3rd Drop

16 9 6
                                    

"Alasan aku pergi empat tahun yang lalu adalah-"

"-karena aku membenci ayahku."

"Kau membenci ayah?" tanyaku spontan. Itu adalah sebuah jawaban yang sama sekali tidak kuprediksi sebelumnya. Ayahnya - yang berarti adalah ayah tiriku - rasa-rasanya tidak pernah berlaku buruk padanya. Aku juga tidak berpikir kalau ia pernah berlaku buruk padaku. Ia bersikap layaknya ayah kebanyakan.

Namun, aku tidak menyukainya. Kejadian hari itu membuatku tidak menyukainya. Atau bisa jadi, aku membencinya. Aku memiliki alasanku untuk membuatku berhak membencinya. Tetapi, aku tidak mengerti mengapa ia juga membenci ayahnya. Alasan apa yang membuatnya-

"Hujannya mulai reda."

Tampaknya ia menyadari bahwa aku baru saja hendak menanyakan detil mengenai alasan mengapa ia membenci ayahnya. Mungkin itu adalah topik sensitif baginya sehinga ia mengalihkan topik pembicaraan. Aku tidak mungkin memaksanya. Lagipula, sebagai seseoran yang sebenarnya tidak memiliki hak untuk bertanya, mendapatkan penjelasan sebanyak ini sudah lebih dari cukup.

Aku memilih untuk kembali memandangi lanskap kota di luar sana melalui jendela besar itu. Ia benar, hujan yang deras itu mulai reda.

Wah. Aku melewati hujan yang kubenci tanpa terasa. Berbincang dengannya membuatku lupa sejenak akan kebencianku akan hujan.

"Terima kasih." ucapku. Mungkin kedua kata itu terdengar ringan, namun aku benar-benar bersungguh-sungguh ketika mengatakannya. Ah, bagaimana rasa terima kasih dapat dituangkan hanya ke dalam dua kata itu?

"Sama-sama." jawabnya. Hanya itu. Kupikir ia akan bertanya mengapa aku berterima kasih padanya. Memangnya dia tidak penasaran mengapa tiba-tiba aku mengucapkan terima kasih padanya?

"Kau tidak bertanya mengapa?"

"Untuk apa? Kau kan' memang berhutang banyak terima kasih padaku."

"Hah?"

Aku tahu aku pasti terlihat bodoh di matanya sekarang.

"Aku memayungimu, membiarkanmu tinggal disini, membuatkan sarapan tiap pagi, memasok kulkas agar kau dapat membuat makan siang dan malammu serta banyak hal lainnya, tentu saja kau harus berterima kasih padaku."

Ia bisa jadi tengah memuji dirinya sendiri, namun melihatnya berbicara seperti itu dengan ekspresi datarnya membuat sebuah tawa kecil meluncur dari bibirku tanpa kusadari, "Ya, aku tahu itu. Ternyata banyak sekali hutangku padamu."

"Akhirnya kau tersenyum juga."

Aku terkesiap. Kalimatnya itu sukses membuatku terpaku dan merasa waktu di sekelilingku ikut membeku bersamaku. Nafasku tertahan untuk beberapa saat sementara jantungku kembali menggila. Mungkin terdengar hiperbola, namun aku tidak memiliki kalimat yang lebih logis dari itu untuk menjelaskan perasaanku.

Sebesar itulah efek kalimatnya bagiku. Bagaimana tidak, kalimatnya itu membuatku menyimpulkan bahwa ia duduk bersisian denganku hanya demi membuatku tersenyum.

Aku tidak pernah menyangka bahwa ia adalah seseorang yang memiliki sisi seperti ini. Beberapa tahun yang lalu, saat kami masih tinggal bersama ayah dan ibu, aku mengenalnya hanya sebagai seseorang yang dingin. Seseorang yang membenciku, seseorang yang tidak dapat menerima kehadiranku dan ibuku. Jangankan berbicara denganku, melirikku saja sepertinya ia tidak pernah.

Ia adalah seseorang yang kupikir akan menertawakanku saat aku benar-benar merasa putus asa hari itu.

Dulu, aku selalu berusaha berpikir bahwa keluarga baruku adalah keluarga yang harmonis. Walaupun aku masih belum dapat sepenuhnya menerima bahwa aku memiliki 'ayah baru'. Walaupun saudara tiriku membenci dan berkata bahwa sia-sia saja aku berpikir seperti itu. Ia berkata bahwa suatu hari nanti, keluarga ini akan hancur.

Tetapi tidak. Anggapanku salah. Ia tidak menertawaiku. Ia malah menolongku. Ia bahkan mengatakan bahwa ia tidak membenciku. Ia juga membantuku melewati hujan yang kubenci. Yang paling mengejutkan, ia berusaha membuatku tersenyum.

How someone like him exist?

"Um..." dengan ragu, aku kembali membuka suara, "Bolehkah aku mengajukan sebuah permintaan?"

Ia melirikku, membuat tatapan 'apa-itu?'

"Bolehkah aku memanggilmu... 'kak'?"

Aku menelan salivaku sendiri. Bahkan setelah semua kebaikannya itu, aku masih meminta lebih. Aku mengepalkan jemariku, mempersiapkan mentalku jika ia menolaknya.

"Tentu saja." jawabnya, bahkan tanpa terlihat ia perlu mempertimbangkan hal itu, "Aku sudah bilang saat kita kali bertemu - kau boleh memanggilku dengan sebutan apapun."

Aku kembali tersenyum. Rasanya lega sekali mendengarnya. Saat aku mengajukan permintaan itu, aku merasa sangat gugup. Meskipun aku sudah berusaha menguatkan diriku dengan mengepalkan jariku, aku tetap dapat merasakan gemetar. Tetapi ia menjawab permintaanku dengan enteng, seperti itu bukan masalah baginya.

Mengapa aku tidak pernah mengetahui sisinya ini dulu? Apa mungkin karena dulu aku terlalu merasa takut kepadanya, sehingga aku menjadi tidak dapat mengetahuinya?

Namanya Farren. Umurnya terpaut empat tahun lebih tua dariku. Dia anak dari 'ayah baru'ku. Hari ini, untuk pertama kalinya, kami akan bertemu. Aku belum pernah menemuinya karena setiap kali 'ayah baru'ku dan ibuku bertemu, ia tak pernah memunculkan batang hidungnya. Bahkan ketika pernikahan mereka, ia hanya datang sebentar -katanya- sebelum akhirnya pergi entah kemana. Aku sama sekali tidak sempat bertemu dengannya hari itu.

Hari ini untuk pertama kalinya, kami akan bertemu dan juga mulai tinggal bersama. Seperti apa dirinya? Baikkah? Atau jangan-jangan dia malah tidak menyukaiku?

"Rie, kemari. Ada ayah dan Farren." panggil ibuku. Aku menyahut sembari keluar dari kamarku. Sesampainya di ruang tengah, aku menemukan satu sosok yang familiar bagiku dan satu yang tidak. Tentu saja, sosok yang familiar bagiku itu adalah ayah tiriku dan itu berarti sosok satu lagi yang tidak kukenali adalah Farren, saudara tiriku.

Wah. Dia tinggi sekali. Wajahnya juga lumayan tampan. Aku yakin ia pasti populer karena wajahnya itu. Tetapi matanya memancarkan sorot yang dingin. Wajahnya juga tidak menunjukkan ekspresi sama sekali. Saat kami bertemu pandang, tiba-tiba aku merasa gugup dan terintimidasi. Semoga saja itu semua hanya karena penampilannya saja. Siapa tahu sebenarnya ia adalah seseorang yang hangat.

"Rie." ucapku seraya mengulurkan tangan serta tersenyum senatural mungkin, padahal aku merasa sangat kaku saat melakukannya.

"Kurasa kau sudah tahu namaku." jawabnya sambil menjabat tanganku, "Terserah kau ingin memanggilku apa."

Bahkan nada bicaranya juga terdengar dingin. Jangan tanya ekspresi wajahnya, berubah sedikitpun saja juga tidak. Hah... sepertinya kami akan sulit untuk akrab.

.

Setidaknya begitulah pertemuan pertama kami. Mungkin aku tidak mengetahui sisi ini dari dirinya karena aku sudah terlanjur merasa takut kepadanya. Kami juga jarang sekali berinteraksi karena ia jarang sekali berada di rumah. Selama kami tinggal bersama dulu, rasanya hanya beberapa kali kami pernah bercakap-cakap. Saat pertemuan pertama kami dan saat ia mengatakan bahwa aku terlalu bodoh telah berpiki keluarga kami akan menjadi keluarga yang harmonis.

Setidaknya, sekarang aku menyadari bahwa ia bukan seseorang yang benar-benar dingin seperti anggapanku dulu.

.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 16, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

DownpourWhere stories live. Discover now