"Ma, adek pengen pulang."
Diam dalam beberapa detik.
Aku mendengar helaan napas jauh di seberang sana. Aku mungkin hanya gadis bodoh yang menangis tak jelas dalam sambungan telepon dan tiba-tiba saja meminta pulang. Aku lelah, merasakan betapa tak mudahnya hidup berjauhan dari orang-orang yang paling bisa mengerti aku. Aku terpuruk dengan beban yang rasanya menjadi semakin berat setiap harinya, setiap aku melangkah dengan kesendirian.
"Adek udah nggak bisa lagi di sini, Ma. Adek terlalu egois, keras kepala, dan manja. Hanya kalian yang bisa menerima semua sifat burukku,"
Satu hal yang paling aku benci adalah mendengar ibuku menangis. Namun saat ini aku telah membuatnya menangis. Aku mendengarnya terisak seiring dengan jeritan putus asaku mengeluhkan semuanya. Di sebelahnya dapat kudegar bujukan ayah memintanya untuk berhenti menangis. Ayah juga mungkin menjadi pria yang paling sengsara di sini, melihat dua wanita paling berharga baginya meraung seakan baru saja mendengar berita kematian.
"Dek, dengarin papa," Ibuku pasti masih menangis hingga kini ayah mengambil alih telepon. "Ini sudah malam. Cepat minum obatnya dan langsung tidur. Soal pulang kita bahas lain kali, Sayang."
Aku menatap layar ponselku lalu mengalihkan pandangan pada setumpuk obat dan vitamin yang sengaja kuletakkan di sebelah air minum botol yang sudah distok untuk beberapa hari. Aku meraih pil berwarna orange lebih dulu dan memisahkannya satu tablet. Kepalaku sedikit pusing melihat betapa ukuran pilnya lebih besar dari pil-pil yang lain.
Setelah menelan berbagai macam pil yang terlihat cantik dengan warna-warninya itu, aku meraih ponselku untuk menyalakan musik dengan membentangkan sepasang headset ke telinga. Alunan musik menemaniku berjelajah di beberapa akun media sosial yang akhir-akhir ini sedikit terabaikan olehku. Aku melihat mereka—teman-teman yang dulunya menjadi pusat permainanku—kini mereka seakan jauh dan sulit untuk kuraih.
"I'm sorry ..." aku mengetikkan dua kata itu lalu melihatnya ter-update sebagai status di bbm. Dua kata sederhana yang benar-benar kuungkapkan dalam hati untuk mereka yang merasa tersakiti dan menjadi korban keegoisanku. Pada mereka yang kuharap bisa menerimaku sebagaimana ayah dan ibuku menerimaku. Meski aku tahu, itu harapan terburuk yang ada di dunia pertemanan.
__
"Ma!" aku berseru sesaat setelah mendorong pintu paling depan. Bau masakan ibu langsung menyambut indra penciumanku. Dengan langkah kecil aku berlari menuju dapur, mencomot satu gorengan tahu yang masih panas.
"Eh, masih panas," jerit ibuku. Dengan cepat ia mengambil tahu itu dari tanganku. "Adek masih batuk, jadi belum boleh makan yang berminyak, ya," lanjutnya yang membuatku sedikit kesal. Sudah beberapa hari ini menu makananku dibatasi.
"Bubur lagi ya, Ma?" tanyaku melirik mangkok yang ditutup diletakkan di atas kukusan. Aku mulai bosan menjadi bayi besar yang harus makan bubur.
Ibuku mengulas senyum dan saat itu aku mendengar ayah datang. "Papamu bawa sesuatu tuh, sana samperin,"
Aku tak harus pergi menyusul ayahku ke ruang depan karna saat itu ayah sudah berjalan menghampiriku dan ibu. Tanpa basa-basi aku meminta goodie bag yang menggantung di tangan kirinya.
"Ini apa?" tanyaku seraya mengangkat lusinan botol kecil dan beberapa makanan-makanan yang kuyakin rasanya tak seenak jajanan anak SD yang biasa kubeli di jalan dekat rumah.
Ayah dan ibu kali ini tersenyum dengan khas memberi pengertian. Lalu ayah berjongkok di depanku, mengelus rambutku di bagian poni. "Mulai sekarang jajannya diganti ini dulu, sampai batuknya adek sembuh, oke?"
Meskipun aku kesal, akhirnya aku mengangguk. Aku menikmati segala perhatian yang kudapat di sini. Aku tak ingin menjadi besar, aku hanya ingin menjadi anak empat belas tahun yang hanya tau mengeluh, bersenang-senang, dengan mereka selalu ada di antara tangis dan tawaku. Aku tak ingin pergi. Aku tak ingin jauh dari mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story
Short StoryAku tak bisa lebih dari sekedar diam-diam Aku tak bisa lebih dari sekedar berjalan di belakang Aku tak bisa lebih dari sekedar menyembunyikan tubuh di balik tembok saat akan berpapasan denganmu Aku terlalu takut. Takut jika sinar mataku terlalu juju...