"Waktumu makin dekat..."
Jantungku berdegup cepat saat suara makhluk itu mengambang lagi di benakku. Memberiku firasat tidak enak tentang esok. Membuatku gamang dengan keputusan yang kulancarkan.
Lancang jika aku berpikir semua yang kurencanakan pasti berhasil. Aku tidak punya andil atas tubuh ini. Aku tidak ada andil atas waktu yang bisa kuhabiskan dalam tubuh Keira. Jika waktuku di sini habis, maka habislah. Tak ada kesempatan lagi untuk bertindak.
Lalu terpikir olehku untuk mempercepat langkahku.
Nada sambung berbunyi, Prima mengangkat teleponnya dari seberang sana. Suara lelaki lain terdengar manja, protes karena Prima mengangkat teleponku. "Prima! ada yang harus kubicarakan. Ini penting."
"Ada apa?" Prima terdengar khawatir. Dari alur napas dan suaranya aku tahu ia sedang berjalan kecil berpindah posisi agar fokus padaku dan meninggalkan lelaki tadi. "Kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja. Hanya saja aku ada permintaan..."
"Katakan... Kalau kau mau kujemput, akan kujemput. Aku merasa salah sekarang, aku minta maaf Keira. Maaf aku sempat marah padamu karena bang Bra~"
"Prima, Prima... sudah. Itu tidak penting. Kau dengan siapa sekarang?"
Ada jeda kecil yang tercipta saat ia mendengar pertanyaanku. Langkah kaki Prima terdengar cepat, lalu terdengar bunyi pintu yang ditutup dan gema suaranya yang berbisik. "Aku di hotel dengan bang Brata. Aku tidur dengannya. Jangan marah padaku, Keira!"
"PRIMA! Kau ini!" aku menghela napas panjang, meremas tanganku sendiri. Supir taksi yang tadinya adem ayem dengan keberadaanku sedikit tersentak dan nyaris melonjak dari tempat duduknya. Lalu terbayang bagaimana Prima sekarang sedang menjawab teleponku di kamar mandi dan Brata menunggunya di atas kasur. "Kenapa kau... hah..." Ya Tuhan...
"Keira, aku minta maaf. Aku melakukan ini untukmu. Benar katamu, aku yang harus bertanggung jawab atas ini. Aku yang mengenalkanmu pada bang Brat. Aku yang akan ambil risikonya."
Sekarang air mataku berjatuhan. "Prima! Kau tahu... Semua ini hanya tentang uang. Tentang uang. Kita bisa cari cara lain untuk mendapatkan uang. Memangnya apa kurangnya hidup kita sekarang, Prim? Memangnya tubuhmu itu apa? Kau tidak merasa murah?"
Suara Prima bergetaran. "Keira, kau ingat beberapa tahun lalu. Dulu kita bukan apa-apa. Sekarang kita bisa seperti ini karena kita melalui 'jalan ini'. Keberhasilan kita hanya dari sini, Keira... Kalau kau jujur, kita tidak akan bisa hidup berlimpah." Prima juga menangis di sana.
Tangan Keira menumpu dahinya, mengusap bulir air matanya yang berjatuhan. Merasa bersalah. Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Pikiran alam bawah sadar milik otaknya Keira terbang melintas. Lalu aku membeku, tidak tahu harus bagaimana. Jika aku terus melakukan interupsi seperti ini, Keira bisa kehilangan segalanya. Jika tidak, maka aku ikut berdosa karena membiarkannya terjerembab. Apa yang harus kulakukan?
"Keira... sudahlah. Kita bahas ini lain waktu." suara Prima yang parau terdengar. "Sekarang, katakan apa yang tadi ingin kau bicarakan..."
Tubuh Keira menarik napas panjang. Aku mengatakan yang kuinginkan. "Dengarkan aku, besok aku mungkin berubah pikiran... tapi tolong. Lakukan wasiatku hari ini..."
Aku mengatakan semua maksudku pada Prima. Tentang Akasha sebagai periasku, tentang Jonah yang ingin kuangkat jadi manager keuanganku. Tentang aku yang memohon padanya agar melakukan titahku yang satu ini, tak perduli jika esok Keira kembali ke tubuhnya dan merusak wasiatku.
"Baik, Keira. Akan kulakukan yang kau minta... Aku berjanji menunaikannya." Prima mengiyakan. Ia berikrar untukku.
"Terimakasih... hiduplah dengan baik mulai sekarang. Kita lakukan hal yang lebih baik. Berubahlah untukku dan dirimu sendiri. Berubahlah..." napasku tersengal. Jantungku rasanya nyaris berhenti. "P-Pri-ma..."
KAMU SEDANG MEMBACA
COMA (A Story of Akasha)
SpiritualTuhan seolah berkata, "Ini... kuberikan kau hidup. Kau tak tahu kapan kau akan berakhir, tapi kau tak boleh mengakhiri sebelum waktu yang kutentukan." Dan aku berkata, "Tuhan yang memasukkanku dalam permainan ini..."