Bolum 01 : Lenyap Bergilir

67 2 0
                                    

Gemericik air terdengar menggema di suatu ruangan gelap yang sunyi, Eylul perlahan membuka mata lalu melihat sekeliling pemandangannya yang nampak pekat, kemudian ia merasakan tangan dan kakinya dalam keadaan terikat. Tak lama suara langkah kaki terdengar dari balik kegelapan di hadapannya, seseorang dengan jubah hitam bertudung menghampirinya dan menyapa.
“Sungguh mengejutkan, mengetahui bahwa kau adalah salah satu wanita yang sedang dicari.”
“Siapa kau? Dimana ini?” Teriak Eylul.
“Aku hanyalah seorang kurir yang sedang berburu, kebetulan semua targetku berada di dunia kalian. Perlu ku perjelas, kau sekarang berada di duniaku.”
“Lepaskan aku! Apa yang kau inginkan dariku? Apa maksudnya ini?” Tanya Eylul yang mulai khawatir.
“Oh bersabarlah, manis! Karena akan ada banyak pertanyaan yang akan kau mulai saat ini, tapi sayangnya aku tak punya cukup waktu untuk menjawab semuanya. Dan tahukah kenapa? Karena masih ada yang harus ku urus di duniamu. Kau bisa tebak? Kalian berlima adalah gadis-gadis yang sedang dalam pencarian bangsa kami.” Terang lelaki jubah hitam.
“Jangan kau sentuh teman-temanku, jangan kau libatkan mereka, ku mohon!”
“Kau tak perlu cemas, aku tak akan menyakiti mereka, justru akan ku perlakukan mereka seistimewa mungkin. Kau paham itu, Biran?”
“Namaku bukan Biran, aku... Namaku...” Eylul nampak kebingungan seakan-akan lupa namanya sendiri.
“Oh jadi kau mulai merasakan sesuatu yang ganjil ya?”
“Apa yang kau lakukan padaku?”
“Sudah ku bilang, pertanyaan demi pertanyaan akan bermunculan tapi aku tak bisa menjawabnya sekarang. Dan, tetaplah disini, ada percobaan lain yang ingin ku lakukan padamu, Biran.” Lelaki itu pun beranjak pergi.
“Tunggu! Kau salah orang, aku bukan Biran.” Teriak Eylul.
“(Ya tuhan, apa yang terjadi denganku? Kenapa aku lupa namaku sendiri? Dia memanggilku nama lain, ini tak boleh terjadi, aku harus bisa mengingat kembali siapa namaku.)” Ucapnya dalam hati.
Tiba-tiba muncul seekor tikus menghampiri kaki Eylul, sontak membuat Eylul teriak sekeras kerasnya dan berusaha mengusir tikus itu, namun setelah diamati tikus itu nampak sedang menggerogoti tali yang mengikat kedua kaki Eylul. Eylul pun perlahan merasa tenang, kemudian berusaha melonggarkan ikatan di kakinya. Setelah selesai, tikus itu lalu menghampiri tali yang mengikat kedua tangan Eylul. Ia semakin heran melihat perilaku hewan pengerat itu yang seolah-olah ingin menolongnya. Begitu tali pengikat tangan terlepas, tikus itu berlari sambil menggerakkan isyarat kepada Eylul agar mengikutinya. Tanpa ragu kemudian Eylul mengikuti jejak si tikus dengan penerangan sebatang obor yang diperolehnya dari dinding. Akhirnya langkah Eylul terhenti di sudut ruangan, kemudian ia masih terus mengamati gerak-gerik si tikus. Tikus merayap ke celah antara dua dinding lalu ia nampak seperti sedang menarik sesuatu. Tiba-tiba bagian bawah dari dinding terbuka dengan kelebaran yang tak terlalu besar dan nampak semacam jalan rahasia. Terkejut melihat itu, Eylul lalu bergegas masuk ke dalamnya disusul dengan si tikus, kemudian si tikus kembali menarik sesuatu yang membuat dinding itu tertutup seperti keadaan semula. Dengan merangkak Eylul terus menelusuri lorong kecil itu bersama si tikus.

Sementara itu, Feride tiba di panti dengan raut wajah heran.
“Anak-anak.”
“Nona Feride.” Kader menghampiri sambil memeluk Feride.
“Apa sudah ada kabar tentang Eylul?”
“Belum, nona Feride. Kami dibuat bingung oleh kejadian ini.” Keluh Songul.
“Apa perlu kita mencarinya ke seluruh kota?” Tanya Meral dan semua terdiam sejenak.
“Tunggu, apa mungkin dia ke makam ibunya?” Tutur Cemre.
“Kalo begitu kita cari kesana.” Ucap Feride lalu bergegas berangkat bersama para gadis.
Tak lama, Serkan dan Guney datang.
“Teman-teman, nona Feride.” Serkan memanggil seraya menghampiri.
“Serkan, kami akan mencari Eylul.” Terang Songul.
“Kemana kalian akan mencarinya?”
“Ke makam ibunya, mungkin saja dia disana.” Tutur Feride.
“Kalo begitu, kami ikut mencari.” Ucap Guney.
“Baiklah.”
Mereka semua berangkat menuju tempat pemakaman. Beberapa saat kemudian mereka tiba, lalu mereka memulai pencarian dengan berpencar mengingat begitu luasnya area makam. Guney dan Songul mencari di area tempat ayah Songul dimakamkan. Sambil menelusuri makam demi makam, akhirnya Songul tiba di makam dengan batu nisan bertuliskan nama sang ayah, namun perhatian Guney tertuju ke arah lain. Guney terkejut melihat salah satu nisan tertulis nama ibunya, padahal saat itu Guney belum ditinggal mati oleh sang ibu. Sementara itu Songul, terduduk di sisi makam sang ayah sambil melinangkan air matanya sejenak. Tiba-tiba, seseorang meraih bahu Songul. Tapi Songul mengira tangan yang memegang bahunya adalah tangan Guney. Kemudian saat menoleh ke belakang, betapa terkejutnya Songul, orang yang menggenggam bahunya adalah sosok ayahnya dengan wajah pucat dan tersenyum. Kemudian sadar akan kenyataan itu, Guney lalu menoleh ke arah Songul dan ia pun terkejut, Songul sudah tidak ada. Guney yang mulai panik terus berteriak memanggil-manggil Songul ke segala arah, namun tak ada tanda-tanda keberadaan Songul.
Mendengar teriakan Guney, Kader dan Meral menghampiri.
“Guney, ada apa? Kenapa kau berteriak seperti itu? Mana Songul?” Tanya Kader bertubi-tubi.
“Aku tidak tahu, barusan dia bersamaku, tapi pandanganku tertuju kepada batu nisan itu.” Menunjuk ke arah batu nisan yang sempat mencuri perhatian Guney. Kemudian Meral menghampiri makam yang Guney maksud lalu bertanya.
“Ada apa dengan makam ini?”
“Di makam itu tertulis nama ibuku, begitu juga tanggal lahirnya.” Tutur Guney yang masih dalam keadaan panik.
“Tapi disini tertulis nama Margul, lahir sekitar 50 tahun yang lalu dan meninggal 3 bulan yang lalu.”
“Apa?” Lagi-lagi Guney dibuat kebingungan lalu memeriksa kembali makam yang ia lihat terakhir kali, dan benar sesuai yang Meral katakan.
“Apa maksudnya ini? Tadi ku lihat disini tertulis nama ibuku. Aku bersumpah, aku tidak berbohong. Setelah kejadian itu, aku ingin langsung mengatakannya kepada Songul, tapi Songul sudah tidak ada. Aku bahkan tak sempat mendengar suara atau teriakannya saat dia pergi.”
“Ya tuhan, Songul.” Tangis Kader mulai pecah.
“Guney, jangan mengada-ngada! Mana mungkin Songul menghilang begitu saja? Cepat katakan kemana dia?” Dengan mata berkaca-kaca, teriak Meral mendesak Guney.
“Sungguh aku tidak tahu, Meral.” Tegas Guney.
“Guney.” Serkan memanggil sambil menghampiri.
“Ada apa ini?”
“Serkan, Songul menghilang juga entah kemana.” Tutur Kader.
“Bagaimana bisa? Guney, bukankah dia bersamamu?”
“Dia memang bersamaku, tapi kejadian aneh mengalihkan perhatianku tadi.”
“Ada apa?” Feride dan Cemre datang.
“Songul menghilang juga, nona Feride.” Ucap Meral sambil menangis.
“Apa?”
“Apa yang terjadi?” Tanya Cemre.
“Tadi dia bersama Guney, ada yang aneh disini, Guney mengatakan bahwa ia melihat ada makam dengan batu nisan dengan tulisan nama ibunya, lalu bermaksud untuk mengatakannya kepada Songul, lalu Songul menghilang begitu saja. Kemudian kami berdua datang dan bertanya kepada Guney, Guney menunjuk makam yang ia maksud tadi. Begitu Meral memeriksanya, makam itu tertulis nama orang lain, bukan nama ibunya.” Terang Kader.
“Apa benar begitu, Guney?” Tanya Feride kepada Guney.
“Benar, nona Feride. Aku benar-benar menyesal dengan kejadian ini.” Tutur Guney yang juga menangis.
“Ya tuhan, kenapa ini bisa terjadi?” Keluh Feride.
“Anak-anak, kalian kembali ke panti. Aku dan Guney akan melapor polisi.”
“Nona Feride, aku ikut.” Ucap Kader.
“Tidak usah, Kader. Aku akan hubungi pak Toprak untuk mengawasi kalian. Kalian tunggu dia di halaman depan. Serkan, tolong temani mereka ke panti.”
“Baiklah. Ayo, teman-teman!”
“Aku akan segera kembali, anak-anak.” Ucap Feride berpamitan.
Kemudian Feride dan Guney bergegas ke kantor polisi.

Di waktu yang lain, Eylul berhasil menemukan jalan keluar yang membawanya ke suatu hutan di hari yang masih gelap. Ia mulai melihat keadaan di sekeliling. Tiba-tiba ia mendengar seseorang bicara padanya.
“Hei manusia, teruskan berlari! Kita belum aman.”
“Siapa itu?” Tanya Eylul.
“Aku disini, di bawahmu.” Kemudian Eylul menengok ke bawah.
“Hei cepatlahl! Lelaki itu bisa tahu kalo kita sedang melarikan diri.”
Eylul pun terkejut melihat tikus yang bersamanya dapat berbicara.
“Kau bisa bicara?”
“Kita bahas nanti saja, sebaiknya kita menjauh dulu dari sini dan cari tempat yang aman.” Kemudian tikus itu mulai berlari.
“Baiklah, tapi tunggu aku.” Eylul pun mengikutinya.

Sementara itu di sore hari, sesampainya di gerbang panti.
“Teman-teman, aku ke toilet dulu.” Ucap Kader lalu bergegas.
“Jangan lama-lama, Kader!” Teriak Meral.
“Ya.” Jawab Kader sambil berlari masuk panti.
“Benar-benar aneh, pertama Eylul menghilang, sekarang Songul. Mereka pergi tanpa meninggalkan petunjuk apa pun. Apa menurutmu ini masuk akal, Cemre?” Tanya Meral.
“Entahlah, aku pun tak habis pikir. Apa mereka sengaja pergi atau mungkin seseorang menculik mereka? Karena dugaan bisa mengarah kesitu.”
“Eylul, semoga kau baik-baik saja.” Ucap Serkan yang matanya mulai berkaca-kaca.
“Serkan, ngomong-ngomong bagaimana hubunganmu dengan Eylul saat ini?” Tanya Meral.
“Entahlah, di satu sisi aku amat khawatir dan masih peduli padanya, di sisi lain hubungan kita memang sudah berakhir.” Terang Serkan sambil menghapus air matanya.
“Maaf pertanyaanku terlalu lancang.”
“Tidak apa-apa, memang begitu kenyataannya.”
Di waktu yang bersamaan, Kader membasuh wajahnya lalu bercermin. Alangkah terkejutnya, ia melihat sosok hitam berdiri di belakang pantulan dirinya di cermin. Kemudian ia menoleh ke belakang namun tak ada siapa pun. Lalu kembali menengok ke cermin, sosok itu sudah nampak dekat di hadapannya, Kader hendak berteriak namun kedua mata dari sosok itu menyala memancarkan sinar menyilaukan dan membuat teriakan Kader menjadi senyap tak dapat terdengar orang lain, pada akhirnya Kader tak sadarkan diri.
Tak lama kemudian Toprak tiba di panti. Meral, Cemre, dan Serkan menceritakan kejadian yang dialami teman-teman mereka dari awal mula hingga akhir. Setelah selesai menceritakan, Meral dan Cemre mulai bertanya-tanya kenapa Kader belum juga kembali menemui mereka. Karena dibuat penasaran, Meral pergi menyusulnya. Kemudian setibanya di toilet, pintu masih terkunci dari dalam, lalu ia memanggil Kader namun tak ada jawaban. Berkali-kali mengetuk pintu hingga berteriak memanggil Kader membuat anak-anak panti yang lain menyaksikan dan memberitahu Meral.
“Hei Meral, sudah sejam yang lalu Kader berada di toilet. Kami mengetuk pintu tapi dia tak menjawab.” Ucap salah satu anak panti.
“Apa? Sedang apa dia berlama-lama di dalam sana?” Tanya Meral mulai panik.
“Entahlah, kami sampai harus pergi ke lantai dua untuk menggunakan toilet yang satunya.”

“Kader, buka pintunya cepat! Kau bisa dengar aku, Kader?” Terus berulangkali mengetuk pintu dan memanggil namun tetap tak ada jawaban.
Kemudian Meral berlari keluar memanggil Rustem. Rustem pun bergegas mengikuti Meral yang kembali berlari ke toilet. Cemre, Toprak, dan Serkan pun menyusulnya. Meral mengatakan semua yang terjadi kepada Rustem lalu meminta Rustem untuk mendobrak pintu toilet tersebut. Kemudian pintu pun didobrak oleh Rustem yang dibantu oleh Toprak. Alhasil, Kader sudah tidak ada di toilet.

Hari kian gelap, Feride dan Guney tiba di panti bersama dua orang anggota kepolisian. Feride penasaran saat melihat anak-anak panti berkerumun lalu menghampiri. Kemudian Meral menangis keluar lalu berpapasan dengan Feride. Meral menceritakan peristiwa yang terjadi, kali ini menimpa Kader. Feride lagi-lagi syok mendengar kabar tersebut. Toprak menghampiri kemudian memeluk Feride. Salah satu polisi meminta keterangan kepada Meral, dan satu polisi yang lain melakukan penelusuran terkait hilangnya Kader. Feride tampak kesulitan menerima kenyataan bahwa dalam waktu sehari harus kehilangan tiga anak asuhnya sekaligus, ia mulai menyalahkan dirinya sendiri namun Toprak berusaha menenangkannya. Polisi pun kewalahan menangani kasus hilangnya gadis-gadis panti secara misterius dan dalam kurun waktu yang tak terduga, tanpa meninggalkan petunjuk apa pun. Polisi menerangkan lebih lanjut, secara teknis hilangnya para gadis dianggap tidak logis sehingga butuh proses penyelidikan dalam waktu yang tidak singkat, namun perkembangan akan terus dilakukan. Kemudian Feride meminta para pihak panti untuk tidak memberitahu Neriman yang saat itu sedang sakit. Penyelidikan di lingkungan panti untuk sementara ditunda, dan akan dilanjutkan esok pagi.
Malam hari menjelang tidur, Meral dan Cemre meratapi nasib ketiga sahabatnya dalam lamunan yang membuat mereka tak saling berinteraksi. Air mata terus membasahi pipi mereka masing-masing, sesekali mereka melihat ketiga ranjang sahabat mereka yang kosong. Canda tawa yang menghiasi malam mereka kini berubah sunyi dibasahi air mata yang menyesakkan hati. Meral memejamkan mata mengingat kenangan suka duka yang telah dilewati, Cemre pun demikian. Namun hal aneh mulai dirasakan oleh Meral, ia mendengar suara Eylul, Songul, Kader menggema memanggil namanya. Kemudian pintu kamar pun terbuka, mengejutkan dirinya saat melihat ketiga sahabatnya satu per satu memasuki kamar secara tiba-tiba. Ia serasa tak percaya mereka kembali secepat itu, akan tetapi, perasaan aneh yang ia rasakan tak terhenti sampai di situ. Ia mengamati ketiganya hanya menatap dengan sorot mata yang datar dan tanpa ekspresi sama sekali. Lalu ia segera membangunkan Cemre namun Cemre nampak tertidur pulas hingga tak bereaksi sedikit pun. Kemudian Eylul, Songul, dan Kader pergi meninggalkan kamar satu per satu tanpa berbicara sepatah kata pun. Meral pun memanggil mereka namun tak satu pun dari mereka merespon. Karena takut kehilangan, Meral pun mengikuti mereka bertiga dan meninggalkan Cemre seorang diri. Lalu pintu kamar tertutup dan terkunci dengan sendirinya.
Keesokan harinya, Cemre terbangun dan ia melihat Meral sudah tidak ada di ranjangnya. Kemudian sambil memanggilnya ia hendak keluar kamar, pintu kamar masih terkunci. Ia merasakan ada yang tak beres.
“Aneh, kalo Meral keluar kenapa pintu masih terkunci dari dalam?” Kemudian Cemre memeriksa jendela namun semuanya juga terkunci rapi. Lalu ia bergegas keluar dari kamar, akan tetapi, ia lebih dulu penasaran dengan ponsel yang ditinggalkan oleh Meral, kemudian ia menemukan pesan di dalamnya.
“Kau berikutnya.” Cemre mulai ketakutan lalu berlari meninggalkan kamar.
Begitu keluar panti, ia melihat beberapa anggota polisi sedang melanjutkan penyelidikan. Kali ini tampak berbeda, Cemre tak ingin mengatakan bahwa Meral juga ikut menghilang, walau pun ia sempat melihat Feride sedang berbicara dengan kepala polisi. Ia sadar jika ia menyampaikan berita buruk tersebut maka persoalan akan semakin rumit dan menambah kesulitan para polisi untuk menangani kasus sebelumnya. Lalu ia memutuskan untuk pergi dari panti secara diam-diam.
Tangis sedih mendalam ia rasakan di perjalanan seorang diri, awalnya Cemre tak tahu harus kemana ia pergi. Namun sesuatu menggerakkan kakinya untuk mengunjungi suatu tempat.
Tempat itu adalah pantai dimana ia pernah meratapi kepergian kekasihnya, Gokhan, kali ini ia pun mengulangi saat-saat menyakitkan itu. Sambil melangkah menyambut pasang surut air laut, Cemre mengungkapkan kesedihannya lewat bisikan hati.
“(Awal kehancuranku, saat kedua orangtuaku meninggal. Rasa sakit paling pedih yang pernah ku rasakan, saat Gokhan meninggalkanku untuk selamanya. Penderitaanku selanjutnya, saat bibiku berusaha mengambil hak warisanku dan menganggapku gila. Kini, ku harus kehilangan saudara-saudaraku, dengan cara yang tak mampu dijelaskan logika. Apa arti hidup bagiku jika seperti ini jadinya?)”
Cemre semakin berjalan ke tengah lautan hingga dirinya terseret ombak tanpa diketahui siapa pun.

Savas Cicekler (The Flowers of War)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang