Keenan... nama tubuh laki-laki ini. Hebatnya, semua memori di tubuhnya bisa kurasakan. Luka di telapak kakinya, jerawat kecil di bawah dagunya, bahkan kelamin laki-laki ini bisa kurasakan. Aku tidak mengambil alih sepenuhnya. Aku duduk di sini. Menjadi penonton dari semua yang dilakukannya. Seolah aku yang melakukan, namun tidak. Seolah aku terpisah dari tubuhnya, tapi tidak. Aku bersemayam di balik dua matanya.
Untuk sesaat aku nyaris menangis karena merasa kehilangan sesuatu. Merasa ada seseorang yang sedang menungguku. Tapi aku lupa siapa dirinya. Yang kuingat sekarang hanyalah memori yang dimiliki anak ini. Keenan.
"Keenan, mulai besok papa dan mama pergi ke luar kota. Jagalah adikmu, jangan bertengkar."
"Baik, pa." anak yang sepertinya baik hati ini menjawab dengan tenang sambil mengunyah roti dengan selai coklat. Aku ikut merasakan manisnya selai itu, begitu nikmat. Seperti pertama kali merasakannya meski aku sadar, aku pernah memakan semua yang dimakannya. Hanya saja memoriku terpatri akan memorinya sekarang.
Anak ini berusia 18 tahun. Pelajar SMA. Seorang laki-laki yang tidak banyak bicara, tidak juga banyak bertingkah. Masa kecilnya cukup bahagia, tapi juga traumatis. Anak ini takut dengan orang-orang bertubuh besar. Anak ini seorang korban perisak.
Lalu seperti pada umumnya, pagi dimulai dengan berangkat ke sekolah. Kedua kaki Keenan mengayuh sepedanya riang. Aku tersenyum, menikmati udara yang menghembus ke wajah Keenan.
Melalui Keenan, aku melihat orang-orang dengan cara yang berbeda. Persepsi mata Keenan dan mataku dulu sangat bertolak belakang. Jika aku, seorang perempuan, bisa melirik tanpa memalingkan wajah. Keenan tidak bisa demikian. Itu karena perempuan terlahir dengan pengelihatan periferal yang lebih luas. Cara otak kami menggunakan informasi pun berbeda. Keenan lebih suka membuat kotak-kotak kecil dalam pikirannya. Sementara aku, bisa menarik garis elastis pada apapun yang tersangkut di pikiranku.
Yang lucu adalah... Ereksi. Aku baru pertama kali merasakan bagaimana rasanya ereksi lewat tubuhnya Keenan.
Tapi sayang sekali, Keenan tidak semurni wajahnya di permukaan. Keenan menyukai sesama jenis. Aku tahu karena di otaknya tersimpan berbagai gambar yang pernah dilihatnya. Dia menyukai laki-laki.
Tapi beruntung, tak satupun laki-laki di sekolahnya ini sesuai ekspektasinya. Pada umur belia seperti ini, anak laki-laki selalu membayangkan pasangan yang super sempurna. Wajah bersih, tubuh tinggi, tampan, bertubuh indah. Hal yang mustahil didapatkan dari siapapun yang hidup di dunia nyata. Karena di sini, lewat matanya aku bisa melihat betapa wajarnya orang-orang. Tidak ada yang sesuai dengan ekspektasi Keenan.
-✾-
"Mau main pulang sekolah?"
"Yuk... Kemana?"
"Ke rumahmu, yuk!"
"Boleh..." kelihatannya menyenangkan, apa mereka akan bermain games?
Sesampainya di rumah, Keenan menyalakan TV, mengaktifkan internet dan bermain di depan layar. Aku sama sekali tidak pernah memainkan permainan ini, tapi aku mengerti karena Keenan mengerti. Temannya bahkan takjub dengan cara main Keenan.
"Harusnya kau ikut kompetisi. Pasti bisa menang."
"Ah tidak mau. Capek... Nanti PR-ku terbengkalai... Mau makan sesuatu?"
"Boleh..." temannya itu tersenyum. Dari telinga Keenan terdengar jika temannya itu memasuki kamar Keenan. Apa yang akan dilakukannya? Seketika aku mendapat impuls dari otak Keenan. Keenan meyakinkanku kalau Daniel, temannya tadi tidak akan melakukan hal-hal aneh.
Tunggu... aku bisa berkomunikasi denganmu? Kau bisa mendengarku? Keenan? Kau bisa mendengarku?
Keenan tidak bereaksi, ia hanya menggeplak kedua telinganya sendiri. Berdengung.
KAMU SEDANG MEMBACA
COMA (A Story of Akasha)
ДуховныеTuhan seolah berkata, "Ini... kuberikan kau hidup. Kau tak tahu kapan kau akan berakhir, tapi kau tak boleh mengakhiri sebelum waktu yang kutentukan." Dan aku berkata, "Tuhan yang memasukkanku dalam permainan ini..."