2 Granat Bocah Konyol

12.8K 1.8K 56
                                    

Jossy POV
Aku menatap pasangan suami-istri yang berjalan menjauh. Bathinku mengulang kalimat paling handal mengusir semua khayalan bodoh yang mengendap di kepalaku.

Dia bukan milikmu, Jo. Lepaskan dia, begitu suara bathinku mencoba menenangkan debaran jantung yang semakin menyakiti akalku.

"Apa mata saya yang salah melihat sampai otak saya secara nggak sopan menyimpulkan ada yang..."

Ya Tuhan, aku melupakan sosok konyol di sisiku ini. Apa yang tadi dia katakan? Dan apa-apaan tampang konyolnya itu menatapku bak seorang tersangka. Siapa dia berani bersikap begitu kepadaku? Fine, he's the one of the heirs. Tapi siapa yang peduli. Dia hanya si bungsu yang paling tertinggal performanya dibanding dua calon pewaris lain.

"Apa yang mau kamu bilang?" Aku bertanya ketus.

Dia menatapku misterius lalu menggeleng. "Nothing. Sudah hampir habis jam makan siang, nanti ibu SPV marah kalau saya belum balik ke meja."

Bawahan satu ini memang paling bisa membuatku kesal. Ocehannya tidak pernah jauh dari menyindir. Entah bagaimana aku akan menjalani tugas dari Ibu Yulia untuk mendidik putera bungsunya menjadi karyawan teladan jika sekarang saja dia masih bertingkah seperti anak abege yang senang bermain-main.

"Saya balik kerja ya, Bu. Permisi," katanya. Tidak sampai tiga langkah dia memutar badannya menghadapku. "Saya punya tiga menit sebelum jam satu, jadi kita belum terikat hierarki perusahaan. Rai isn't single anymore."

Ap-

Apa?

Apa yang dia maksud? Apa dia tahu perasaanku pada Raihan? Tidak mungkin, tidak seorang pun mengetahui hal ini. Aku tidak pernah membagi kisah ini pada siapapun.

"Cari pria lajang lain. Simpan perasaan ibu untuk pria yang lebih berhak, your future husband maybe," lanjutnya tanpa ekspresi.

"Jangan berbicara yang-" kalimat tertelan kembali karena sahutannya yang mengena pada diriku.

"Jika saya salah, tolong maafkan. Jika benar, tolong maafkan juga. Saya yang paling salah mencoba membahas apa yang bukan termasuk dalam hak saya." Lalu dia berjalan menuju kubikelnya.

Aku membeku sesaat. Apa segitu ketara perasaan sukaku pada Raihan hingga bocah itu bisa melihatnya?

"Jossy!" Satu suara dan tepukan di bahu mengembalikan kesadaranku.

"Ya, Ge." Aku senang bukan bocah cengengesan itu yang kembali mengusikku. Melainkan Gemmy, kakak keduanya yang mempunyai aura lebih bersahabat dibanding saudaranya yang lain.

"Ada waktu sebentar? Gue mau ajak lo bahas rencana perusahaan selama bulan puasa," kata Gemmy.

"Tentu." Aku mengikuti langkahnya yang menggiringku masuk ke dalam ruang kerjanya.

Selama aku melakukan diskusi dengan Gemmy, kepalaku bisa melupakan granat yang tadi dilempar bocah konyol itu. Namun sekembalinya aku dari ruangan Gemmy, aku harus menghadapi pemandangan si bocah konyol yang mengidap Peterpan sindrom bersama kakak tertuanya.

"Darimana, Jo?" Raihan menyapaku dengan senyuman lembutnya. Aku selalu senang bagaimana dia memanggil namaku menjadi Jo. Seolah hanya dia pemilik nama panggilan kecil itu semenjak ibuku meninggal.

"Gemmy ajak meeting dadakan," jawabku sambil membenahi sejumput rambut ke balik cuping telinga.

"Gemmy punya beberapa ide untuk menarik calon tenant pindah ke kita," kata Raihan sambil bersandar ke dinding kubikel adiknya.

"Kalau mau bahas pekerjaan para eksekutif, silakan pindah dari depan kubikel saya." Si pengidap Peterpan sindrom memotong ucapanku sebelum sempat terlontar.

Magic StickTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang