Prolog

424 146 98
                                    

-----------------------------------------------------------

..Bip ..Bip ..Bip

Suara kecil berasal dari alat monitor elektrokardiograf menggema pada suatu ruangan yang hening. Di sana terpampang grafik milik seorang gadis yang menunjukkan detak jantung yang mulai stabil. Ia mengenakan sebuah alat/ Nebulizer yang menutupi hidung dan mulutnya, terdengar deru napasnya yang normal. Wajahnya yang pucat pasi dan terlihat tenang membuat orang-orang yang berada di ruangan tersebut ikut menghembus napas. Setidaknya, keadaan gadis itu lebih baik dari sebelumnya. Ia Amettasha Ardhani.

"Kamu kenapa sampai begini sih, Nak?" Tanya seorang wanita paruh baya sembari mengusap dahi milik gadis itu dengan sendu.

"Maafkan aku, Ma. A- aku ga becus menjaga adikku sendiri. Maafin gue, Metta," lirih seorang lelaki menunduk dengan perasaan kacau. Ia sangat menyesali sebab merasa tak cukup mampu untuk menjaga Adiknya yang begitu disayanginya. Ia Arkan Ardhan.

"Jangan salahin diri kamu sendiri, ini murni kehendak Tuhan. Mama yakin kamu ga akan tega sengaja melalaikan tugas untuk menjaga adikmu, kamu tentu punya kesibukan lain, bukan?" Ucap Anita menenangkan, Ibunya itu dengan lembut dan dibalas anggukan oleh Arkan.

Wanita itu tak lain ialah Ibunya, lebih tepatnya Ibu angkat dari Metta.

Mengenai keluarga kandungnya, semenjak Metta divonis mengalami penyakit jantung yang begitu beresiko dan membutuhkan biaya yang cukup besar, mereka memilih untuk meninggalkan Metta sebatang kara. Saat-saat yang kelam bagi gadis itu, namun ia berhasil melewatinya. Tidak terpikirkan olehnya, keluarganya yang begitu ia agung-agungkan di hadapan teman-temannya justru meninggalkannya sendirian. Semenjak hari itu, Metta yakin kalau tak selamanya orang tua kandung benar-benar mencintai anaknya.

Kuasa tuhan akhirnya dikirimkannyalah keluarga angkat yang begitu menyayangi dirinya, bahkan lebih dari yang dilakukan oleh keluarga kandungnya sendiri. Dalam keadaannya yang begitu terpuruk, mereka datang menawarkan lengan untuk berdiri tegap. Senyuman mereka yang begitu menenangkan, meyakinkannya bahwa mereka-lah rumahnya. Mereka ialah keluarga Ardhan.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, kedatangan dokter dan dua perawat yang mengekorinya sedikit mengagetkan Anita dan Arkan.

"Bisa ikut saya sebentar?" Tanya dokter pada Anita sembari menunjuk ke belakang dengan jempolnya.

"Bisa, dok."

Anita memberi kode untuk Arkan tetap tinggal di ruangan selama ia masih berurusan dengan dokter. Arkan pun memberi anggukan dengan mengangkat jempol tangannya menyetujui permintaan ibunya itu. Ia pun menatap adiknya lalu mencium kening gadis itu dengan sayang.

Ruangan yang begitu putih dan terlihat bersih tanpa ada coretan sedikit pun pada dinding ruangan. Di sana terdapat pakaian almamater dokter yang tergantung rapi pada salah satu sisi ruangan yang berada di belakang meja kerja dokter. Sedangan meja kerjanya terdapat tumpukan kertas yang mengisi sisi kiri, dan tumpukan buku yang mengisi sisi kanan meja. Terdapat juga sebuah papan nama yang memuat sisi depan meja, Alvredo Alaric.

Dokter Alvredo pun mengeluarkan secarik kertas dan bolpoint miliknya, lalu menatap Anita sembari menghembuskan napasnya pelan.

"Bagaimana bisa terjadi lagi? Ibu Ardhan, kita sama-sama tahu kalau Metta itu sama sekali tidak bisa merasakan lelah yang berlebihan. Itu hanya membuatnya kembali drop. Beruntung Metta secepatnya dibawa, sehingga kami bisa menanganinya dengan gesit," jelas dokter itu dengan serius.

"Metta mengalami Fibrilasi Atrium, keadaan dimana Atrium jantungnya berdenyut dengan tidak stabil, alias cepat. Bersifat paroksisimal sehingga terkadang terjadi kekambuhan gejala yang secara tiba-tiba, seperti tadi."

Mendengar penjelasan dari dokter yang menangani anaknya, sontak membuat Anita membelalakkan matanya. Matanya yang putih jernih mulai terbalut dengan air bening yang dibendung pelupuk matanya.

"Ja-jadi dok? Apa keadaan seperti itu dapat diatasi?" Tanya Anita terbata-bata.

"Tentu saja bisa selama tuhan menghendaki," ucap dokter itu dengan senyuman yang melekat, "keadaan ini sering kali terjadi pada lansia. Tapi .. apa Metta memiliki riwayat keluarga yang sama bermasalah dengan jantungnya?" tanya dokter dengan intens.

"Saya kurang tahu dok. Dokter juga tahu saya bukan keluarga kandung Metta," jawab Anita sendu.

Mendengar jawaban Anita menciptakan hembusan napas pelan, "baiklah, saya sarankan agar Metta tetap menjaga kesehatannya. Jangan terlalu mengeluarkan tenaga karena mampu memicu napasnya yang sesak secara tiba-tiba. Jaga pola makan, batasi asupan garam, lemak, dan kolestrol karena hal itu juga salah satu faktor pemicunya."

Anita menganggukkan kepala mengerti dengan penjelasan dan saran yang diberikan Dokter itu. Namun, diagnosa akhir yang diberikan oleh Dokter Alvredo membuat wanita paruh baya itu meneguk saliva, dan secara tiba-tiba air bening di matanya tak lagi mampu ia bendung membuahkan suara isak tangisnya kini terdengar memecah keheningan ruangan.

"Fibrilasi Atrium dapat menyebabkan terjadinya dua hal. Stroke hingga Gagal jantung. Jika hal ini terus terjadi, maka kemungkinan besar Metta akan mengalaminya."

ThymosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang