Chapter 2 : Dokter yang norak

35 1 0
                                    

          Jika berdiri di depan cermin aku senang memandang tubuhku yang tinggi. Ini kelebihan yang aku suka. Kalau sedang berjalan bersama teman-teman SMP aku seperti tangga menjulang. Sebutan jerapah dan tiang listrik sering sekali ku dengar. Aku tidak marah karena aku memang tinggi. Tetapi kalau orang melihat wajahku pasti mengira aku sudah SMU. 

          Tampangku memang dewasa. Aku tidak bisa mengubahnya menjadi tampang anak SMP. Menjadi model baju untuk remaja. Aku diminta bergaya seperti remaja SMU atau anak kuliahan. Maka dari itu banyak yang mengira aku anak SMU atau mahasiswi. Disekolah aku tidak diperlakukan istimewa walaupun pernah menjadi model. 

          Tinggi tubuhku membuat guru olah raga menyuruhku ikut klub basket. Tentu saja aku senang. Banyak teman yang mengincarku masuk timnya. "Mita, masuk timku saja!" Beberapa anak memintaku. Aku cuma tersenyum. "Walaupun tinggi belum tentu aku selincah kalian," kataku. Aku tidak merendah karena itu memang benar.

           Sewaktu bertanding basket dengan temanku, tanpa sengaja aku bertabrakan dengan salah satu tim lawan, ketika aku hendak memasukkan bola ke keranjang. Tangan kiriku terkilir hingga bengkak. Aku masih menahan nyeri sampai bel pulang berbunyi. Aku tidak suka pulang ditengah pelajaran. Lebih baik menahan nyeri asal bisa bersama-sama dengan yang lain di kelas. 

          Sampai di rumah, ngilunya masih terasa. Setelah aku kompres dengan es bengkaknya tidak berkurang.
"Gimana nih?" Kataku putus asa.
"Jangan-jangan infeksi," kata Papa kuatir. "Ayo, periksa ke dokter."

          Aku menggeleng cepat. Masa bengkak begini saja ke dokter. Nyeri ini akibat benturan dan tidak tampak luka disana. Ini bukan urusan dokter.
"Tidak! Kamu harus segera ke dokter. Mama akan menelepon dokter kenalan Mama."
Aduh, Mama selalu heboh untuk urusan berbau dokter. Mama selalu panik kalau ada yang sakit. Dokter adalah obat penenang buat Mama. Begitu berhadapan dengan dokter, Mama akan tenang. Mungkin jas dokter yang berwarna putih itu memang memberikan rasa tentram.

           Waktu akan berangkat, Mama menerima telepon. Ternyata dari teman lama Mama saat menjadi model. Mamapun asik bercerita. 
"Mita, ini Tante rika, sahabat Mama. Dia tinggal di Amerika. Kebetulan hari ini ada di Jepang. Mama ... "
Aku mengangguk dengan cepat mengiyakan. "Jangan khawatir, Ma. Mita berani pulang sendiri."
Akhirnya aku diantar oleh papa. Karena Papa harus segera bertemu koleganya, aku masuk sendiri. Kalau hanya bengkak begini kupikir tak perlu berurusan dengan dokter. maunya aku pulang saja begitu mobil Papa menghilang. tetapi aku tau Mama pasti akan menelpon dokter kenalannya. kalau aku tidak sampai ke ruang prakteknya Mama, pasti meledak.

          "Jangan sok pintar lawan penyakit!" Selalu begitu protes mama kalau aku dan Papa mengabaikan rasa pusing. "Kita harus ke dokter. Dokterlah yang paling tau penyakit ditubuh kita." Aku sampai berfikiran Mama pernah ditolong dokter sampai sangat percaya dengan dokter.
"Benar," jawab papa suatu hari.
"Dulu, waktu  melahirkanmu, Mama kesakitan sampai menjerit-jerit. Lalu seorang dokter tua datang. Dia menyuruh Papa mengelus perut Mama, sambil memintamu tenang."
Aku melongo, "Ah yang benar pa." Papapun mengaangguk.
"Setelah menenangkanmu, Mama bisa melahirkan dengan selamat. Itu berkat pertolongan dokter tua itu. Sejak itu mama selalu ribut ke dokter bila kamu sakit dan terbawa sampai sekarang."

          Aku jadi tau sekarang, Mama sangat mengkuatirkanku. "Makanya jangan membantah kalau disuruh ke dokter. Mama kuatir jika kamu sakit." Akhirnya kulangkahkan kaki ke dokter kenalan Mama yang praktek di rumah sakit sebuah Universitas. Nama dokter itu Ben. Aku tak banyak bicara saat dokter itu memeriksa. Dia juga diam ketika memeriksaku. Setelah memeriksa, Pak Dokter berkata, "Cuma bengkak biasa."

          Dia menuliskan resep obat pereda nyeri. Setelah itu aku diperbolehkan pulang. Aku berjalan menuju lift. Di depan lift berdiri segerombolan dokter yang sedang mengobrol. Mereka tampak masih muda. Aku menajamkan telinga. Sepertinya mereka mahasiswa kedokteran yang sedang belajar praktek disini. Senangnya, mereka pasti sudah melewati masa sekolah SD, SMP dan SMU. Bagaimana rasanya lulus SMP? Mungkin aku akan merasa lega sudah melewati satu masa sekolah.

          Tak lama lift datang. Dokter-dokter itu berebutan masuk. Aku tak ikut berebut. Malu. Setelah orang terakhir masuk. Liftnya berbunyi, tanda kalau liftnya penuh. Orang-rang didalam lift tertawa dan bertepuk tangan. 
"Keberatan nih!" Seru yang lain
"Ayo ngalah." Sahut temannya
Rupanya tidak ada yang mau mengalah. Huu ... sudah jadi dokter masih saja bertengkar di lift. aku terkikik dalam hati. 
"Hompipah aja." Saran seorang dokter perempuan
"Ih, seperti anak kecil saja." Ucap temannya 

'lha memangnya kalian tidak seperti anak kecil sekarang?'
"Kalau begitu yang terakhir masuk harus turun."
"Ya. Adil. Kamu pakai tangga saja. Sampai jumpa Chris." Seorang temannya memberi saran.

"Iya sampai besok. Daaah." Sorak mereka secara bersamaan.

          Salah seorang dari mereka keluar dari lift. Saat aku sampai di depan lift, pintu lift tertutup. Kami saling berpandangan. Wajahnya tampan. Dalam balutan jas dokter, ia bertambah keren dua eh tidak tidak kali lipat. aku mengalihkan pandanganku ke arah lift. Hanya aku dan dokter itu saja yang menunggu lift. 'Duh, rasanya bosan menunggu lift walaupun sebentar.' Beberapa detik kemudian liftnya datang. Aku dan dokter itu langsung masuk ke dalam. Sewaktu di dalam, dengan santai iaa bertanya, "Lantai berapa?"
"Lantai 1." jawabku. 

          Dokter itu segera memencet tombol nomer satu. Kami hanya berdua berada dalam kotak lift. Dari samping, dokter itu terus menatap awajahku. Aku bisa melihatnya karena dinding lift yang berkilau. Karena merasa risih, aku langsung menegurnya. "Ada yang aneh dengan wajahku?"

"Em ..." Dokter muda itu sepertinya akan bicara, jd aku menunggunya. Tapi dia masih diam.
"Kenapa?" Tanyaku lagi
"Hari minggu, kita kencan yuk!" Ajaknya.
"Hah?!"


FIRST DATEWhere stories live. Discover now