"Farid."
"Farid"
Guru matematika, kumis hitam tebal menghiasi wajah garangnya. Tengah berusaha membangunkan Farid yang asyik tidur. Suara nyaring tak mampu membangunkan Farid, hingga kesabaran guru itu tak mampu dibendung lagi.
"Praak."
Suara spidol terdengar jelas diantara kebisuan puluhan siswa. Suaranya berhenti ketika mengenai pelipis Farid.
Mata sembabnya memperlihatkan bekas lendir hijau dikedua mata. Sontak kelas menjadi gaduh.
Mereka menertawai wajah Farid yang terlihat konyol. Pipinya, terlihat lendir kering melekat. Keriuhan siswa semakin menjadi, ketika Pak Rudi mendekati Farid sambil menuliskan sesuatu dipipinya.
Farid belum sadar juga, dia begitu menikmati tidur hingga suara dengkuran memantul dalam gendang telinga pak Rudi. Farid sungguh dalam masalah kali ini, telah berulang kali melakukan hal yang sama. Tapi masih mendapat toleransi, kali ini dia harus menanggung hukuman yang diberikan pak Rudi.
Tangan keriput mulai menjewer telinga Farid, dicubit hingga membuat daun telinganya merah.
"Maaf pak, maaf," Farid memohon ampun pada pak Rudi agar menghentikan jewerannya.
"Kamu ini ya (jeda sejenak). Keluar dari kelas bapak sekarang."
"Tapi pak, jangan hukum saya dong. Saya janji tidak akan mengulang kesalahan yang sama. hari ini saja saya berulah pak."
"Sudah. hukum saja dia pak. Ngitung-ngitung bikin dia jera," Haris mencoba mempengaruhi pak Rudi agar memuluskan niatnya.
"Keluar kamu sekarang. Jangan sampai bapak mengusirmu dengan sapu sana," pak Rudi menunjuk sapu ijuk dipojok mading kelas.
Tidak ada pilihan lain. Dengan berat hati, Farid meninggalkan kelas. Samar-samar terdengar keriuhan siswa sambil membunyikan suara seperti peluit. Dengan wajah kecut, dipandanginya pintu kelas yang terkunci dari arah dalam.
Kelas yang bersampingan dengan ruangan kepala sekolah. Membuat koridor kelasnya selalu dilalui guru-guru. Maklum ruangan pemimpin sekolah, tentunya menjadi tempat guru lain mempertanggung jawabkan amanah atau sekedar memenuhi berkas yang diminta.
Dipandanginya lapangan basket. Siswa berpakaian olahraga begitu lihai memasukan bola kedalam ring.
Ditempat lain beberapa siswa duduk dipinggir lapangan sambil tertawa dengan cerita yang mereka dengar dari siswa jangkung bergaya banci, berlenggak-lenggok dihadapan mereka. Siswa tersebut begitu serius menjelaskan ceritanya.
Sinar mentari surya membuat kulit sawo mereka mengucurkan keringat. Baju olahraga mereka mulai basah. Satu persatu dari mereka mulai mencari tempat teduh. Sudah menjadi hal biasa kejadian seperti itu. Berlindung di bawah atap ruang guru agar tidak terkena sinar matahari pagi.
Rumornya, takut kulit putih mereka luntur menjadi hitam hanya gara-gara sinar mentari pagi, padahal hal tersebut tidak ditolerir dalam dunia kesehatan.
Tubuh jangkung Farid terlihat lemah, tatapan sendu menghiasi dua kelopak matanya, kumis tipis terangkai diatas bibir atasnya. Tak ada senyum tulus yang terlihat. Layu mungkin ungkapan tepat melukiskan suasana hatinya sekarang. Koridor sekolah yang sepi menari bersama kegundahan hati Farid. Tak ada teman bicara yang dapat mempercepat putaran waktu menunggu hukuman berakhir.
Langkah kaki menggema sepanjang koridor. Kelas demi kelas dilewatinya. Sesekali suara tawa mengejek hinggap ditelinganya namun hanya dianggap angin lalu oleh Farid. Sorot matanya lurus menerawang ruangan sepi yang enggan dikunjungi siswa lain.
"Daripada duduk kosong seperti orang bodoh mending pergi ke perpustakaan."
Farid selalu menjadikan kata-kata ini sebagai hiburan bila guru telah menghukumnya tidak mengikuti pelajaran.
Sepatu pantofel yang menghiasi kakinya, diletakan dipinggir pintu perpustakaan. Melihat Farid memasuki ruangan senyap ini, sudah hal biasa bagi penjaga perpus. Ia tahu Farid masuk ruangan ini hanya untuk tidur bukannya membaca dan ia juga tahu bahwa Farid datang hanya untuk menunggu hukumannya berakhir.
Petugas perpustakaan selalu menasehati Farid namun karena satu dan lain hal, ia tidak lagi menasehatinya mengubah kebiasaan buruk.
Dentingan jam seolah manuruti setiap langkah Farid mencari singgasana di ruangan bisu.
Meja mencolok, tidak berdebu dengan kursi penuh coretan. Tanpa pikir panjang diduduki kursi tersebut hingga wajah menyentuh meja, kedua mata mengatup terkunci."Lo bisa diam ngga sih?" siswa perempuan dengan seragam yang tidak rapi mulai menghardik Farid.
Tidak ada respon berarti. Mata tertutup, kedua tangan bersedekap, rambut dan telinga menyentuh meja. Suara dengkuran berngaung seantero ruangan. Menjadikan siswa perempuan tadi emosi. Tanpa ada rasa takut, ia mendekati meja Farid.
Melihat coretan spidol meronai wajah siswa tukang tidur. Gelak tawa tak tertahankan menggema sampai membangunkan si tukang tidur.
"Ngapain lo tertawa? Ada yang lucu hah?" Farid melontarkan pertanyaan tidak terima terhadap tawa mengejek dari cewek didepannya.
"Kamu gila ya...Lihatin tuh mukamu, penuh coretan. Malu-maluin aja tahu." telunjuk mengarah ke pipi kanan Farid
Reflek Farid mengusap wajah berulang kali, suara gesekan kedua telapak tangan memantul hinggap di telinga cewek pengejek.
Pasti ulah guru culun tadi
"Udah hilang," suara penuh harap berkumandang melalui mulut Farid
"Udah hilang tulisannya, tapi tuh bekasnya masih ada." jemari cewek pengejek menunjuk wajah Farid
"Emang apa tulisannya tadi,"
"Anak lembu, itu yang kubaca."
"Makasih ya (Farid berhenti sejenak). Gue mau ke kamar mandi dulu (Farid mulai berdiri dari tempat duduknya)."
"Eitss. Tidak semudah itu lo pergi," ia mulai menampakan senyum licik kemenangan
"Apa yang lo mau dari gue."
"Lo tau kan apa artinya ini (telapak tangan terbuka). Uang cepetan."
"Iya, iya, nih seribu cuma gitu yang kupunya."
"Lagi," Suara menggertak ala wanita ditampakan begitu sempurna
"Malas tau ladenin omongan lo."
Farid meninggalkan cewek galak tanpa menanyakan identitasnya, ia berlari menuju kamar mandi sekolah, telapak tangan kanan menutupi kulit pipi kanannya agar tidak terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kehadiranmu
Teen FictionDua orang yang memiliki kebiasaan sama namun berbeda alasan. Farid selalu dihukum tidak mengikuti pelajaran, sering tidak datang sekolah dan membolos. Tidak jauh dengan Ana. Ia terus-terusan dihukum guru karena sikapnya yang indipsipliner. Namun...