Dua Puluh Tiga.

14 0 0
                                    

Vero mengunci ponselnya dan memasukannya ke dalam saku roknya.

Lalu melipat kedua tangannya dan menatap cermin.

Disaat-saat seperti ini, dia pasti sudah menghubungi Amanda dan bercerita dengan penuh semangat mengenai penemuan barunya.

Tapi... Semua itu tak mungkin.

Hatinya perih kalau kembali memikirkan betapa cueknya Amanda padanya hari ini. Ia bahkan tidak menanggapi keberadaannya.

Begitupun Adisty dan Felice. Mereka sama saja. Bahkan mereka bertiga menghilang bersama saat istirahat. Dan ternyata mereka sedang asyik bergossip sambil tertawa. Seolah lupa dengan Vero.

Apa mereka memutuskan buat ngejauhin gue? Cuma gara-gara masalah ini?

Ahh rasanya Vero ingin membalik kloset tak berdosa di belakangnya. Bahkan dikeadaan seperti ini, dari kaca Vero seperti bisa melihat kloset itu menatapnya menyedihkan.

Kenapa gue pake lari? Kenapa gue telat? Kenapa mereka berniat ngejauhin gue di hari yang ga pas? Kenapa mereka jadi jahat sama gue?

Jadi udah nih, s-sampe sini aja? Persahabatan kita dari SD??!??!?!?!

Begitu merasakan matanya berkaca-kaca, Vero langsung menghambur ke dalam bilik dan mengunci pintunya.

Dibantingnya tutup kloset dan didudukinya. Lalu ia menangis sekencang dia bisa di dalam hatinya.

Harusnya ia percaya 100%! Dia gapernah tahu bahwa 99% itu dapat dikalahkan oleh 1% kenyataan. Satu persen.

Gamungkin kan? Mereka pasti bercanda kan? Mereka sengaja kan??? Biar gue yang datengin mereka sambil nangis-nangis yakann????!?!?!?!

Vero mulai terisak-isak pilu dibalik kesepuluh jarinya.

Vero sakit kepala. Dia benar-benar tak mau begini. Dia lelah menangis. Sudah berapa kali ia bolak-balik ke toilet seperti sekarang.

Lagipula dia sebenarnya marah. Marah kepada semuanya. Marah juga kepada.. Kak Juna yangg mengacak-acak persahabatannya semudah itu.

Siapa sih sebenarnya Kak Juna ini? Cuma berandalan nomor satu yang ganteng serta playboy dan dengan kebetulan berkenalan sama gue. Itu juga menurut mereka. Karena gue gapernah liat Kak Juna kaya gitu.

Ditengah-tengah isak tangisnya, Vero mendengar bunyi pintu yang terbuka, refleks Vero bungkam. Berhenti menangis. Takut siapapun yang masuk mendengar tangisannya.

Kemudian orang tersebut menyalakan kran air di wastafel. Setelah bunyi gemericik air yang agak lama, kran dimatikan, dan orang itu keluar dari toilet.

Setelah yakin situasinya aman, Vero membuka pintu bilik perlahan-lahan sambil mengintip, waspada kalau-kalau ternyata masih ada orang.

Nihil. Orang tersebut benar-benar sudah pergi. Vero menghela nafas lega dan mendekati wastafel.

Ia menatap wajahnya yang memerah dan rambutnya yang acak-acakan di cermin. Dengan segera ia mengikat ulang rambutnya dan mencuci wajahnya. Lalu dengan tisu toilet, ia menyeka wajahnya.

Yah lebih baik, namun wajahnya masih cukup merah. Ia pun tersenyum selebar-lebarnya. Agar wajahnya tak terlihat kusut setelah menangis. Kebiasaannya sesudah menangis.

Masih sedikit merah namun sudah lebih baik. Dengan mantap, ia pun kembali ke ruang ekskul.

Tak masalah, Vero termasuk orang yang beruntung karena wajahnya akan cepat kembali normal setelah menangis.

Setelah lima-sepuluh menit orang-orang biasanya takkan menyadari bahwa ia habis menangis.

"Kalo gaenak badan pulang sana." Vero langsung tersentak kaget saat mendengar suara dari sebelahnya saat ia baru saja mendaratkan pantatnya pada kursi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

VergioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang