Halaman 4

287 92 65
                                    

Sejak hari di mana Arkan murka, sejak hari itu pula tak satupun yang berani mengusik hidup Metta. Bukannya merubah sikap, mereka justru bertingkah seolah-olah menganggap gadis itu tak ada.

"Iya, Matematika mah susah banget. Limit Fungsi mutar otak bener!" Ujar Metta semangat.

"Oh ya, lo semua tau si Kevin anak IPA 5 itu gak sih?" Tanya salah satunya mengubah topik pembahasan.

"Oh yang pacarnya Arin, bukan?"

"Iya, yang itu!"

"Gue tau, gue tau. Tau ga, tim basketnya juara event di SMA Harapan Baru, mengharumkan nama sekolah banget."

"Parah, udah gantenglah, tinggilah, perfect banget."

Metta mendesah, ia beranjak dari tempatnya duduk menuju bangkunya yang berada di pojok belakang. Sudah beberapa kali Metta mencoba bergabung dengan pembahasan teman-temanya, namun tak satupun dari mereka yang mengindahkan perkataannya. Mereka memilih untuk menulikan pendengaran, lalu berganti topik pembicaraan yang sama sekali tak dimengerti Metta.

Meski begitu, hal itu tak menutup kemungkinan bahwa warga kelasnya tentu merasa penasaran dengan status antara Metta dan Arkan. Bagaimana tidak, seorang Arkan yang memiliki sejuta pesona, tiba-tiba berada dipihak Metta yang notabenenya adalah seseorang yang tidak begitu berpengaruh di sekolahnnya. Hal itu tentu menyisakan pertanyaan di benak mereka. Namun, mereka memilih untuk mengurungkan niat sebab tingkat kebencian yang dimilikinya pada gadis itu jauh lebih besar.

Metta menghembuskan napas pelan, ia sudah cukup sabar menghadapi sikap teman-temannya yang begitu tak masuk akal. Mereka terlalu bodoh untuk membencinya hanya karena persoalan kesehatannya. Mereka terlalu bodoh begitu mudah terdoktrin dengan kalimat-kalimat Delvin yang mengatakan bahwa penyakitnya menular. Tak pernah terbayangkan bagaimana pola pikir mereka, namun kini Metta tak peduli. Baginya, benci tak selalu harus dibalas benci.

Kini Metta memandang punggung Delvin dengan perasaan berkecamuk. Bahkan lelaki itu pun berubah, ia tak lagi menjahilinya seperti hari-hari yang lalu. Saat berpapasan dengannya pun, lelaki itu sontak memalingkan wajah dari Metta dan tak meninggalkan sepatah kata pun.

Dilihatnya Delvin kini tengah bercanda gurau bersama seorang gadis yang merupakan tetangga kelasnya, Citra. Siapa tak mengenal gadis itu? Wajahnya yang blasteran Belanda-Indonesia, blonde natural, hidungnya yang kecil nan mancung, serta bibirnya yang nampak begitu sexy. Sungguh tataan wajah yang sempurna, tentu saja namanya tertulis pada list primadona sekolah.

Metta merasakan sesuatu yang berbeda dari dirinya, ia menyentuh bagian dadanya. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskannya. Sudah sejak lama Metta menaruh hati pada Delvin, namun entah mengapa ia sama sekali tak merasakan cemburu. Ia merasa ... biasa saja.

"Au ah, bosan," gumam Metta malas dengan suara sekecil mungkin. Ia melipat kedua tangannya di atas meja dan menempelkan pipi kanannya di atas kedua tangannya, Metta lalu memejamkan matanya.

Dari sudut pandang lain, Delvin menyempatkan berbalik ke arah tempat duduk milik Metta. Ia menangkap gadis itu tengah tertidur pulas menampilkan wajah polosnya.

Kini Delvin tak menggubris segala perkataan yang diucapkan gadis di hadapannya, ia hanya menganggukkan kepalanya mengiyakan tanpa tahu apa yang dikatakan Citra sebab terlalu fokus memandang Metta.

ThymosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang