02.

1.1K 89 3
                                    

Hari ini mentari bersinar cukup terik. Jam sudah menunjukan pukul 13.00, dan sekarang tepat tiga minggu aku di sini.

Aku sesekali menatap ke arah jalan menunggu Bias yang hendak mengajakku kembali ke ladangnya.

Tumben Bias telat.

Ini kali pertama selama aku berteman dengan Bias, dia terlambat ketika ada janji. Dia janji menjemputku jam setengah satu, tapi ini sudah jam satu yang berarti Bias sudah telat setengah jam.

Aku masih duduk di depan pintu sambil mengutak atik ponsel, mencoba untuk menghubungi Bias. Tak ada balasan.

Aku bosan dan hendak masuk kembali ke dalam rumah ketika ada sebuah sepeda motor berhenti di depan rumahku.

Sorry, Ian aku telat. Tadi ada urusan bentar,” ucap Bias sembari menghampiriku.

“Kirain nggak jadi. Kamu sih, di sms nggak di bales,” balas ku pada Bias.

“Aku tadi di jalan. Ya udah, berangkat sekarang, yok!” ajak Bias yang di ikuti oleh anggukanku.

***

Saat ini aku telentang di atas batu yang waktu itu kami duduki. Di sebelahku juga ada Bias yang sedang terlentang, menikmati udara yang begitu sejuk siang ini.

Beruntung tak jauh dari batu ini ada pohon besar yang mampu menghalang terik matahari agar tak langsung menghujam ke batu ini.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah Bias, ternyata dia juga tengah menatapku. Aku hanya tersenyum.

Lalu dia menarik kepalaku untuk ikut ke arah lengannya dan menjadikan lengan tersebut sebagai alas kepalaku. Sungguh aku bahagia sekarang dan merasa sangat tenang berada di sisi Bias. Aku hanya tersenyum yang disambut oleh senyuman Bias ke arah ku.

“Jadi gara-gara dia kamu berubah, Ias!” Sebuah suara dari arah belakang sukses mengagetkan kami berdua.

Aku mencoba bangkit dan memastikan suara siapa itu. Seorang remaja sebaya kami dengan mata berkaca-kaca memadang penuh benci ke arah kami.

“Apa gara-gara dia juga kamu minta putus dari aku, Ias?”

Sempurna sudah. Aku tau sekarang inti dari apa yang laki-laki di hadapanku ini maksudkan.

Bias hanya mematung dengan ekspresi terkejut yang belum juga bisa hilang dari rautnya.

“Kamu …!!!” Laki-laki itu menunjuk dan mulai melangkah ke arahku.

“Selamat. Kamu sukses menghancurkan hubugan kami. Semenjak kamu hadir, Bias mulai berubah. Dan sekarang semua terbukti. Ternyata benar, kamu orang yang telah menghancurkan hubungan kami!”

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Rasanya sakit. Namun jauh lebih sakit hati ini. Air mata ku menetes.

“Lih, kamu apa-apaan?! Nggak semestinya kamu kayak gitu! Rian nggak tau apa-apa! Semua murni salahku!” Bias sedikit mendorong tubuh laki-laki yang ku perkirakan bernama Galih itu sedikit menjauh dari hadapanku.

Plak!

Sebuah tamparan keras juga mendarat di pipi Bias. Aku hanya termenung di balik tubuh Bias, mencoba untuk mengembalikan jiwaku yang sepertinya hilang bersama dengan tamparan pertama yang sukses mendarat di pipiku tadi.

“Sekarang kamu pilih, Ias. Kamu pilih aku atau dia?” tanya Galih sinis.

“Kamu nggak usah minta Bias memilih. Dia pasti akan milih kamu. Aku hanya berteman dengan Bias. Tapi, maaf kalo ternyata kamu salah paham,” ucapku bergetar menahan tangis.

Cinta Di Kolong LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang