dini hari

91 17 2
                                    

Caca terbangun dari tidurnya, berjalan mendekati meja riasnya dan duduk disana.Ia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Lihatlah! Matanya sudah seperti mata seekor panda sekarang. Kantung mata nya sudah menghitam, akibat menangis semalaman. Masih satu orang itu yang sedang Caca fikirkan. Dengan nama yang sama.

Ya nama itu, adalah Aldi.

Caca menangis semalaman, merasa ia adalah perempuan paling sedih di dunia. Ditinggalkan Aldi, pergi jauh entah kapan mereka akan bisa bertemu kembali. Malah Caca berharap, ia tak akan bertemu lagi dengan sosok itu. Bukan karena ia membenci Aldi, tetapi rasa takut untuk jatuh cinta lagi kepada tatapan teduh Aldi, itulah yang menjadi alasannya.

Drrrrt... Drrrrttt...
In every time you hold me the less that I cry..
Lantunan lagu Too Good At Goodbyes milik Sam Smith mengalun keras di bilik kamar Caca. Membuat sang pemilik tersadar dari lamunannya tentang Aldi. Ia bergegas mengambil handphone nya. Rupanya itu sebuah nada panggilan telepon.

Layar handphone Caca menampilkan duabelas digit angka, nomor tidak dikenal.

Duh lagi galau gini juga, siapa sih.
Gumam Caca.

Akhirnya Caca memutuskan untuk menerima panggilan telepon tersebut, baru saja ia mendekatkan telepon itu ke telinganya. Suara isakan seseorang terdengar dari sana. Caca panik, ia tidak tahu siapa yang menelponnya sepagi ini dan menangis.

"Ha.. halo?"ucap Caca sedikit takut.

"Ca.. lo.. lo bisa bantu gue gak Ca, ini Anya Ca.."

Anya Feraldine. Salah seorang sahabat Caca. Mereka sudah bersahabat sejak SMP, hingga kini keduanya sudah duduk di bangku kelas XI. Dan disekolah yang sama mereka dipertemukan kembali. Ya, SMA Hitam Putih.

"Lo kenapa? Lo dimana Nya?" Tanya Caca ikut panik dengan suara isakan Anya yang semakin kencang.

"Gue dijalan Sriwijaya sama Alan, dan kita di rampok. Mobil Alan dibawa orang, tas gue diambil, handphone, dompet semua nya diambil. Dan Alan.. Ca.. Alan.. " Anya semakin terdengar panik.

"Alan kenapa Nya? Lo tenang dulu dong, jangan nangis mulu" ucap Caca sedikit berharap Anya bisa tenang.

"Alan.. Alan dikroyok sama yang rampok kita. Dan sekarang Alan masih belum sadar. Ca tolong gue.." jelas anya, mungkin sekarang ia sedikit tenang.

"Oke gue kesana, lo tunggu aja ya" ucap Caca.

"Makasih Ca"

Tuuut.
Sambungan telepon terputus, yang Caca pikirkan sekarang adalah bagaimana cara izin kepada bunda nya ingin pergi sepagi ini? Lihat! Jam masih menunjukan pukul 3 pagi. Apakah bunda akan mengizinkan? Dan akan percaya kepadanya? Ah, sekarang masalahnya adalah bagaimana ia bisa keluar dari rumah tanpa bunda dan ayah nya tahu?

Caca membuka fitur whatsapp mengecek apakah ayahnya masih tidur atau sudah terbangun. Untungnya, ayahnya masih tidur. Tiba-tiba ada sebuah pesan yang masuk.

"Ca lo kok pagi-pagi gini online?"

Ternyata pesan dari Reza, teman satu eskulnya. Nama lengkapnya, Muhammad Reza Zulkarnaen Pratama. Semua nama di keluarganya pasti ada kata 'Zulkarnaen' karena bersumber dari nama ayahnya.-oke ini gak penting-.

Caca membalas pesan dari Reza dan menceritakan semuanya pada Reza. Jahatnya, Reza hanya membaca pesan dari Caca tersebut. Caca akhirnya memberanikan diri, untuk bersiap menemui Anya walaupun masih takut akan murka bunda nya. Tapi demi persahabatan, ia rela keluar sepagi ini untuk sang sahabat.

Drrrrr... Drrtt..
Notifikasi pesan masuk, Caca membuka pesan tersebut dan terkejut. Sedetik kemudian, ia segera membuka tirai kamarnya dan benar, ia menemukan Reza ada di depan rumahnya dengan motor nya.

Caca segera berlari keluar kamar, dengan berjalan layaknya seorang pencuri, ia menuruni tangga. Setelah sampai di depan pintu rumahnya, ia membuka pintu dengan takut-takut.

Klek.
Pintu terbuka, Caca segera keluar dari rumahnya. Masih ada satu rintangan lagi yang harus di lewati, yaitu pagar rumahnya. Pagar nya itu sangat berisik. Terbuka sedikit saja,suara nya bisa terdengar sampai di kamar Caca , di lantai atas.

Reza sudah disana, duduk diatas motornya sambil terus memperhatikan Caca.

"Lo di rumah sendiri aja kayak maling gitu" ucap Reza tiba-tiba.

"Sssstttt.." caca segera menempelkan telunjuknya di bibirnya. Sambil menatap tajam ke arah Reza.

Dengan langkah gemetar, Caca akhirnya memberanikan diri untuk membuka gerbang.

Greeeg...
Suara pagar terdengar keras. Caca panik, ia menatap ke arah kamar orang tuanya. Lampunya masih padam.

Pasti mereka masih tidur.
Gumamnya.

Caca segera ambil langkah seribu ketika gerbang sudah terbuka. Ia segera menghampiri Reza. Reza menatap Caca aneh, mulut Reza baru saja akan mengatakan sesuatu tapi sudah dibekap terlebih dahulu oleh Caca.

"Jangan disini Ja, ngobrolnya dijalan aja ya"ucap caca, sambil naik ke motor Reza.

Ja? Siapa Ja? Reza memang mendapat panggilan khusus oleh Caca yaitu Reja. Karena keluarga Caca berdarah sunda, ya wajar saja jika ia tidak fasih mengucap huruf Z. Jadilah ia panggil Reza dengan sebutan Reja. Dan sang pemilik namapun tidak keberatan dengan pengubahan panggilannya tersebut.

Reza hanya mengangguk sambil tersenyum. Lalu memberikan helm pada Caca. Caca segera memakainya. Reza terus memperhatikan Caca dari kaca spion motornya.

Manis juga ya dia kalo malem gini.
Tak sadar Reza mengucapkan kalimat itu dalam hatinya.

Eh Za, inget lo udah punya Anggi.
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu kembali fokus ke jalanan. Caca kemudian membuka topik obrolan ketika mereka sampai di lampu merah perempatan.

"Ja, kok kamu mau bantu aku? Kalo Anggi tau gimana?" Tanya Caca gugup. Logat gue-lo nya tiba-tiba hilang seketika.

"Ga usah baper Ca, cuma bantu sebagai temen yang baik. Anggi pasti ngerti" jawab Reza, nada nya berubah jadi dingin.

"Iya Ja" balas Caca singkat.

"Gue, hm. Aku bercanda Ca, aku kasian sama kamu masa pagi-pagi gini kamu mau keluar sendirian, kan bahaya hehe" ucap Reza di akhiri dengan tawa, tawa yang terlihat sedikit dipaksakan.

"Ja udah lampu hijau, jalan ja" Caca mencairkan suasana keheningan diantara mereka.

Reza kembali mengangguk. Ia segera menjalankan kembali motornya. Hanya menempuh beberapa menit saja mereka sudah sampai. Caca turun dan mengedarkan pandang, mencari Anya. Di seberang jalan, tepatnya di dalam sebuah warunglah Anya sedang terduduk lemas sambil menangis. Seketika itu juga..

"Serahkan dompet dan apapun yang kamu bawa!"
Ucap seseorang di sebelah Caca, sambil mengancam Caca menggunakan sebilah pisau.

Bukk!

Seketika itu juga, hantaman tepat mengenai tangan pelaku tadi. Rupanya Reza sudah turun dari motornya.

"Kamu cepet ke Anya, biar aku yang urusin dia. Cepet Ca" ucap Reza.

Caca hanya mengangguk. Wajahnya masih terlihat panik. Tetapi ia segera berlari mengikuti perintah Reza dan menemukan sahabatnya yang masih terlihat syok itu.

💝

Akhirnya jadi juga bab kedua ini. Maaf kalo ada typo atau kejanggalan dalam cerita. Tetaplah menjadi pembaca yang baik, dengan meninggalkan jejak.

Vote dan komen tetap ditunggu.
Terimakasih.

Salam semanis gula jawa,

Ersamey

Not (only) Our Story [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang