Dekil, kumal, apek begitulah kondisi rumah pemuda berusia tujuh belas tahun, berkulit pucat, wajah tenang selalu dinampakannya.
Cibiran demi cibiran terlontar dari mulut tetangga, mereka menggunjing seolah kehidupan keluarga Farid seperti sarapan pagi yang kasian dilewatkan.
Kali ini dengan tatapan datar, ia melangkah memakai sepatu pantofel, suara hentakan sepatu memekikan kesunyian siang.
Ya, ibu-ibu mulai berceloteh, apalagi kalau bukan sensasi kehidupan pilu keluarga Farid.
Ada dari mereka yang kasian, menertawai, bahkan secara terang-terangan berbicara di hadapan Farid, siang itu.
Marah? Tentu telah menggebu didalam benaknya. Malu? Sudah pasti di pendamnya saat ini.
"Ayah anak sama saja, tidak ada bedanya."
"Diam saja bu Tika, orang bapaknya Koruptor, Mana mungkin anaknya alim..mustahill."
"Kasian ya tu keluarga, udah jatuh miskin, terasingkan, dan hidup dari belas kasian orang."
"Ih baru diomongin orangnya udah ada."
"Panjang umur," sekumpulan tetangga kompak berucap
Tak tahan dengan ledekan ibu-ibu, Farid memilih segera berpaling dari tempat itu, ia memilih mengambil rute lain untuk jalan pulangnya.
Bila bukan ulah ayahnya, pasti saat ini Farid pulang memakai mobil Lamborjini warna merah kesayangan.
Tapi, seolah telah menjadi bubur, semua sulit kembali, nasib harus dijalani hingga pulih. Entah berhasil maupun gagal, jalan keluar perlu dicoba.
Lima bulan yang lalu, Dirga Prasetyo tak lain adalah ayah Farid, tertangkap basah menggelapkan uang dana pembangunan daerah. Sontak aksinya tersebut menggeparkan kota Banja sebulan penuh.
Pendukung kampanye yang menjadikannya walikota, memaki Dirga habis-habisan di ruang sidang.
Diruang eksekusi para penjahat tersebut, terlihat Ibu Farid menderai sesak. Sesekali menarik hidung, agar menstabilkan emosi hancur.
Hakim berambut putih waktu itu, menjatuhkan hukuman seumur hidup, pada walikota kebanggaan rakyat Banja.
Semua hati luka, begitu juga dengan Farid. Lima bulan kejadian berlalu, mengubah kepribadian Farid perlahan.
Ia awalnya anak rajin dan mendulai prestasi membanggakan disekolah, kini tinggal sisa kenangan para guru disekolah.
Kehidupan malam disertai keburukan lainnya, merasuki jengkal pikirannya, meracuninya melalui iming-iming kenikmatan candu nikotin dan suntikan ganja.
Untung saja, ajaran ayahnya untuk menjauhi NARKOBA tertanam sampai kedalam otaknya.
Teman satu geng memaksa, namun Farid berhasil menolak dengan lembut. Candu Nikotin berhasil meruntuhkan prinsip yanh telah dipegang.
Sekarang puntung rokok, bersarang diberbagai sudut rumah kecil. Rumah tersebut, disewakan gratis oleh pemiliknya untuk ditinggali keluarga Farid.
"Eh..eh..eh..mau kemana tuh anak."
"Malu kali bu, kan keluarganya berantakan."
"Udah, mending ganti topik lain aja," ujar Ibu-ibu berbadan gempal, tangan kirinya sibuk menggerakan sutil untuk menggoreng pisang.
Derap langkah kaki menjauhi ibu-ibu biang kerok, pikirannya makin kalut, pandangan sayu tak berkedip, melumati setapak diam.
"Kwe..kwe..kwe..kwe..kwe..kwe," suara lucu nan gelitik memecah keheningan, asalnya dari tas Farid.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kehadiranmu
Teen FictionDua orang yang memiliki kebiasaan sama namun berbeda alasan. Farid selalu dihukum tidak mengikuti pelajaran, sering tidak datang sekolah dan membolos. Tidak jauh dengan Ana. Ia terus-terusan dihukum guru karena sikapnya yang indipsipliner. Namun...