Hari ini tepat pukul 16.30 perjalanan berakhir.
Ya! Perjalanan ke rumah orang tua ibuku yang memakan waktu hampir sembilan jam ini resmi berakhir.
Sekarang aku sudah berada di depan sebuah rumah yang begitu asri. Berpagar bonsai desa yang hijau, beralas rumput yang sepertinya sangat terawat dan dihiasi berbagai jenis tanaman bunga indah yang berjejer rapi di depan dinding rumah yang terlihat nyaman meski tak terlalu mewah.
Senyumku mengembang ketika sudut mata ini menangkap sederet tanaman kecil yang berjejer rapi di samping rumah berhiaskan buah-buah yang nampaknya sudah mulai kemerahan. Ternyata si Mbah masih merawat tanaman kesukaanku ini seperti pesanku dulu saat terakhir datang ke sini.
“Cari siapa ya, Nak?”
Akhirnya sosok perempuan tua yang amat kurindukan ini tepat berada di depanku. Keriput di wajahnya semakin tegas terlihat menandakan usianya yang sudah tak muda lagi. Lima tahun sudah cukup untuk merubah sedikit gurat wajah itu.
“Rian, ini Rian, tho? Iya, ini Rian. Mbah yakin.”
Belum sempat aku menjawab, Mbah sudah berhasil mengenaliku. Setengah berlari beliau berjalan memelukku sembari berteriak histeris layaknya menang undian.
Ternyata benar kata Budhe, Mbah memang kangen dengan cucu laki-laki satu-satunya yang dia miliki.
Akhirnya, terjadi adegan-adegan romantis di depan rumah itu yang rasanya tak perlu untuk ku ceritakan.
***
Sore ini, mentari kembali berjalan menuju ufuk barat. Suasana yang tepat untuk sekadar berkeliling melihat kampung halaman yang masih cukup indah berselimut kebun sayur mayur warga yang nampaknya sudah mulai siap di panen.
Setelah berpamitan dengan si Mbah, bermodalkan sepeda onthel tua milik Mbah Kakung, aku menjalankan aksiku. Menggoes sepeda sejauh yang kaki ini bisa lakukan.
Tujuanku satu, yaitu sampai di DAM peninggalan Belanda yang merupakan salah satu tempat wisata daerah ini.
“Jangan melamun! Ntar kesambet!” sebuah suara mengagetkan ku dari arah belakang.
Sejenak ku lihat dari mana asal suara itu. Seorang remaja sebayaku berdiri tegak menyunggingkan sebuah senyum yang begitu manis. Membuat ingatanku kembali pulih mengingat siapa remaja itu.
Perlahan, senyum di wajahku pun ikut mengembang. Lalu berdiri memberi uluran tangan untuk orang yang masih tak jua lelah menahan senyum di bibirnya.
“Masih ingat aku, Ias?” tanyaku ramah.
“Bagiku, waktu lima tahun nggak begitu lama untuk melupakan sahabat terbaik yang pernah kumiliki,” jawabnya kembali tersenyum.
“Dari dulu kamu memang selalu berlebihan. Dari mana kamu tau aku di sini?”
“Aku rasa nggak mungkin kamu pergi ketempat lain selagi tempat favoritmu ini masih ada. Tadi pagi aku ketemu si Mbah. Mbah bilang kamu datang dan sore ini aku ke rumahmu, ternyata kamu sudah keluar,” jelasnya panjang lebar dan mulai duduk di sampingku menikmati pemandangan yang tersaji di hadapan kami.
Sungguh sore yang menyenangkan. Berhias senja yang menyemburat jingga. Berpadu dengan gemercik air yang terbawa oleh angin sehingga memberikan ketenangan yang tak bisa dijelaskan.
Dan makin sempurna oleh kehadiran Bias. Sosok sahabat yang juga menjadi salah satu alasan untuk aku kembali ke desa ini.
***
Rintik hujan mendendangkan instrumen terindahnya pagi ini. Suara katak pun berpadu indah dengan kokokan ayam, membangunkan setiap pasang mata yang masih terpejam. Sungguh hal langka yang tak pernah kutemui di kota.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Di Kolong Langit
Short StorySeperti embun yang terbiasa pada fajar. Seperti angin yang terbiasa pada awan. Dan seperti senja yang terbiasa pada jingga. ✔Another repost gay short story ✔Original writer : Rian Varindra ✔Don't like don't read ✔LGBT haters go away!