Bolum 03 : Bukit Permulaan

32 1 0
                                    

Kembali ke dunia nyata, pihak kepolisian masih terus menyelidiki kasus menghilangnya Eylul, Songul, dan Kader. Feride kembali menerima laporan dari gadis-gadis panti bahwa Meral dan Cemre tidak ada di kamarnya. Tak seorang pun penghuni panti mengetahui kemana dan kapan mereka pergi. Setelah menelusuri semua pengakuan dan tak memperoleh kepastian nasib Meral dan Cemre, Feride terjatuh tak sadarkan diri akibat syok berat yang dialami bertubi-tubi, kondisi tersebut membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit. Selama dalam perjalanan, Toprak nampak sangat mengkhawatirkan keadaan Feride yang mengalami stres berat sejak terjadinya kasus tersebut. Sesekali ia menangis mencium tangan orang yang sangat dicintainya itu lalu mengusap rambutnya. Setibanya di rumah sakit, Feride selanjutnya langsung berada dalam penanganan Unit Gawat Darurat. Salah satu staff medis menahan Toprak untuk tidak ikut masuk. Kemudian ia menunggu dalam kegelisahan yang akan mengusik pikirannya.

Sementara itu di hari yang mulai senja, kelompok bawahan Kirias yang dipimpin oleh Giriz dan Ilbar mulai melacak Biran. Tak tanggung-tanggung, mereka melepaskan kawanan anjing-anjing pelacak berwujud aneh untuk membantu tugas mereka.

Di saat yang bersamaan, Biran dan Silbir tiba di suatu bukit yang menurut Silbir merupakan tempat tinggal seseorang yang akan membuatkan senjata untuk Biran dan mengajarinya ilmu bela diri.
“Huaaah... Sudah lama sekali aku tidak kemari. Biran, ini adalah Bukit Permulaan, disinilah awal dari perjalanan para pejuang.”
“Silbir, kenapa tadi kau tidak bilang kita harus mendaki bukit ini?” Keluh Biran kelelahan setelah mendaki bukit tersebut.
“Oh ya ampun, Biran. Jika ku katakan sebelumnya pasti kau sudah menolak. Ayolah, manis! Mulai sekarang kau jangan jadi wanita yang cengeng. Kau ini salah satu pejuang yang akan memulai perjalanan baru, bahkan tantanganmu berikutnya akan lebih sulit dari ini.”
“Aku mengerti, Silbir. Tapi kenapa tak kau panggil saja dia untuk menuruni bukit? Aku ini perempuan, tak seharusnya aku menempuh perjalanan seberat ini. Lagipula perbekalan kita sudah habis, seharian ini aku hanya memakan buah-buahan, air pun juga sudah habis, aku haus.”
“Biran sayangku, kasian sekali kau ini. Oh ya, itu ada mata air, cepat minumlah!” Menunjuk mata air yang letaknya tak jauh dari sekitar mereka.
“Syukurlah ada air.” Biran pun minum dan membasuh wajahnya.
“Setelah itu kita lanjut mendaki bebatuan itu.” Sambil menunjuk bebatuan yang menyerupai anak tangga.
“Apa masih jauh, Silbir? Kakiku sudah tidak kuat lagi.” Keluh Biran sambil memegang kedua lututnya.
“Hei ayolah, kita sudah dekat, di atas bebatuan itulah tempatnya. Nanti kita beristirahat disana.”
“Baikah, begitu sampai disana, aku tak mau berjalan lagi. Aku butuh istirahat.”
“Ya sudah, ayo!”
Kemudian mereka mendaki bebatuan yang dimaksud oleh Silbir, tak lama mereka sampai.
“Silbir, apa benar ini tempatnya?” Tanya Biran sambil memperhatikan sekeliling.
“Aku sudah sering kemari, ayo ikut aku!” Mengajak Biran menemui seseorang yang dimaksud.
“Nah itu dia, aku akan mengejutkannya.” Bisik Silbir sambil menghampiri sosok yang nampak sedang membelakangi mereka.
“Silbir, kau bilang dia orang, dia tidak nampak seperti manusia.” Biran pun bicara dengan suara berbisik.
“Sssshhh... Aku tidak pernah bilang dia itu manusia, sudah diam dulu!”
Silbir dan Biran berjalan jinjit tanpa bersuara, Silbir bermaksud hendak mengagetkan. Namun saat jarak semakin dekat, tiba-tiba terdengar suara letusan gas di hadapan mereka, disusul dengan munculnya aroma tak sedap yang membuat mereka kalang kabut.
“Ugh... Arrrrrgh... Sial kau Urzu, masih saja kau pelihara kebiasaan burukmu itu.” Keluh Silbir mengatasi bau yang menusuk penciumannya. Biran pun menutup hidungnya sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
“Hmmm? Oh apa itu kau, Silbir? Ku kira tidak ada orang.” Ucap Urzu menengok ke arah mereka.
“Inilah sebabnya setiap kali kesan pertama kau dianggap mengerikan. Karena kau seringkali buang angin pada saat seseorang datang menghampirimu.”
“Hei kenapa menyalahkan aku? Akan lebih aman jika kau menyapaku begitu tiba disini. Maksudku menyapa dari kejauhan.”
“Sudah terlambat kau mengatakannya.”
“Ya mau bagaimana lagi? Hei siapa gadis ini?” Tanya Urzu.
“Biran, ini Urzu, dia adalah guru bagi para Lemurian bangsa hewan, dia yang akan mengajarimu cara mempertahankan diri.” Ucap Silbir mengenalkan Urzu pada Biran.
“Apa di dunia ini seekor beruang yang melatih manusia? Bukankah seharusnya manusia yang melatih hewan?” Tanya Biran dengan polosnya.
“Biran, aku mengerti ini tidak sesuai kenyataan yang terjadi seperti di kehidupan asalmu, tapi beginilah fakta yang terjadi di dunia ini, seperti halnya kau memahami kenapa bangsa kami bisa bicara bahasamu.”
“Wah wah wah...  Terakhir bertemu sekitar 30 tahun yang lalu, tak ku sangka pola pikirmu sematang ini, Silbir.” Terang Urzu mengagumi Silbir.
“Ya ya ya, aku ingat saat itu kau masih memperlakukanku seperti bocah.”
“Hahaha... Wajah menggemaskanmu itulah yang jadi penyebabnya. Hahaha...” Urzu tertawa mengejek.
“Hei sudah cukup acara mengejeknya, gadis ini butuh bantuanmu.”
“Begitu rupanya, apa yang bisa ku lakukan, gadis muda?” Tanya Urzu kepada Biran.
“Silbir bilang aku harus belajar menggunakan senjata, agar aku bisa bertarung. Karena aku sedang dalam pencarian lelaki bernama Kirias.”
“Kirias ya, saat ini bangsa Lemurian sedang dalam bahaya besar karena keberadaan orang ini. Sebaiknya kau mempersiapkan diri, karena lawan kita bukan manusia biasa.”
“Lalu apa yang harus ku mulai lebih dulu?”
“Kita latihan mulai besok saja, karena ku lihat kau sangat kelelahan setelah berjalan sejauh ini.”
“Sejujurnya aku ingin mengatakannya sejak tadi.”
“Oh kalo begitu istirahatlah di balik batu besar itu, ada pemandangan indah yang mungkin bisa kau nikmati disana, udara segarnya akan mengembalikan energimu. Sementara itu aku akan menyiapkan hidangan yang sesuai untukmu, manis.”
“Terima kasih, tuan Urzu.” Biran tersenyum manis.
“Jangan, jangan memanggilku tuan! Panggilan yang kedengarannya lebih akrab saja.”
“Aku tidak ingin memanggil namamu saja, bagaimana kalau ku panggil paman Urzu?”
“Mmm... Baiklah, kedengarannya menarik, sekarang kau istirahat ya. Aku akan memanggilmu begitu semua sudah siap.”
“Baik, paman.” Biran pun menuju tempat yang ditunjukkan.
“Silbir, apa akau tidak ingin menemaninya?”
“Hei, aku juga butuh istirahat. Aku ingin tidur sebentar saja.”
“Aku ingin bicara nanti.”
“Ya ya nanti saja.”
Silbir pun tidur di atas sebuah batu. Sementara itu Urzu menyuruh salah satu asistennya untuk mencari bahan makanan, sang asisten merupakan seekor kera yang lincah sehingga tugas dengan cepat dilaksanakannya. Kemudian malam pun dinantikan dengan persiapan sajian makan malam.

Savas Cicekler (The Flowers of War)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang