Diskusi Rasa

57 3 1
                                    


Setiap manusia pasti pernah merasakannya. Seperti tumor ganas yang akan menggerogoti hatimu hingga tak mampu bertahan. Satu hal yang tak kau temui di seluruh penjuru dunia. Kecuali pada tatapnya. Suatu ketika kau mungkin akan membencinya dan membuangnya jauh-jauh. Tetapi, seberkas ingatan membawa paket rindu itu kembali padamu. Ya, rindu. Siapa yang tak pernah merindu? Mungkin ia tak memiliki rasa dan acuh pada lingkungan sekitar. Kalau dipikir-pikir, tentu takkan ada manusia seperti itu. Tetapi, aku pernah bertemu. Dia yang dingin, keras kepala, dan egois. Dan bodohnya, aku malah merindu. Tentu saja dia takkan tahu. Sebab, batu tak memiliki rasa.

Semua berawal dari hari pertama aku bergabung dengan klub rasa. Sebuah klub beranggotakan mereka yang pernah terjatuh tanpa tahu cara bangkit, yang merindu tak berujung temu, dan yang tersesat tanpa tahu jalan pulang. Mereka yang memiliki hati lebih besar dari manusia pada umumnya. Dan memiliki lebih dari dua mata, yakni satu mata yang berada pada hatinya dan disalahgunakan untuk melihat masa lalu.

Aku kira semua orang yang bergabung di klub ini memiliki rasa, keramahan, dan toleransi yang luar biasa. Tapi nyatanya, ada seorang yang sudah tak memiliki rasa dan kepercayaan, hingga dia kaku sekeras batu. Dia ditinggalkan seseorang yang amat disayanginya untuk selamanya. Sehingga dia tak percaya lagi pada rindu yang tak kunjung temu. Namun kuyakini dia hebat. Mengalahkan ego dan berusaha sekuat hati untuk tidak mengakhiri hidupnya demi rindu yang berujung temu. Teman-teman memanggilnya Nagara. Dia introvert, tapi aku suka. Cara dia bertanya, mengungkapkan pendapat, juga tatapannya.

Sore itu pertama kalinya aku mengikuti diskusi bersama klub rasa. Bertempat di sebuah café yang tak jauh dari taman kota. Seorang wanita berperawakan kecil dan pendek dengan rambut sebahunya yang dibiarkan terurai itu menyambutku dengan baik dan memperkenalkanku pada teman-teman lainnya. Meski hanya beranggotakan sepuluh orang, perkumpulan ini cukup membuat café menjadi gaduh. Sudah dua bulan setiap minggunya café ini selalu dibooking untuk diskusi rasa.

"Baiklah, daripada menunggu lama, langsung saja kita mulai diskusi sore ini," ucap wanita kecil tadi sebagai moderator. "Ada yang ingin berbagi cerita atau bertanya?" lanjutnya.

"Saya," seorang lelaki bertatap dingin mengacungkan tangan.

"Iya silakan, Nagara," sang moderator bernama Siva mempersilakan Nagara. Dan sejak sore itulah aku mengenal Nagara.

"Saya ingin bertanya, bagaimana bisa seseorang yang dijatuhkan dari ketinggian akan terpental lalu menjadi batu?" tanyanya dengan serius.

"Ada yang ingin menjawab?" tanya Siva.

Seorang lelaki bertubuh gempal dan memakai beanie hat mengacungkan tangan, "Tentu itu takkan pernah terjadi, Nagara. justru seorang yang terjatuh dan terpental akan hancur lebur, bukan malah menjadi batu yang sama sekali tidak bisa hancur," ucapnya menggebu-gebu.

"Kau tidak tahu, Henri. Saya sendiri yang mengalaminya," timpal Nagara.

"Sudah, jangan ribut. Mungkin ada teman lain yang ingin menjawab atau cukup saya akhiri sampai disini?" tanya Siva memastikan.

Aku pun memiliki hasrat untuk menjawabnya. Entah mengapa ketika aku melihatnya untuk pertama kali, aku benar-benar kagum. Tatapannya yang dingin, iris matanya secokelat hazelnut, dagunya yang tegas, hidungnya yang mancung, rambutnya yang dipotong cepak, dan warna kulitnya yang cokelat asia. Juga cara dia berbicara, pertanyaannya, dan dinginnya ucapannya entah mengapa aku suka. Sejak saat itulah, aku percaya love at first sight itu nyata adanya.

Kala itu aku masih ragu untuk mengacungkan tangan, karena aku anggota baru dan belum tahu seluk beluk setiap orang di klub ini. Jantungku berdetak semakin kencang, sedang suara detik jam juga semakin berdetak. Dengan memberanikan diri, aku pun mengacungkan tangan. Seketika pandanganku resmi bertatapan dengan Nagara. Aku pun menyadari tatapannya sedingin es.

Diskusi RasaWhere stories live. Discover now