1st Drop

28 10 6
                                    

When this rain falls on my head (Saat hujan ini mengenai kepalaku)

I'll get all wet even my heart (Aku akan menjadi basah, begitu pula hatiku)

.

"Shit."  umpatku. Aku yang sedari tadi berjalan tanpa tujuan segera berlari mencari tempat berteduh ketika tetes hujan pertama mengenai telapak tanganku. Langit yang telah diselimuti awan-awan yang bergumul membuatku yakin beberapa detik lagi hujan lebat akan mengguyur daerah ini. Intensitas hujan semakin bertambah dan aku masih belum menemukan tempat berteduh. Seandainya ini adalah jalan raya, pasti akan lebih mudah mencari tempat berteduh. Kenyataannya, aku berada di jalan kecil yang dikelilingi tembok belakang rumah-rumah. Entahlah, aku sendiri tidak yakin aku mengetahui daerah ini.

Yang pasti, aku terlambat. Hujan deras mulai mengguyur dan aku yang tak sempat menemukan tempat berteduh segera menjadi basah kuyup dalam hitungan detik. Aku menghela nafas kasar, lalu menyandarkan tubuhku ke dinding terdekat. Aku membiarkan tubuhku merosot, terduduk pasrah. Aku sudah lelah.

Tidak ada yang berjalan lancar hari ini.

Apalagi kejadian tadi pagi, yang membuatku merasa muak untuk tinggal di rumah. Walaupun aku tidak memiliki tempat untuk kutuju, aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Walaupun aku tidak tahu akan bermalam dimana nantinya, aku tetap pergi. Aku sudah tidak peduli lagi. Jika aku mati sekarang pun, aku juga sudah tidak peduli lagi.

"Rie selalu bersemangat dan berpikir positif, itu yang ayah suka dari Rie. Setiap melihat Rie menyambut ayah pulang dari kantor, rasanya rasa lelah ayah menguap. Jadi, Rie... apapun yang terjadi, jangan pernah menyerah. Karena ayah tahu, kau pasti bisa melaluinya. Seberat apapun masalah itu."

Itu kata ayah, saat usiaku masih belum belasan tahun. Aku selalu percaya pada kata-kata ayah, karena itulah aku masih bisa bertahan sampai sekarang. Dan ini batasku. Maaf ayah, bukannya aku tidak ingin mempercayaimu. Aku sudah tidak tahan lagi. Lebih baik aku menyusul ayah saja, ke alam sana.

Mendadak, aku merasa tubuhku berhenti diterpa hujan. Sepasang kaki yang tidak familiar bagiku berhenti di hadapanku. Aku mendongak, mendapati seseorang memayungiku. Membiarkan dirinya menjadi basah karenanya. Ah, aku kenal dirinya.

"Kenapa?"tanyaku padanya, "Kau pasti ingin menertawakanku sekarang."

"Tidak." jawabnya. Nada bicaranya masih seperti dulu, datar. Sama seperti ekspresi wajahnya yang jarang menunjukkan perubahan. Karena itu, aku tak tahu apakah ia berbohong atau mungkin tulus mengucapkannya.

"Kenapa?" tanyaku lagi, "Padahal aku yakin kau sudah menunggu hari ini datang."

"Aku tidak menunggunya." jawabnya, "Aku hanya tahu hari ini pasti datang."

Keheningan mendominasi kami setelah itu. Aku tidak berniat untuk memecahnya, bukan karena aku kehabisan pertanyaan. Justru karena aku memiliki banyak pertanyaan, aku memilih diam. Tidak tahu yang mana dahulu yang harus kutanyakan. Dia juga memilih diam. Masih dengan posisi yang tidak berubah, memayungiku sambil berdiri, membiarkan dirinya basah karena hujan.

Hujan deras itu akhirnya berhenti.

"Ayo pulang."

Aku menaikkan sebelah alisku, "Pulang?"

"Ikuti saja aku." balasnya, membalikkan badannya sambil menutup payung abu-abu yang tengah ia pegang. Aku menurut, mengikuti langkahnya. Sepanjang perjalanan, aku memilih untuk diam, memandangi punggungnya dari belakang. Kemeja slatenya yang basah membuat bahunya yang lebar tercetak jelas. Terbesit sedikit rasa bersalah dalam hatiku karena akulah penyebab ia menjadi kebasahan.

Beberapa menit berjalan, kami sampai di tepi jalan besar. Ia memberiku isyarat untuk diam di tempatku berdiri sekarang ini dan menunggu, yang kubalas dengan sebuah anggukan. Kemudian ia pergi, menghilang dari pandanganku,

Tak lama kemudian, sebuah mobil berhenti di hadapanku.

"Masuk." ucapnya setelah membukakan pintu mobilnya dari dalam dengan satu tangan. Ia menepuk-nepuk jok yang berada di sampingnya, mengisyaratkan agar aku duduk. Aku dengan ragu duduk di dalam mobilnya. Ia melirikku sekilas sebelum mulai menyetir mobilnya.

"Aku baru tahu kau mempunyai mobil." celetukku, "Aku bahkan baru tahu kau bisa menyetir."

"4 tahun sudah berlalu." jawabnya, "Tentu saja banyak hal yang tidak kau tahu."

Aku mengangguk-angguk mengerti. Benar juga, sudah 4 tahun ia pergi dari rumah, dan selama itu pula aku tak pernah betemu dengannya. Namun, melihat fisiknya, ia tidak berubah banyak - sehingga aku dengan mudah mengenalinya.

"Kita mau kemana?" tanyaku, saat menyadari yang diambilnya bukan rute menuju rumahku. Kupikir dia akan mengantarku pulang ke rumah. Apa jangan-jangan ia tahu aku kabur dari rumah?

"Ke apartemenku." jawabnya, "Kau tak punya tempat untuk pulang, kan."

Mendengar hal itu, dadaku terasa sesak. Karena aku tahu hal itu benar, tetapi rasanya lebih menyedihkan mendengarnya dari mulut orang lain. Aku kabur dari rumah dan aku tidak punya seseorang yang bisa kurepotkan dengan menginap di rumahnya. Ya, aku tidak dekat dengan kerabatku dan aku tidak punya teman di sekolah. Tapi, darimana ia tahu aku tidak punya tempat untuk pulang?

Aku menatap wajahnya dari samping. Wajah datar itu, sepertinya menyimpan banyak misteri di baliknya. Membuatku tanpa sadar menyeletuk pertanyaan yang selama ini kupendam.

"Apa kau membenciku?"

Aku menahan nafasku setelah menyadari pertanyaan yang baru saja meluncur dari mulutku. Pertanyaan macam apa itu? Untuk apa aku menanyakannya di saat aku sudah tahu jawabannya?

Tetapi, entah mengapa, aku masih berharap ia akan mengatakan hal yang sebaliknya.

"Menurutmu?" ia balik bertanya. Tatapannya beralih ke arahku. Membuatku tergagap sendiri saat menjawab.

"Ku-kupikir..." dengan berterus terang aku menjawab, "Kupikir kau membenciku. Tapi... jika hal itu benar, rasanya tidak mungkin kau melakukan ini. Entahlah... aku tidak tahu."

"Aku tak pernah bilang kalau aku membencimu."

Aku tertegun.

Jadi selama ini?

Aku baru saja hendak kembali bertanya sebelum ia menghentikan mobil dan berkata, "Kita sampai."

Aku menerawang jendela mobil, menatap sekelilingku. Kami tengah berada di basemen, kurasa ini adalah basemen apartemennya. Aku tak sempat memperhatikan jalan karena aku terlalu fokus pada pikiranku sendiri - dan juga padanya.

TUK TUK TUK

Entah sejak kapan ia sudah berada di luar mobil dan mengetuk jendela mobil. Ia membukakan pintu mobil dan aku buru-buru keluar karena merasa tidak enak kepadanya.

"Maaf,  tadi aku melamun," ucapku. Lagi-lagi, ia hanya melirikku sekilas, kemudian membalikkan badannya.

"Jalannya lewat sini."

.

DownpourWhere stories live. Discover now