Chapter 4 : Firasat

9 1 0
                                    

2 hari telah berlalu semejak kami tiba di kota Banjarmasin dan sekarang hari ke-3 kami di sini.

"Oiiii! Ayo buruan jalannya, jangan kaya pengantin jawa donk." Sidir Angga sembari mendesak kami untuk berjalan lebih cepat.

Angga tampak kegirangan seperti orang gila semenjak kemarin. Dia terus saja bergerak, berjalan dan berlari ke sana ke mari. Bahkan melompat-lompat sesekali bak kanguru besar, dengan sorot matanya yang penuh rasa penasaran dan keingin tahuan akan segala hal menarik di kota ini.

Yaaa, entah ini benar-benar dikarenakan jiwa petualangnya atau justru hanya karena dia melihat terlalu banyak wanita-wanita cantik yang ga kalah dari cewek ibu kota.

Kemarin, kita akhirnya pergi ke pasar terapung. Salah satu pasar unik Indonesia yang hanya ada di Kalimantan.

Di pasar itu, semua kegiatan dilakukan di atas sebuah perahu. Ada perahu yang di sebut jukung dan juga perahu besar yang disebut klotok.

Kebanyakan para pedagang menggunakan perahu jukung, yang hanya di kayuh atau digerakan secara manual. Namun ada sebagian yang menggunakan mesin, tapi kebanyakan didominasi oleh perahu besar beratap rendah yang di sebut klotok.

Banyak sekali orang yang menjajakan makanan di sana. Mulai dari kue khas daerah hingga makanan utama khas banjar, seperti soto banjar. Transaksi jual beli dilakukan di atas perahu, yang tentu memberi sensasi tersendiri. Ya, sensasi itu tidak lain adalah sebuah goncangan. Jadi, jika kau membeli makanan, seperti soto dan ketika memakannya di atas perahu, pasti kebayang bagaimana rasanya makan sambil merasakan goyangan dan goncangan perahu yang tiada henti. Apa lagi jika tiba-tiba ada perahu besar yang ngebut! Perahu besar yang tiba-tiba lewat dengan cepat! Wihhh... mantap! Rasanya di sini keseimbanganmu diuji. Tiap kali akan melahap makan, ombak pun datang.

Seperti yang di alami Devan. Ia tampak apes banget! Tiap ingin memasukan satu suapan soto ke dalam mulutnya, perahu justru selalu bergoyang dan ga tanggung-tanggung goyangannya selalu dasyattt... Hingga kalau nggak bikin Devan makan angin yaaa...  Kuah sotonya tumpah! Hahaha... Kasian sih, tapi lucu.

Jika si Devan itu nggak sengaja, maka lain halnya dengan Angga dan Hans. Entah kerasukan setan apa dua bocah besar ini justru nyari mati aja. Ga bisa lihat ombak datang mereka nekat mau berdiri di atas atap perahu sambil selfie belum lagi si Angga juga sempat mau ngebajak salah satu perahu kecil cuma gara-gara pengen tau rasanya ngedayung perahu kecil sendiri. Mampun...  nih anak malu-maluin banget! Mana perahu sempet tumbang lagi dan kecebur dia kesungai. Njiirr untung tuh perahu kecil, jadi nggak akan muat buat kita semua. Kalau nggak, pasti si Angga udah punya rencana gila minta kita semua naik dan ngedayung bareng dia terus oleng bersama dan kecebur.

Inget soal itu aja bikin kita mau teriak dan ngumpet. Angga benar-benar deh, kaya anak kecil.

Meski malu-maluin tapi yang pasti itu jadi salah satu moment berharga dan menyenangkan bagi kita. Meski ada 1 orang nggak senang, dan orang itu tak lain adalah Sarah! Dia ngerasa itu jadi hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidupnya.

Dari awal dia naik perahu, Sarah terus saja melontarkan sejuta keluhan, yang pasti bikin bangsa jin aja puyeng dengerin dan nurutin kemauan dia, apa lagi kita yang manusia.

Ketika naik klotok, Sarah komplan atapnya rendahlah, gerahlah, joroklah kumuh dan segudang komentar negatif lainnya yang bikin semua orang yang dengerinnya jadi naik pita.

Bahkan hingga hari ini pun sama! Dia terus mengeluh kenapa kita musti jalan kaki di siring, dengan cuaca panas dan berdesakkan dengan gerombolan manusia lainnya!?

"Apa uniknya coba? Cuma jalan-jalan doank, di pinggir sungai. Mana banyak orang dan panas lagi! Ga ada istimewanya! Ini sama aja kaya kita jalan minggu pagi di Jakarta!" Protes Sarah.

Devan dan Kevin sebenarnya udah males ngeladenin dan dengerin keluhan "cewek lampir" satu ini. Tapi apa daya? Ngeladenin dia justru buang-buang tenaga mereka dan ga penting banget! Dia juga ga akan diem meski dijawab.

"Iya, sekilas emang nggak beda sama kegiatan pagi kaya di monas gitu, tapi...  Emangnya di sepanjang jalan bundaran HI ada sungai? Dan orang-orang yang jualan makanan, sambil ada atraksi suku dayak? Nggak kan?" Tanya Angga balik.

Sarah menggerutu, ia benar-benar nggak suka sama respon yang diberikan oleh Angga. Oke... Emang Jakarta nggak ada sungai di pinggir jalan besar dan nggak ada atraksi dayak. But, so what?! Cetus Sarah dalam hatinya.

"Hah..."

"Clara kamu kenapa?" Tanya Hans yang ternyata dari tadi memperhatikanku dengan cemas.

"Oh, nggak. Enggak apa-apa kok Hans." Balasku sambil tersenyum lemah.

"Kamu nggak enak badan? Capek? Kalau iya, kita istirahat aja dulu. Dari pada kamunya kenapa-kenapa lagi."

"Nggak, nggak usah Hans. Aku benaran nggak apa-apa kok."

"Masa? Tapi... "

Ciyeee tumben nih anak perhatian banget. Apa matahari sudah terbit dari arah barat hari ini?  Pikirku sambil mengubar senyum nakal padanya.

Njirrr... Hans yang melihat ekspresiku, langsung mengerti apa yang sedang aku pikirkan soal dia.

"Ah, udah ah. Aku perhatian malah digituin." Kata Hans yang ngambek sambil menanyakan sekali lagi apa benar aku baik-baik saja.

"Serius kamu... Benaran ya? Benar nggak apa-apa ini? "

"Iya, bawel... Aku ga apa-apa kok. Kepo amat sih."

"Yeee, aku perhatian dibilang kepo. Gimana sih? Ya udah, aku sama Ren mau beli camilan sama minum dulu. Kamu mau dibeliin nggak?"

"Oke, aku nitip deh. Kalau ada yang kaya biasa."

"Oke, oke, sip. Kamu tunggu aja dulu di situ. Aku bakal. Panggil Cindy buat nemenin kamu."

"Iya, thanks ya. "

Hans hanya tersenyum sembari memanggil Cindy dan lalu pergi ke arah stand makanan bersama Ren. Maaf Hans... Kata batinku.

Jujur, sebenarnya aku memang merasa nggak nyaman. Entah kenapa, aku ngerasa sikap Sarah mulai berubah semenjak kita pergi untuk liburan. Sarah tampak semakin memperlihatkan rasa ketidak sukaannya padaku dan semakin sering marah-marah, bahkan hanya karena hal sepele sekalupun.

Firasatku juga nggak enak. Apa lagi semenjak pulang dari pasar terapung. Ketika insiden perahu Angga terbalik dan hampir sebagian dari kita tertawa, aku melihat seseorang. Aku melihat orang itu berdiri di pinggir sungai sambil melihat ke arah kita. Seolah-olah dia sedang memperhatikan kita dari tadi.

Dan ketika aku tak sengaja melihat nya, orang itu membalas tatapanku, seolah dia menyadari bahwa aku sedang menatapnya. Dan seketika itulah, tubuhku mematung. Tatapan mata itu membuat aku terkejut dan takut, hingga tubuhku menjadi kaku.

Meski hanya sesat, tapi hal itu cukup untuk membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Siapa dia? Siapa orang itu?  Kenapa dia mengawasi kami? Kaliamat-kalimat itulah terbesit dalam pikiranku. Dan ketika aku berhasil mengambil kendali akan tubuhku yang mematung, orang itu telah menghilang. Iya! Dia menghilang!

Entah hanya mataku saja yang salah lihat dan bermasalah atau aku yang kurang jeli untuk menemukannya di antara orang-orang yang juga ikut berdiri di pinggir sungai. Tapi satu hal yang pasti, rasa takut yang kurasakan itu nyata! Orang itu benar-benar ada! Dan dia berdiri di sana, tepat di pinggir sungai tanpa ada yang menyadari keberadaannya selain aku.

Ughhh...  Aku benci ini! Aku benci ketika aku merasakan firasat buruk seperti ini. Teriak batinku.

Pasalnya, tiap kali aku merasakan sesuatu, seperti sebuah firasat, apa lagi firasat itu begitu kuat, maka sesuatu akan benar-benar terjadi. Tapi kali ini aku berharap firasatku salah! Iya, salah! Kenapa? Karena setiap firasat kuat yang kurasakan adalah sebuah firasat buruk! Dan semua hal buruk itu terjadi tepat seperti apa yang selalu ada dalam pikiran atau batinku.

Seolah aku bisa melihat masa depan dan memperkirakan apa yang akan terjadi. Tapi masa depan itu selalu sebuah kesialan atau bencana dan sebuah hal buruk,  yang kadang berhubungan dengan kematian! Dan aku benci itu!

AKU BENCI KEKUATAN INI!

WreckEd [When reality turns into a nightmare]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang