebih nyaman begini, selalu bersama bisa saling menjaga. Tapi lebih sakit begini, selalu bersama tapi tanpa ada ikatan.

"Rin kamu nggak lapar?" Alvin bertanya pada Airin di beberapa meter sebelum mereka sampai di Monas.

Tak ada jawaban yang dilayangkan Airin, entah karena terlalu asyik memandangi jalanan ibukota sehingga ia tak mendengar, atau karena hal-hal yang lain.

"Rin?" Alvin mengerem motornya untuk menyesuaikan dengan beberapa kendaraan di depannya yang juga mengerem menuju kecepatan nol, karena traffic light sudah menunjukkan warna merah.

"Lah, kamu tidur?" Alvin terkejut saat ia mengerem, kepala Airin sudah terletak di bahu kanan Alvin.

Beberapa pengguna jalan yang menuruti hukum lalu lintas seperti Alvin pun memandangi mereka. Tak sedikit pula yang senyum-senyum melihat manisnya mereka berdua.

"Dek, itu pacarnya ketiduran."

Salah satu pengguna jalan—bapak-bapak—berniat baik dengan memberitahukan kepada Alvin tentang kondisi Airin—sahabatnya, bukan pacar—yang sedang diboncengnya.

Alvin mengucapkan terima kasih kepada bapak tadi karena telah peduli dengan keadaan sekitar, walaupun sebenarnya Alvin sudah tau kalau Airin ketiduran.

Dengan pelan, Alvin merogoh kedua tangan Airin—membuatnya melingkar di pinggang Alvin, agar Airin tak terjatuh saat ia berkendara nanti.

🌸🌸🌸

"Rin udah sampe." Alvin menepuk tangan kanan Airin, berusaha membangunkannya.

Entah mimpi apa Airin sepanjang perjalanan tadi, bisa-bisanya ia senyum-senyum sendiri saat bangun dan bangkit dari bahu kanan Alvin.

"Kok nyampenya cepet banget ya?" tanyanya polos, padahal mereka berkendara hampir satu jam.

Dengan tak menghiraukan sedikitpun, Alvin menyuruh Airin turun dari motornya.

"Iya ntar deh." Airin menuruti perintah Alvin dengan wajah cemberut khasnya kepada Alvin. Pelan-pelan namun pasti, akhirnya kakinya pun mendarat.

Tak selang berapa lama, Alvin juga turun. Kemudia ia melepas helm dari kepalanya, yang diikuti juga oleh Airin.

Airin tiba-tiba langsung terhenyak sadar dari sisa-sisa mimpinya saat melihat ujung dari Monas itu yang berkilauan membuat matanya silau.

"Ke atas yuk Vin?" Airin menarik lengan Alvin seperti anak-anak yang meminta lolipop dari ayahnya.

Alvin melirik Airin heran. "Tadi protes," sindir Alvin memainkan alis kanannya.

Kesal, Airin melepaskan langsung tangannya yang melingkar di lengan Alvin. "Yaudah pulang aja sekarang," jawabnya ngambek.

Alvin dengan gemas menarik rambut Airin yang sudah tak rapi karena terjajah helm.

"Kamu jangan suka ngambek gitu bisa nggak? Gemesin tau. Pengen gigit," kata Alvin. Karena semakin gemas melihat mulut Airin yang manyun, ia lantas menangkap kepala mungil Airin lalu mengacaknya dengan puas.

"Alvinnnn!" Airin menggeliat, tangannya berusaha memukul Alvin.

Sedangkan Alvin terkekeh senang, suaranya pun dapat terngiang hingga radius sepuluh meter, sampai-sampai orang di sekelilingnya memerhatikan tingkah laku kekanakan mereka—tapi sedikitpun tak disanggah Alvin—bodo amat.

"Iya, iya, ampun Rin." Akhirnya Alvin nyerah, daripada badannya remuk dipukuli Airin.

Airin manyun lagi-lagi. "Makanya jangan jahil!" seru Airin berkacak pinggang.

Childish LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang