Dosen Sastra Indonesia telah menyelesaikan kelasnya, para mahasiswa juga sudah meninggalkan ruangan satu persatu. Begitu juga dengan Mili. Dia berjalan sendirian karena memang Mili tidak satu jurusan dengan Dila. Memang nyatanya Mili dan Dila satu universitas, namun keduanya berbeda jurusan. Mili mengambil jurusan Sastra sedangkan Dila mengambil jurusan Psikologi.
Entah kenapa Mili bisa mengambil jurusan Sastra. Padahal sewaktu SMA dulu Mili tidak terlalu menyukai pelajaran Bahasa Indonesia. Entahlah sepertinya Mili tertarik mengambil Sastra dan ingin mulai belajar menulis novel. Semenjak Milannya pergi, Mili ingin sekali mendalami dunia kepenulisan, rasanya Mili ingin menuliskan kisah-kisahnya dulu bersama Milannya.
Mili berjalan ke arah kantin sembari menunggu Dila ia sudah memesan minuman duluan. Mili memutar pandangannya ke sekitar. Ramai. Kata itulah yang menggambarkan suasana di kantin Sastra sekaramg. Di keramaian seperti ini Mili malah merasakan kesepian yang mendalam.
Ah, Mili masih belum bisa melupakan bayang-bayang Milan.
"Udah lama?" tanya Dila yang baru saja datang.
"Nggak juga."
"Eh, itu kak Shella kan?"tunjuk Dila.
Mili mengikuti jari telunjuk Dila yang mengarah kepada salah satu perempuan yang sedang kebingungan mencari tempat duduk. Kemudian mengangguk.
"Kak Shella, sini," ajak Dila.
Yang dipanggil langsung menoleh kemudian langsung tersenyum.
Mili dan Dila juga satu universitas dengan Shella, pacar Fachri. Mereka juga sudah dekat, walaupun Shella kakak tingkat mereka, tapi Shella bisa satu pemikiran dengan mereka berdua. Walaupun Shella jauh lebih dewasa.
"Baru keluar kak?" tanya Mili.
"Iya nih Mil," ujar Shella yang baru saja duduk di sebelah Mili.
"Udah ini gak ada kelas lagi kan?" tanya Dila.
Mili hanya mengangguk. Kemudian ia memainkan sedotan yang ada di minumannya.
"Oke, berarti bisa pulang bareng."
Kadang-kadang Dila membawa mobil sendiri, tapi kadang-kadang juga ia diantar oleh Riki. Terkadang Mili tidak mengerti dengan hubungan yang dijalani oleh Dila dan Riki. Mereka sudah menghabiskan waktu bersama-sama tapi sampai sekarang Riki masih belum menyatakan cinta kepadanya. Jika orang-orang yang tidak mengenal mereka berdua, mereka pasti akan dibilang sepasang kekasih. Padahal nyatanya TIDAK. Hm, mungkin bisa dibilang hubungan yang sedang mereka jalani saat ini seperti hubungan tanpa status. Ya, seperti itu.
Mili sedari tadi hanya diam saja. Padahal topik pembicaraan Shella dan Dila sudah ngolor kidul kemana-mana.
"Masih mikirin kak Milan?" tanya Dila akhirnya.
"Hm."
"Mil, lo harus belajar lupain Milan. Gue tu itu susah, tapi lo gak boleh terus-terusan kayak gini," ujar Shella.
"Ngomongnya mudah tapi praktekinnya susah."
"Ngelupain bukan berarti lo ngehapus semua kenangan-kenangan lo sama Milan, Mil. Ngelupain juga gak sepenuhnya menghilangkan semua tentang Milan dari pikiran lo. Tapi, ngelupain itu lo harus coba merelakan dia dan buka hati lo untuk orang yang baru."
"Gue belum bisa," lirihnya.
"Gue ngerti. Karena bagi lo Milan cinta pertama lo dan itu yang ngebuat semuanya tambah sulit."
"Tapi mau gak mau, suka gak suka, lo harus mulai belajar ngelupain Milan dan buka hati buat orang yang baru."
"Kita gak mau liat lo kayak gini terus Mil. Lo yang diem aja, lo yang lebih suka murung padahal lo dulu ceria banget. Lo berubah Mil. Apa lo pikir Milan seneng liat lo kayak gini? Jawabannya gak sama sekali Mil. Dia sedih ngeliat lo kayak gini. Seenggaknya lo harus buat Milan tersenyum di atas sana."
Seketika Mili tersenyum. Tapi, bukan senyum bahagia melainkan senyum sedih yang terukir di wajahnya. Perkataan teman-temannya benar mungkin sangat benar. Mili juga ingin melakukan hal yang dikatakan teman-temannya, namun kenyataannya semesta tidak mendungkungnya. Berkali-kali Mili mencoba membuka hati untuk orang yang baru, tapi tetap saja hatinya belum bisa menerima kehadiran orang itu.
Tidak mau lagi berdebat dengan Mili akhirnya Dila dan Shella memutuskan untuk mengajak Mili pulang.
***
"Eh ada kak Fachri," ujar Mili saat melihat Fachri sudah ada di parkiran. Apalagi jika bukan untuk menjemput Shella, kekasihnya.
"Pulang bareng Mil?" ajak Fachri.
Mili tersenyum mendengar ajakan Fachri, kemudian ia menggeleng pean. "Gue bareng Dila kak."
Fachri mengangguk paham. "Masih?" tanya Fachri kembali dan menatap Mili dengan tatapan selidik.
Tanpa diperjelas lagi, Mili mengerti maksud pertanyaan Fachri barusan. Bahkan ia sangat mengerti. Mili menjawab pertanyaan Mili dengan seutas senyum.
"Gue anggep itu jawaban lo," jeda Fachri. "Lo gak bisa terus-terusan kayak gini Mil, lo ngerti la maksud gue apa. Lo gak bisa stuck di situ-situ aja."
Mili hanya diam. Dalam sehari sudah banyak orang yang mengajukan pertanyaan yang sama kepadanya. Dan berulang kali juga Mili harus mengulang jawaban yang sama untuk orang yang berbeda.
"Udah Ri, tadi aku sama Dila udah bilang juga kok sama Mili. Mili butuh waktu. Gak segampang itu ngelupain orang yang udah bener-bener kita cintai," kata Shella mencoba untuk mengambil sudut pandang dari Mili.
Memang benar. Jika Shella ataupun Dila berada di posisi Mili, mungkin bakalan ngelakuin hal yang sama dengan apa yang dilakuin Mili sekarang.
Akhirnya Fachri mengangguk paham.
"Yaudah deh kalo gitu kita duluan ya Mil," pamit Fachri pada akhirnya.
Mili mengangguk. Sebelum mobil Fachri dan Shella menjauh, Mili sempat melambaikan tangannya. Tapi, otaknya terus saja memikirkan ucapan yang sudah didengarnya dari beberapa temannya hari ini.
"Mili buruan masuk!" panggil Dila yang sedari tadi tidak digubris oleh Mili.
"E-eh iya," dengan cepat Mili melangkahkan kakinya dan membuka pintu mobil sebelum Dila meneriakinya dengan keras.
***
Komentar untuk chapter ini
Votenya jangan lupa yaa!Litapatricia
20 Desember 2017
YOU ARE READING
Panasea
RomanceSequel MILAN - Copyright 2017 by Litapatriciaa. "When I meet my panacea you still have a special room in my hearth."