'Are you gonna stay the night?'
Tristan menekan replay pada remote control di tangannya, otomatis lagu yang sama terdengar lagi di ruangan itu. Pria di hadapannya mengepalkan tangan. Sebuah lagu bernada cepat bergenre electro music itu seakan mengguncang detak jantungnya yang masih berdentam akibat kemarahan yang melingkupi.
"Kita perlu bicara serius, Tristan," katanya tanpa mau menatap pria yang duduk menyenderkan punggungnya di gundukan bantal di atas ranjang. Namun ia bisa merasakan keras kepala pria bernama Tristan itu hingga sedetik kemudian emosi tak lagi menjadi sesuatu yang bisa dikontrolnya.
"Matikan musiknya, aku perlu bicara!" seakan menjadi dua manusia yang akan saling menodongkan mata pisau, kedua pria dewasa itu saling menatap. Tapi Tristan tetaplah Tristan yang teguh akan pendiriannya, tak ada niatnya sedikitpun untuk mendengarkan omong kosong pria itu. Ia sudah tahu akan seperti apa akhirnya. Ia akan menjadi yang dibuang-ditinggalkan merana.
"Tristan!"
"Ya, aku sudah tahu apa yang akan kau katakan, jadi berhentilah memaksaku untuk mendengarnya!" Tristan beranjak dari tempatnya bersantai. Sungguh, posisi setengah berbaring sangat tidak baik untuk orang yang diliputi emosi. Ia memilih menghadap balkon, lalu menyalakan rokoknya.
"Kumohon ... tinggallah untuk malam ini saja,"
Leonidas tersentak mendengar emosi Tristan yang berubah seketika. Ingin rasanya ia luluh pada permintaan pria itu karena sesungguhnya hatinya pun belum sanggup untuk terlepas sepenuhnya. Terlalu banyak kenangan yang harus mereka buang agar semuanya bisa berakhir.
Leonidas hanya manusia biasa yang tidak bisa menetapkan pilihan, tapi itu hanya sebelum ia menemukan Aleanna. Bukannya ia membenci jati dirinya yang berbeda, hanya saja ia ingin memilih jalan yang lebih pantas. Kehadiran gadis yang kini sudah menjadi istrinya itu telah mengubah persepsinya. 'Adam created just for Eve' begitu Aleanna menegaskan padanya saat Leonidas mati-matian menjelaskan penyimpangannya pada gadis itu, dan kini ia meyakini frase itu.
Ia menghela napas. "Jika aku tinggal, aku takut tak bisa kembali," Leonidas mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Ia menyadari betul bagaimana pengaruh Tristan padanya. Terlalu banyak hal yang mengikat mereka selama menjalani hubungan terlarang itu. Delapan tahun bukannlah waktu yang singkat.
Dua manusia itu terdiam. 'Are you gonna stay the night' menjadi bait terakhir yang kini mengakhiri lagu Zedd itu, lalu semuanya benar-benar bisu.
Leonidas sibuk dengan pikirannya. Haruskah ia tinggal untuk terakhir kalinya? Lalu bagaimana dengan janjinya pada Aleanna? Ia sudah bersumpah pada gadis itu akan mengakhirinya malam ini juga dan takkan kembali pada jenis hubungan sesat itu.
Tristan berbalik, berjalan ke arahnya. Kemudian berkata, "Lalu," katanya menggantung. Langkahnya semakin cepat di hadapannya. Secepat kilat Leonidas akan menghindar saat dirasakannya Tristan menjulurkan tangannya ke pisau buah di atas nakas. "Biarkan aku membuatmu tinggal selamanya."
Nasi sudah menjadi bubur. Tristan bukan pria yang menerima ditinggalkan. Demi apapun, semua yang akan menjadi miliknya harus ada dalam genggaman. Leonidas tak bisa meningalkannya, dialah yang akan meninggalkan pria itu.
"Aku mencoba membuatmu paham, tapi kau malah semakin berulah. Jika saja otakmu ini kau gunakan lebih tepat guna, semua ini takkan terjadi," bisik Tristan menikmati jeritan dari mulut Leonidas. Leonidas telah menjadi cinta yang mati baginya, demikian juga dengan pria itu. Bukan hanya satu, tapi Aleanna telah menjadikan pasangan itu mati-mati dengan rasa yang gelap.
_
Aleanna mengerjapkan matanya, sudah pagi rupanya. Punggungnya terasa sakit ketika mencoba bergerak. Tentu saja, semalaman ia menunggu kepulangan suaminya hingga ia ketiduran di sofa sempit itu. Sayangnya, kali ini lagi-lagi Leonidas menambah bekas kekecewaan di hatinya. Sakit, Perih. Ketika kau memperjuangkan seseorang yang kau cintai, namun berakhir harapan yang sepertinya takkan pernah terwujud.
Gadis itu menangis, menelungkupkan wajahnya ke bantal.
"Aleanna,"
Aleanna mendengar sebuah bisikan halus di telinganya, tapi matanya terlalu berat untuk sekedar melihat siapa orang itu. Jiwa dan raganya terlalu lelah, ia ingin istirahat.
Seakan mengerti dengan keadaan gadis itu, seseorang di sana mengulas senyum. Jemarinya membelai wajah bak bidadari itu. Dengan cekatan ia melingkarkan lengannya di siku gadis itu lalu membopongnya ke kamar. Ia membaringkan gadis itu di sana, kemudian ikut berbaring di samping gadis itu karena matanya juga sudah berat setelah semalaman menghapus tragedi yang dibuatnya.
"Tidurlah, Sayang," bisik pria itu seraya melingkarkan tangannya di pinggang Aleanna. Ia memeluk gadis itu semakin erat. Rasa takut kehilangan membuatnya menjadi pria yang posesif, juga pembunuh.
End
^^
Yey, kali ini nulis yang bunuh-bunuhan sama yang menyimpang.
Hope you all enjoy it and thank you ...
Best regards
Anna
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story
Historia CortaAku tak bisa lebih dari sekedar diam-diam Aku tak bisa lebih dari sekedar berjalan di belakang Aku tak bisa lebih dari sekedar menyembunyikan tubuh di balik tembok saat akan berpapasan denganmu Aku terlalu takut. Takut jika sinar mataku terlalu juju...