Prima menjebakku...
Ia bilang aku harus ke sini untuk mengambil tiketku darinya. Ia bilang dirinya dan tim-ku menunggu di sini untuk makan bersama. Sialan itu membohongiku, membuatku duduk berdua dengan Brata dan membuatku terdampar di sini. Kalau saja aku tahu ini akan terjadi... aku tidak akan menyuruh mini bus milik Arizona meninggalkanku.
"Bagaimana? Kau masih tertarik dengan filmku?" kata pria itu langsung ke sasaran.
Aku menarik senyum manis di wajahnya Keira, berusaha ramah pada Brata meski dalam benakku sudah berkali-kali aku menusuknya dengan pisau roti di tanganku. "Menurutmu?"
Brata tersenyum, menghakimi. Menggerak-gerakan tangannya membuat penekanan. "Berdasarkan apa yang kau lakukan semalam? Kau tidak menginginkan filmku. Film seorang Brata. Seorang yang dulu kau sembah-sembah hanya agar kau bisa jadi figuran. Kau benar-benar ingin membuangku, Keira?"
"..." aku menunggu lanjutan kalimatnya.
"Di luar sana banyak aktris yang menginginkan malam denganku. Bukan hanya kau yang ingin main di filmku. Artis kelas B bahkan kelas A berbondong-bondong mengejarku. Lalu kau sekarang seperti ini. Apa maumu sebenarnya, Keira?"
Aku membalas tatapan matanya dengan mantap. "Tuan Brata... terlepas dari apa yang pernah kita lakukan. Terlepas dari berapa malam yang pernah kita habiskan. Terlepas dari itu semua, aku ingin bebas. Aku tidak mau lagi jadi hambamu. Selama ini karirku hanyalah bentuk dana diri dari karya orang lain. Aku ini rendahan. Aku muak berkutat dengan semua ini.
"Tuan juga tahu sendiri siapa saja yang pernah menggilirku. Aku ini tidak berharga tuan. Sebuah piala bergilir. Barang bekas yang dibungkus rapi agar terlihat cantik. Sampah! Aku muak merasa seperti ini.
"Walaupun karirku redup atau hancur sekalipun setelah ini. Aku tetap pada pendirianku. Aku enggan main di film itu kalau tuan terus 'memakaiku'."
"Keira..." Brata terlihat kecewa. Aku berharap ia akan meledak atau mengamuk. Sebaliknya, ia malah memberiku tatapan sayu ini. "Benar kata Prima. Ada yang salah denganmu. Aku tidak mengenal dirimu yang seperti ini. Keira yang kukenal akan menjual apapun demi impiannya."
"..." aku terdiam menyaksikan Brata menyisir rambutnya yang mulai memutih. Melihatnya meninggalkan sejumlah uang di meja. Melihatnya bangun dari duduknya.
"Keira, aku tidak akan menuntutmu atau apapun. Kuanggap kejadian semalam tadi tak pernah ada. Jangan menyesal atas keputusanmu..." ia memberiku tatapan terakhirnya sebelum meninggalkan meja dan membiarkanku termenung.
Kenapa kau melakukan ini Keira? tanyaku dalam hati.
Keira menjawabku, samar. Karena aku menginginkannya...
Aku menyela. Dan aku menghancurkannya...
Keira tak lagi bersuara. Gelombang pikirannya tak lagi menyentuhku. Firasatku, ia marah besar. Aku sudah lancang bermain-main dengan hidupnya. 32 jam...\
-✾-
Sembilan jam kemudian aku terbang ke Bandung. Prima menepati janjinya untuk membelikanku tiket. Aku berangkat sendirian ke Bandung. Tim kecilku kukirim kembali ke Jakarta. Begitupun Prima yang enggan pergi ke Bandung denganku. Mereka sudah terbang beberapa jam lalu.
Sebenarnya, Prima adalah manager yang pintar, tutur katanya lembut dan penyabar. Pria penyuka sesama jenis itu sangat luwes di bidangnya. Berkatnya Keira bisa bertemu banyak orang yang bisa membuatnya bersinar. Sayangnya, Prima terlalu berorientasi pada uang. Prima selalu ingin lebih dan lebih. Menjual tubuh Keira adalah salah satu triknya untuk meraup lebih banyak untung. Wajar kalau ia marah padaku dan enggan bicara dalam denganku sejak semalam. Impiannya membeli rumah miliaran pupus karena aku memilih membela kehormatan Keira... Yang mungkin memang tak pernah ada di tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
COMA (A Story of Akasha)
SpiritualTuhan seolah berkata, "Ini... kuberikan kau hidup. Kau tak tahu kapan kau akan berakhir, tapi kau tak boleh mengakhiri sebelum waktu yang kutentukan." Dan aku berkata, "Tuhan yang memasukkanku dalam permainan ini..."