Dua.

47 4 0
                                    

Sang gadis masih berkutat dan menyusuri rak buku tersebut. Ia menghela nafas lega ketika melihat Gio pergi.

"Aman! Gaperlu malu lagi!" Gumamnya sambil cengar-cengir sendiri melihat Gio yang telah melangkah menjauh.

Untung saat itu gramedia tidak terlalu ramai. Kalau tidak, gadis itu bisa dicurigai macam-macam. Siapa yang tidak curiga dengan seseorang yang melihat-lihat sekeliling sambil tersenyum lebar seperti itu.

Ketika dilihatnya punggung Gio telah hilang dari pandangan, gadis itu bergeser perlahan menuju tempat Gio menaruh buku yang tadi dia baca.

Diam-diam, gadis itu penasaran dengan buku yang Gio baca. Setelah yakin, tidak ada yang memperhatikannya, dia langsung mengambil buku itu, lalu membacanya.

"Bedeehh.. saik juga tuh cowo bacaannya, boleh-boleh." Ujarnya dengan suara yang cukup kencang sambil mengangguk-angguk kagum.

Beberapa pengunjung pun jadi refleks memperhatikannya. Sadar suaranya terlalu keras, gadis itu langsung salah tingkah sendiri.

"Eheh, bukunya bagus banget hehe," Gadis itu menunjuk bukunya dan memasang ekspresi sangat menikmati isi bukunya. Pengunjung-pengunjung yang tadi memperhatikannya pun, akhirnya kembali sibuk dengan kepentingan masing-masing.

Termasuk sang gadis. Dalam hati dia terkagum-kagum dengan bacaan Gio. Dia tidak menyangka, buku yang dibaca Gio bertajuk, "Sepenggal Isi Sanubari yang Tak Pernah Tersampaikan dari Masa Lalu."

"Rata-rata cowo kan senengnya yang horor, fantasy, petualangan, thriller, atau misteri kasus-kasus gitu lah. Tumben banget, ada cowok yang senengnya buku klasik kayak gini." Gumamnya sambil ikut terhanyut dalam setiap bait kiasan yang tertulis rapi disana.

Setiap lembar, mengandung kisah tersendiri. Setiap bait ditulis dengan emosi senada. Setiap kata ditulis dengan diksi yang tepat sehingga menyampaikan isi hati penulis dengan jelas pada siapapun yang membaca dan mencermatinya.
Walau, otak harus mengolah terlebih dahulu maksud dari setiap kalimat, untuk mengetahui isi surat yang tersirat di dalamnya.

Akhirnya, gadis itu pun juga terlarut bersama bacaan tersebut.

Ketika sadar, sudah lebih dari setengah jam, hati dan pikirannya telah asyik berkutat, berusaha menaklukan isi hati sang penulis.

Gadis itu melirik arlojinya sekilas.

"Oh, baru jam tujuh." ucapnya dalam hati lalu mencoba menekuni kembali isi buku dalam genggamannya.

"Heh?? Jam tujuh??!!" Teriaknya sambil memastikan penglihatannya. Pengunjung-pengunjung di sekitarnya pun kembali memandangnya.

Gadis itu refleks membekap mulutnya sendiri. Lalu meringis malu.

"Heh? jam tujuh?" ulangnya dengan suara lebih kecil. Beberapa pengunjung hanya membalasnya dengan gelengan kepala sebelum akhirnya kembali cuek.

Gadis itu langsung berbalik dan menutup wajahnya dengan buku.

"Catatan buat gue. Jangan pernah lupa set volume suara kecil kalo di mall." Kemudian ia menghela nafas lega.

"Oke. Gue beli buku yang ini aja. Buku yang sama kaya punya Amanda, belakangan aja. Toh, kalo gue emang ngebet banget mesti baca, gue bisa pinjem dia. Hehehe sipsip." Ujarnya dalam hati sambil terkekeh sendiri.

Beberapa saat kemudian, matanya telah sibuk mencari letak buku berjudul serupa, yang masih bersampul plastik.

"Nah, tuh, dia!" Ucapnya sambil menunjuk buku yang terduduk manis di rak deretan paling atas.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis itu langsung berjinjit berusaha mencapai buku tersebut.

Hm. Jangankan sampai di deretan paling atas, sampai di deretan sebelumnya saja, belum sampai.

Gadis itu pun berusaha melompat-lompat. Pikirnya, "kali aja sampe." Namun kenyataannya, mau melompat-lompat sampai gajah kurus sekalipun, tetap saja jemarinya takkan mampu menggengam sang buku dan membawanya turun. Jangankan gajah kurus. Sampai mallnya tutup saja, belum tentu sang buku sudah tersentuh.

"Duh, tinggi banget, sih!" Rutuknya pelan sambil berkacak pinggang.

Dia pun menarik napas dalam-memantapkan niatnya sekaligus, menyemangati diri.

Ketika dirasa dirinya sudah siap, gadis itu membungkukkan badannya-mengambil ancang-ancang sambil menghitung dalam hati.

"Tigaa!!!!!!" Teriaknya penuh semangat.

*jedug*

"Aduhh!!" Teriak Gio dan gadis itu bersamaan.

Gio yang sedang mengulurkan tangan ke atas, refleks mundur ke belakang, sambil memegang dagunya yang luar biasa sakit.

Sementara sang gadis, langsung memegang kepalanya sambil berjongkok.

O-ow.

"Aduuhh.." katanya lagi sambil mengusap-usap kepalanya dengan mata terpejam.

"Lo ngapain lompat-lompat, sih? Minta tolong kan, bisa." Gio buka suara duluan dengan nada sedikit kesal.

Gadis itu langsung tersentak ketika mendengar suara Gio.

"Aduh, mati gue!! Kok bisa-bisanya gue ngenain dia sih. Duuuhh.." rutuk sang gadis dalam hati.

Dia pun pura-pura beraduh-aduh sambil tetap berjongkok membelakangi Gio dan mengelus-elus kepalanya. Lantaran bertambah malu lagi, mengingat kejadian sebelumnya.

Gio berhenti mengusap-usap dagunya dan kembali melanjutkan niat awalnya yang sempat tertunda. Mengambilkan buku "Sepenggal Isi Sanubari yang Tak Pernah Tersampaikan dari Masa Lalu" untuk sang gadis.

Gio sebenarnya sadar, ini adalah buku yang tadi di bacanya. Untuk alasan itulah, selesai dari bagian alat tulis, Gio kembali lagi kesini untuk mengambil buku tersebut.

Dan ternyata, sang gadis yang sama, yang tadi Gio halangi saat melihat-lihat buku, (Gio tidak tahu fakta bahwa gadis itu tidak dihalangi Gio, tetapi malah sedang menikmati halangan tersebut.) Masih ada di sana. Dia sedang melompat-lompat, berusaha menggapai sebuah buku, yang ternyata buku yang sama dengan buku yang menjadi alasan Gio kembali kesana.

Gio pun langsung berniat mengambilkan buku tersebut untuknya, dan tak lupa untuk dirinya sendiri.

Lalu, terjadilah kejadian kejedot-dijedot itu.

"Nih. Lo gapapa?" Pertanyaan Gio hanya dijawab dengan keheningan.

Bingung karena tidak ada respon dari sang gadis, Gio langsung berjongkok dengan satu lutut menempel di lantai. Perlahan, tangan kanannya menyibak helaian-helaian rambut yang menutupi wajah sang gadis.

Tatapan mereka pun bertemu.

Tak lama sang pemilik rambut malah terkejut dan jatuh terduduk lantaran refleks mundur ke belakang-menghindari tangan Gio.

Gio pun ikut terkejut karena respon sang gadis yang amat berlebihan.

"Aaa eee aaa.." ucap sang gadis terbata-bata. Wajahnya sudah tak karuan menahan malu.

Melihat buku yang ada di tangan Gio, gadis itu langsung cepat-cepat mengambilnya dan berdiri.

"Ma-makasih, yah!" Ucapnya sambil mengangguk sopan disusul dengan langkah seribu.

"Apaansih? Heboh banget." Pikir Gio sambil memandang kepergian sang gadis dengan heran.

VergioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang