CHAPTER ONE:
T H E B E G I N N I N G
O F
E V E R Y T H I N G
Garis vertikal hitam itu berkedip-kedip di layar laptopku.Sudah hampir dua jam lamanya aku menatap garis vertikal kecil itu, berkedip-kedip monoton seiring berdetaknya jam menuju angka dua belas. Aku menguap lelah. Dua jam sudah aku memeras seluruh energi di otakku untuk menemukan sisa-sisa inspirasi dan imajinasi yang tersisa dari pikiranku. Dua jam. Kenapa otakku mendadak bebal sekali?
Sambil menghembuskan nafas panjang, aku merebahkan diriku di kursi merah empuk yang sedari tadi kududuki. Bahkan busanya yang biasanya empuk dan halus sekarang mulai kempis dan mengeras karena sudah dua jam kududuki tanpa henti. Sementara garis hitam itu berkedip-kedip mengusik pikiranku, otakku sibuk mencari-cari jalan cerita untuk proyek terbaruku; sebuah novel teenlit tentang percintaan remaja sepanjang kurang lebih seratus halaman.
Seharusnya novel itu menjadi sebuah karya penting bagiku, setidaknya itulah kata Amethyst Warner, manajer sekaligus mentor menulisku. Yeah, aku berani taruhan ia takkan pernah menyebutkan kalimat itu bila saja aku tak membuat cerita itu. Cerita yang mengubah hidup semua orang -- atau setidaknya dalam kasus ini -- diriku.
Pertama kali aku membuat 'The Summer Serenade' adalah tepat lima tahun yang lalu. Saat itu aku masih lugu, hanya menulis untuk kesenangan semata. Novel itu bahkan takkan tercipta kalau saja aku tidak bosan selama liburan musim panas dan menganggur nyaris selama dua minggu penuh tanpa melakukan apapun. Namun tiba-tiba saja, tepat tiga hari sebelum libur musim panas berakhir... Bam! Ide itu menghantamku. Mendadak rasanya aku bersemangat sekali untuk menulis sesuatu.
Jadi, begitulah. Momen itu takkan pernah kulupakan karena semenjak saat itu, aku menulis seperti orang kesetanan dimana saja; di tengah antrian toko buku, di tengah himpitan orang-orang di stasiun kereta bawah tanah, bahkan ketika aku sedang di kamar mandi sekalipun. Ide itu mulai mengalir dengan deras tak kenal waktu, dan aku menikmatinya.
Maka, jadilah sebuah cerita teenlit yang mengisahkan tentang seorang gadis bernama Anya Josephine yang jatuh cinta kepada seorang seniman jalanan. Dan layaknya Anya, aku pun jatuh cinta pada setiap karakter, setiap penggalan, dan setiap kalimat dalam cerita itu. Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan semua bab dalam novel itu, sebab, seperti yang sudah kubilang, aku menulis untuk kesenanganku sendiri. Rasanya seperti terbebas dari pikiranmu sendiri dan melayang bebas bersama kata-kata. Rasanya menakjubkan.
Dan entah mengapa, lama setelah cerita itu berakhir, sebagian dari diriku masih saja berpikir untuk mengirimkan cerita itu ke penerbit. Untuk apa? Mungkin sebagian dari kalian bertanya-tanya. Percaya atau tidak, aku berpikir untuk mengirimkannya secara cuma-cuma. Yap, hanya untuk iseng.
Tentu saja sebagian pikiranku yang normal menolak ide ini mentah-mentah, karena -- sudah pasti -- ini adalah ide yang bodoh. Namun anehnya -- entah apa yang kupikirkan saat itu, Ya Tuhan -- aku mengirimkannya ke penerbit. Dan itulah pertama kali aku bertemu dengan Amethyst Warner, wanita berumur dua puluh tahunan yang tampak sedikit eksentrik dengan rambut ombre biru laut yang selalu ia gerai sepanjang hari.
Aku tidak tahu keajaiban apa yang membuat novel itu diterbitkan dan booming begitu saja. Namun yang pasti, semenjak saat itu hidupku tak pernah sama lagi.
Awalnya sih, para penggemar The Summer Serenade hanya memberikan beberapa ulasan baik di blog-blog mereka layaknya seorang penggemar yang normal. Beberapa mulai mempromosikannya kepada teman-teman dan kenalan mereka. Mereka menyukai novelnya, dan itu membuatku ikut senang.
Namun, entah sejak kapan, semua itu mendadak berubah menjadi tak terkendali. Para penggemar itu tiba-tiba saja menyerbuku saat aku sedang berbelanja di toko buku kecil langgananku di perempatan Wallmart Street, meminta tanda tangan di buku mereka dan foto bersama. Surat-surat para penggemar di seluruh dunia mulai membanjiri kotak suratku. Bahkan laptopku kerap error saat aku mencoba untuk membuka akun e-mailku. Terdengar konyol mungkin, karena hampir semua orang berharap bisa menjadi diriku; dengan novel yang best seller, penggemar dimana-mana, dan hidup yang menyenangkan.
Mungkin ketenaran tak terlalu cocok untukku, karena semenjak saat itu, aku tak pernah merasa senang saat aku menulis. Rasanya malah tertekan. Dengan deadline yang mengintai dan tugas sekolah dimana-mana, rasanya seakan hidupku berubah 180 derajat lebih buruk dan lebih mengenaskan daripada sebelumnya, saat aku hampir mati kebosanan karena menganggur di rumah selama liburan musim panas. Andai aku tak pernah membuat novel itu, apa yang sedang aku kerjakan sekarang?
Kriing!
Astaga! Aku menyentakkan kepalaku. Handphone-ku bergetar seiring dengan bunyi dering telepon yang tak henti-henti. Kuharap jangan Amethyst... jangan Amethyst...
"Halo?"
"Amethyst, maaf! Aku belum terpikirkan apapun! Aku bakal meneleponmu sebentar lagi. Pokoknya tenang saja, oke? Sebentar lagi juga..."
"Irene? Kau baik-baik saja?" Tanya suara di seberang sana, nada suaranya... jauh berbeda dengan Amethyst. Siapa ini? Aku mengerut bingung. "Ini Megan Cowell, bukan Amethyst."
Oh, syukurlah. Aku menarik nafas lega.
"Huft... sori Meg! Kukira kau manajerku!"
"Kalau aku manajermu, Irene, aku bersumpah takkan pernah membuatmu takut dan kalut sampai-sampai lupa dengan siapa kau berbicara" Megan mengikik pelan, aku tertawa.
"Yeah, maaf Meg," tawaku berhenti. "Hanya saja..."
"Proyek ya? Kayaknya kau stress, Ren. Sudah mencoba istirahat terlebih dahulu? Relaks sebentar takkan membunuhmu kan?"
"Aku sudah terlalu banyak relaks hingga tak bisa memikirkan satupun ide!" keluhku sambil menutup layar laptopku yang mulai berkedip-kedip kehabisan baterai. Aku menghembuskan nafas.
"Ayolah... relaks sebentar bisa kan? Pertama, kau masih tujuh belas tahun. Itu artinya kau masih punya banyak waktu untuk bersenang-senang dan menghabiskan waktu seperti remaja yang normal! Kau mau menghabiskan sisa hidupmu dengan mengeriput dan tak mempunyai sesuatu yang menyenangkan untuk diceritakan?" tanya Megan dengan cepat. Sepertinya ia berada di suatu tempat yang ramai karena latar suaranya penuh dengan riuh rendah suara manusia.
"Tapi Meg..."
"Dan kedua, malam ini Erik Henderson mengadakan pesta di rumahnya! Kamu tahu rumah Erik, kan? Rumah yang luas, dengan kolam renang di halaman belakangnya? Orangtuanya sedang perjalanan dinas ke Eropa saat ini, jadi..."
"Meg, aku gak bisa. Seharusnya aku sedang mengetik cerita sekarang" aku menepuk keningku frustasi.
"Tapi kau belum ada ide kan? Bagaimana kalau kau mendapat ide... setelah ikut pesta?" Bisa kurasakan cengiran Megan yang konyol dari sini.
"Ayolah, Ren! Mana mungkin kau menghabiskan waktumu terbuang percuma di depan layar laptop seharian? Let's get party sometimes!"
Aku mengerang. Bujukan Megan memang menyebalkan sedari dulu. "Iya deh! Nanti aku kesana!"
"That's my girl!" Megan bersorak kencang di seberang sana. Aku menjauhkan handphone-ku dari telingaku, suaranya yang berisik masih memantul-mantul di gendang telingaku. "Sampai jumpa disana, Irene!"
Klik! Telepon ditutup. Aku mengerang kesal dan bangkit dari dudukku, mulai berjalan menjauhi meja belajarku. Punggungku serasa habis dilindas truk saking pegalnya. Aku meregangkan badanku.
Yeah, aku harap disana aku bisa mendapatkan inspirasi, seperti kata Megan. Namun... kalau tidak?
Aku mengangkat bahu. Yeah, setidaknya aku bisa hidup seperti anak tujuh belas tahun yang normal. Tanpa beban dan tanpa pikiran. Hanya berpesta dan menikmati hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Every Little Things Of You (ON HOLD)
Fiksi RemajaBagi Irene Joy, hidupnya tak lebih membosankan dari lembaran kertas putih yang selalu ia tulis setiap harinya. Kalau hidup remaja normal bisa didefinisikan dengan dikejar-kejar deadline penerbit dan writers block akut setiap harinya, ia yakin hidupn...