2nd Drop

14 10 4
                                    

Stay with me (Tetaplah bersamaku)

I still can't be in the rain alone, without you (Aku tak bisa berada dalam hujan sendirian, tanpamu)

.

Aku suka ruang tengah apartemennya.

Sebenarnya, ruang tengah sama saja seperti apartemen modern kebanyakan. Dinding dan interior bernuansa putih dengan perabotan minimalis. Ada satu-dua rak buku, isinya hanya sedikit. Hanya beberapa majalah dan plakat pengharaan - sepertinya memang disengaja untuk menjadi pajangan semata. Tidak ada lukisan atau foto yang menghiasi dinding. Benar-benar biasa, mungkin membosankan malah. Namun yang kusukai adalah jendela yang terdapat di ruang tengah itu.

Jendela itu lebarnya membentang dari ujung ke ujung dinding. Tingginya melebihi tinggi badanku. Bukan berarti aku pendek, hanya saja jendelanya benar-benar besar. Intinya, karena jendela ini sangat besar, pemandangan yang disuguhkan benar-benar indah. Apalagi mengingat apartemen ini terletak di lantai 11, pemandangan di bawah sana membuatku betah duduk di depan jendela itu berlama-lama.

Selama 3 hari aku tinggal di apartemen ini, yang kulakukan biasanya hanya bangun tidur, menemukan sarapan yang sudah terhidang di meja makan dan menyadari ia telah berangkat ke kantornya. Lalu aku menghabiskan hariku dengan membereskan apartemennya yang entah apa pula yang bisa kubereskan - karena perabotannya yang sedikit. Jika sudah selesai, aku memilih untuk duduk di depan jendela besar itu.

Sekarang pukul 2 siang dan aku seperti biasa duduk di depan jendela besar itu. Di luar sana, jalanan padat oleh kendaraan, orang-orang berlalu-lalang menjalani kehidupan. Tetapi langit berubah menjadi gelap lebih cepat dari biasanya karena disesaki oleh awan cumulus, pertanda hujan akan turun.

Tetes pertama air hujan mengenai jendela, disusul beberapa bulir selanjutnya.

Aku tidak suka hal ini.

Aku baru saja hendak beranjak dari tempatku duduk saat ia tiba-tiba duduk di sebelahku. Aku mengurungkan niatku, tentu saja. Ya, hari ini ia tidak berangkat kerja, karena hari ini hari libur nasional. Seperti biasa, saat aku bangun, sarapan sudah terhidang dan untuk pertama kalinya aku sarapan bersamanya. Sarapan tadi pagi berlangsung dengan sunyi, dengan tanpa sepatah katapun yang terlontar dari bibir kami.

Seperti biasa, setelah sarapan, aku melakukan ritualku - membereskan barang-barang. Aku memperhatikan dirinya, penasaran dengan apa yang akan dia lakukan jika ia tidak berangkat bekerja. Yang ia lakukan, mengurung dirinya di kamarnya dan kutebak ia juga tengah bekerja. Mungkin ia seorang workaholic.

Dan disinilah ia sekarang, entah sejak kapan ia keluar dari kamarnya. ikut duduk di sampingku, ikut memandangi pemandangan di luar sana, yang kini tengah diguyur hujan.

"Kupikir tadi kau ingin pergi."

Aku menoleh sekilas, sedikit terkejut. Dia mengajakku berbicara?

Tapi aku berusaha bersikap tenang. Aku kembali memandang lurus ke depan, ke arah jendela yang basah oleh hujan yang tak kusukai, "Ya, tapi tidak jadi." jawabku.

"Karena aku duduk disini."

"Begitulah."

"Kenapa tadinya kau ingin pergi?"

Aku terdiam sebentar. Tenggorokanku terasa tercekat saat aku ingin berkata, "Aku tidak suka hujan. Aku benci hujan."

Lalu aku buru-buru tertawa canggung untuk menutupi diriku yang entah mengapa ingin menangis, "Hahaha. Aku seperti tokoh di novel-novel ya? Sepertinya aku berlebihan, sampai membenci hujan seperti itu."

"Aku juga tidak suka hujan. Tapi, aku tidak membencinya."

"Maksudmu?"

"Begitulah. Yah, sebenarnya aku juga membencinya dulu. Namun, seseorang pernah mengatakan padaku untuk tidak membencinya."

"Pasti dia seseorang yang penting bagimu."

"Tentu saja. Dia ibuku."

Aku melirik ekspresi wajahnya. Kupikir itu adalah topik sensitif baginya, tetapi ternyata ia dengan mudah membicarakannya denganku. Ia mengatakannya dengan tenang, dan ekspresi wajahnya tidak berubah sedikitpun. Namun, entah itu perasaanku saja atau bukan, aku merasa sorot matanya sedikit berbeda.

Berbicara tentang ibunya, membuatku teringat dengan pertanyaan yang akhir-akhir ini selalu menggangguku.

"Kau bilang kau tidak membenciku." ucapku, "Tapi, kenapa? Maksudku... kupikir kau membenciku, karena aku dan ibuku memaksa masuk ke dalam kehidupanmu, mengantikan ibumu."

"Aku tak pernah menganggapnya seperti itu." jawabnya, "Tak ada orang yang pernah memaksa masuk dalam kehidupanku, karena aku merasa orang keluar dan masuk dalam kehidupanku adalah hal yang wajar. Jadi aku membiarkannya saja. Soal menggantikan ibuku, kau harus tahu bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan ibuku. Kau dan ibumu hanya anggota keluargaku yang baru, dan aku tidak mempermasalahkan kenyataan itu."

Kali ini aku menatap wajahnya lekat-lekat, mencari raut kebohongan dari wajahnya. tetapi, aku tidak menemukannya. Entahlah, apalah yang bisa kusimpulkan dari raut wajahnya yang sama sekali tidak berubah itu? Tetapi, perasaanku berkata untuk percaya padanya.

Lalu, jika ia memang mengatakan hal yang sebenarnya, apa alasan ia pergi dari rumah 4 tahun yang lalu?

"Kenapa?" tanyanya tiba-tiba,"Ada yang salah dengan wajahku?"

"Eh..." aku menanggapi dengan canggung karena ketahuan memandanginya. Aku sama sekali tidak menyangka ia akan memergokinya karena ia sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari jendela besar di hadapan kami. Dengan patah-patah, aku memberi penjelasan, "Bukan itu... aku hanya bingung... Kupikir dulu kau pergi dari rumah karena kau membenciku. Tapi.... kalau bukan, lalu kenapa dulu kau pergi?"

Untuk pertama kalinya selama beberapa tahun aku mengenalnya aku melihatnya tersenyum. Aku baru tahu, matanya yang biasanya memancarkan sorot dingin itu akan menyipit, seakan ikut tersenyum ketika ia tersenyum. Aku baru tahu, gusinya akan terlihat saat ia tersenyum, sekaligus memamerkan deretan giginya yang rapi itu. Aku baru tahu, ketika ia tersenyum, lesung pipi yang terlihat dalam muncul di kedua pipinya.

Sejak dulu, aku selalu menyadari bahwa ia memiliki wajah yang tergolong di atas rata-rata alias tampan. Namun, baru kali ini wajahku terasa panas ketika aku menatap wajahnya. Mendadak getaran aneh menerpa kulitku dan detak jantungku mengalami percepatan seakan tengah berlomba lari.

"Kau ini." katanya, "Suka sekali bertanya, sih."

Aku tidak menjawab. Lebih tepatnya, aku tidak tahu harus menjawab apa. Mendengarnya berbicara santai seperti itu adalah suatu hal baru bagiku, yang entah harus kutanggapi seperti apa.

"Yah, tapi kalau aku menjadi dirimu, aku juga akan penasaran." ia membalas perkataannya sendiri, "Daripada kau penasaran, baiklah - akan kuberitahu."

Jeda beberapa detik itu terasa sangat mendebarkan, seakan aku tengah menunggu sebuah pengumuman penting.

"Alasanku pergi empat tahun yang lalu adalah-" sekali lagi ia memberi sebuah jeda dramatis di tengah-tengah kalimatnya, membuatku hampir menahan nafas.

"-karena aku membenci ayahku."

.

DownpourWhere stories live. Discover now