Aku dan darah
Sayatan-sayatan luka itu masih tampak segar, darah masih menetes dari pergelangan tangan kanan seorang lelaki muda. Tak ada rasa sakit yang tergambar dalam guratan wajahnya, hanya raut kesedihan yang menghiasi parasnya yang tampan. Dia seakan menikmati aroma darah yang menguar di udara. Di sebelahnya tergeletak beberapa silet dengan bekas noda darah di setiap ujungnya, Lelaki itu duduk sendiri termenung dan memeluk kedua kakinya. Tatapan matanya tampak nanar pikirannya berkelana jauh ke belakang, mengingat masa lalunya yang kelam.
Mendung gelap menggantung di atas langit. Ruangan itu gelap tanpa cahaya, tanpa suara. Hening. Berteman gelap dan rasa sakit yang tak terasa lagi adalah suatu pelarian yang bisa dia lakukannya saat hal-hal buruk terjadi dalam kehidupannya, atau saat kenangan pahit masa lalu itu muncul dalam ingatannya.
Hujan mulai turun, jam menunjukkan pukul 17.00 WIB, hujan kali ini berbeda dengan biasanya. Angin bertiup dengan kencang, suara petir terdengar menyambar bumi ini dengan keras, seakan menyambar rumah itu dan menyadarkan pemuda itu dari lamunannya.
Aku mulai bergerak, senyum kepuasan muncul di wajahku, ketika aku memandang tetesan darah yang menetes dari pergelangan tanganku. Aku pun bangun dan menyalakan lampu kamar, dengan cekatan walaupun sedikit lemas kuambil kotak obat dan mulai membersihkan luka, tak butuh waktu lama untuk mengobati luka itu dan menutupnya dengan perban. Aku begitu terampil dalam memperlakukan luka ini, seakan ini bukanlah yang pertama. Semuanya kembali normal seakan tak ada apa pun yang terjadi, wajahku kembali ceria.
Hujan tak kunjung berhenti, setelah selesai dengan urusan luka, aku berjalan menuju jendela yang berada di kamarku dan membukanya, kupandangi tetesan air hujan yang membasahi bumi, kusandarkan tubuhku di depan jendela. Aku menjulurkan tangan kiriku keluar seakan menadah tetesan air. Hujan seakan menemani diriku ini dalam kesepianku bersaksi atas kesedihan yang aku rasakan. Banyak hal telah terjadi dan tak akan bisa meminta untuk bisa kembali dalam masa-masa itu. Dunia begitu aneh untuk di pahami, atau mungkin aku yang aneh untuk dunia ini.
Kunikmati aroma hujan ini, aroma yang sangat menarik bagiku, unik dan tak ada duanya, bau yang sangat menyenangkan yang selalu menemani hujan pertama setelah kemarau. Petrichor. Sesuatu yang selalu kunantikan. Aku beranjak dari tempatku berada menuju sebuah meja kecil yang tergeletak di sudut kamar. Kulihat sebuah figura kecil yang usang, di dalamnya sebuah potret dari masa laluku terabadikan dan membisu.
"Bunda, aku kangen banget, pengen peluk Bunda, Kakak apa kabar?, Ayah apa kabar? Kangen kalian semua, kapan kita bisa bertemu lagi?"
"Kakak, kau tetap akan menjadi anak kesayangan Ayah kan? buktinya saja kau ikut meninggalkanku bersama Bunda dan Ayah, kenapa aku ditinggalkan sendiri? Aku kesepian," ujarku dalam hati. Setiap kali aku menatap foto itu, pertanyaan yang sama selalu muncul dalam benakku.
Butiran bening meleleh dari sudut matanya, mata yang indah dengan bulu mata yang lentik dan bola mata coklatnya. Aku merintih dalam hati mengingat masa laluku yang tak mungkin bisa kulupakan. Kini hanya tinggal aku sendiri bersama memori tentang mereka.
"Drddddddddd!!!!"
Suara getar ponselku membuyarkan sesi nostalgiaku, kuraba saku celanaku, namun tak kutemukan, aku mulai mengarahkan pandanganku ke setiap penjuru, hingga akhirnya kutemukan ponselku tergeletak di sebelah kotak obat. Kulihat layar ponselku, sebuah pesan baru.
Dari: Satria
Elon, lu di rumah? Gue mau ke sana, kita keluar yuk...
Untuk: Satria
Aku di rumah, Sat datang aja.
Pesan terkirim.
Lima belas menit kemudian kudengar suara pintu rumahku diketok. Aku berjalan dengan enggan ke arah pintu, dengan malas kubuka daun pintu, di luar kulihat Satria sudah berdiri, sejajar dengan tinggi pintu rumahku, kucium aroma parfum yang khas selalu dia pakai, kulitnya terlihat kecoklatan, tidak seperti biasanya yang selalu terlihat putih bersih.
YOU ARE READING
Bianglala
Teen FictionSebuah kisah tentang persahabatan, pencarian jati diri, cinta dan rahasia.