2

10 1 0
                                    

Pagi ini aku bangun kesiangan, padahal sudah memasang alarm dengan volume yang kencang, tapi tetap saja telinga selalu tuli bila dengar alarm.

Sebenarnya aku tidak langsung tidur setelah menulis kisah lampau itu, aku masih teringat tentang dirinya. Bertanya-tanya bagaimanakah kabarnya? Apakah baik-baik saja? Dimana dia sekarang? Apakah bertambah tinggi? Apa kumisnya bertambah lebat? Apa sekarang ia sudah punya janggut? Masihkah  ia menyukai kopi? Apakah ia mengingatku? Apakah ia sudah mempunyai cintanya yang baru? Dan berbagai pertanyaan lainnya yang berterbangan di pikiranku bagaikan salju bulan Desember ini. Namun yang paling membuat resah adalah, apakah ia merindukanku?

Lalu setelah pertanyaan konyol yang kubuat sendiri itu terlintas diotakku, banyak sekali spekulasi-spekulasi yang menumpuk dan berakhir dengan aku berteriak dibawah bantal agar suaranya sedikit teredam.

Pukul setengah dua pagi, pikiranku masih saja bergelut tentang pertanyaan apakah ia merindukanku.

Setelah lelah dengan itu, aku menghela napas, berusaha untuk tidur, dan akhirnya bisa. Aku harus bersyukur untuk itu. Karena bila tidak dipaksa akan semakin jadi hingga ke akar. Bakal tidak tidur aku kalau terus mengingatnya.

"Nak, mama berangkat dulu ya cantik. Sarapannya udah ada di meja, sama mie goreng loh. Nurut ya sama bibi." Pamitku kepada Chastelia, anak gadisku.

Chastelia menggeliat, matanya perlahan terbuka dari tidurnya. "Iya, ma. Uang jajan jangan lupa ya. Lia hari ini mau beli es krim."

Aku menjawil hidung mungilnya, "udah mama siapin tuh di tas sekolah kamu. Jangan banyak banyak ya, nanti pilek."

Setelah berpamitan dengan anakku dan berpamitan dengan bibi sekalian memintai tolong untuk mengurusi anakku, aku langsung menuju tempat pertemuan dengan klien.

Aku adalah seorang wedding organizer dan juga perancang pakaian.

Dua jam lamanya aku berdiri di kereta akhirnya sampai juga di tempat pertemuan, yaitu di cafe di dalam pusat perbelanjaan.

"Maaf, dengan Ibu Rinda?" Tanyaku sesopan mungkin, karena kesan pertama adalah suatu hal yang patut dilakukan.

"Ya dengan saya sendiri. Ooh mbak bella, ya? Silakan duduk mbak. Pesen aja dulu."

"Iya ibu." Aku pun memanggil pelayan dan memesan kopi.

"Mbak suka kopi?"

"Hehe, iya bu." Aku mengeluarkan buku katalog yang berisikan desain ruang, gaun, makanan, dan lainnya yang berhubungan dengan pernikahan.

"Lanjut aja ya, bu, sembari nunggu kopi."

"Iya, mbak. Tapi jangan panggil ibu dong, mbak. Saya kan masih muda baru mau nikah hehehe. Panggil mbak aja ya." Aku pun tertawa pelan, "Oh iya, siap Mbak Rinda."

"Jadi gini mbak bella, calon suami saya dan saya mau pernikahan bertema green garden gitu loh, mbak. Jadi kita acaranya outdoor gitu."

"Wah, bagus tuh, Mbak Rinda. Ini mbak saya ada paket outdoor bisa dilihat mbak di katalognya." Aku menyerahkan katalog bertema outdoor.

Mbak Rinda perlahan-lahan membuka lembaran, melihat lihat.

"Gimana mbak? Ada yang cocok? Saran saya mbak, warna putih lebih padu dengan warna hijau, mbak. Keliatan aksen elegan dan juga hidup gitu."

"Tapi yang paduan green garden sama kayu juga bagus ya, mbak." Mbak Rinda menunjukkan salah satu foto yang tercetak di buku katalog.

"Nah, pas nih mbak. Lebih asri gitu ya kelihatannya."

***
Setelah lima jam bertemu dan bernegosiasi dengan Mbak Rinda, aku membeli mainan dan baju untuk Lia, mumpung sedang berada di mall.

Pada saat belanja, aku tidak sengaja bertemu dengan Meisha sahabatku yang sedang mengantar keponakannya membeli baju. Kalian tahu kan jika cewek sudah bertemu akan terjadi apa? Yap tentu saja ngobrol sampai cincay.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 13, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Our Last CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang