Delapan belas

14 0 0
                                    

"HAHHAHAHA YAKAN GILA GA SIH?" Amanda tertawa dengan kencangnya. Sekali lagi, suaranya yang sebelas dua belas dengan gerobak dangdut keliling itu, mengudara di sepanjang lorong.

"Dodol.." desis Adisty sambil menampilkan cengiran asimetrisnya yang tampak sinis di mata khayalak umum. Padahal bagi yang sudah lama dekat dengannya, tahu betul bahwa itu cengiran yang tulus dari Adisty.

Sementara Felice tampak tergelak bebas dengan aksen anggunnya yang terpatri terus tanpa mungkin terpisahkan darinya.

Sungguh kontras persahabatan empat remaja ini. Lebih kontras lagi karena saat ini, salah satu dari mereka berempat tidak ikut tertawa dengan heboh seperti alaminya.

Ia hanya diam, melamunkan sesuatu yang tampaknya penting. Hingga lamunan tersebut cukup menyita waktunya dari tadi pagi.

Felice dengan kepekaan yang cukup tinggi, pelan-pelan menghentikan tawanya. Dilanjutkan dengan menyikut Adisty yang masih mencengir sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, serta Amanda yang masih asyik tergelak, hingga setitik air mata muncul di sudut matanya.

Ketika Amanda dan Adisty menoleh penasaran ke arahnya, Felice buru-buru memberikan kode lewat tatapannya kepada sosok yang masih asyik melamun dengan tatapan kosong.

"Woy!" Amanda reflek menepuk kedua tangannya di depan wajah Vero. Vero refleks tertarik kembali ke dunia nyata.

"Hah? Apa? Apa?" Ujar Vero tanpa dapat menyembunyikan keterkejutannya.

"Ngelamun mulu, neng! Lupa kalo masi ada dunia nyata di depan mata," tambah Amanda dengan nada sedikit menyindir.

"Tau. Kenapasih lo? Tumben amat diem banget gitu,"

"Iyaa, Ver!!! Lo udah kaya gini terus dari pagi! Dari pagi Ver!!! Dari pagi! Jangan bikin kita khawatir! Lo gabiasanya gini," ujar Felice tanpa jeda sembari mengguncang-guncangkan bahu Vero.

Ia tanpa sengaja mengeluarkan sedikit sifat lebay akutnya yang dapat kambuh di beberapa saat tertentu dan di depan orang tertentu.

"Wooo tenang-tenang, Fel! Lo bertindak seakan-akan Vero gasadar kalo hamil di luar nikah itu tabu." Amanda menenangkan Felice.

"Tarik napas.. Tahan.. Buang pelan-pelan lewat mulut.. Tarik napas lagi.. tahan.."

"Dan lo malah bertindak seakan-akan Felice mau melahirkan," cibir Adisti.

"Buang.. Nah. Enakkan?" lanjut Amanda tanpa mempedulikan cibiran Adisti. Namun Felice sudah kembali jadi Felice dengan kekaleman, ketenangan, serta keanggunannya.

"Bentar. Kok lo semua jadi nenangin Felice? Bukannya gue ya harusnya?" Tiba-tiba pertanyaan yang tak terdeteksi polos atau kelewat bodohnya itu menyela acara tarik napas-tahan-buang tersebut.

Apalagi ditambah dengan wajah Vero kelewat yang polos disertai garuk-garuk kepala khas orang bingung tersebut.

Untung bukan saat Felice menahan napas. Bisa-bisa buangnya lewat bawah nanti.

Mereka kompak menyebut nama Vero sambil menepuk jidatnya masing-masing.

Pertanyaan dari Vero malah merusak jalannya skenario yang semestinya telah sampai pada saat Vero menolak menceritakan isi pikirannya dengan dramatis lalu berlari menghindar mereka semua.

Improvisasi pun tidak terelakkan. Mereka semua kembali serius kepada Vero dan melupakan pertanyaan ajaib Vero. Vero memang kadang-kadang bisa menjadi amat-amat ajaib seperti saat ini.

"Ver, kalo ada yang ganggu pikiran lo, lo cerita dong sama kita... Gaenak banget lo dari tadi pagi kaya gini," ujar Amanda berhati-hati.

Vero hanya menatap Amanda sedikit ragu. Apakah dugaan penyakit jantung aman di ceritakan?

VergioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang