BINTANG KE-1

365 44 13
                                    

"Mulai sore itu, aku tahu jika hidupku akan berputar arah karenanya. Namun, siapa yang peduli dengan itu semua. Siapa yang peduli jika aku tidak pernah membayangkan sebuah pertemuan dengannya. Siapa yang peduli jika hatiku dibuat menghangat karena perlakuannya. Dan siapa yang peduli jika sebenarnya aku benci jauh darinya."

🥀🥀🥀🥀🥀

Denpasar, 6 Mei 2010

Gadis itu menatap datar dinding di hadapannya. Tidak, tidak. Bukan dinding yang dilihatnya, melainkan pintu kelas yang sudah tertutup rapat sejak setengah jam yang lalu, menandakan sudah ada guru di dalamnya.

Sial!

Gadis itu baru ingat jika hari ini adalah pelajarannya Pak Samsul, guru yang paling tidak disukainya. Dilihatnya jam yang melingkar di tangannya.

Pukul 07.30 WITA

Seketika, gadis itu menyesal karena semalam ia berusaha menyelesaikan buku Mitologi Yunani di kamarnya. Walaupun hingga detik ini, buku setebal 450 halaman itu belum selesai dibacanya.

Panggil saja ia Vera. Ammara Xaviera lebih tepatnya. Gadis berponi itu mulai mengikat rambut hitam pekatnya. Entah mengapa angin seolah-olah gemas kepadanya, sehingga berusaha menerbangkan beberapa helai rambut yang panjangnya bahkan tidak lebih dari sebahu.

Ia bahkan belum sekolah lebih dari sebulan di SMP Althea, tapi ia sudah datang terlambat. Sia-sia saja pencitraan kepada guru selama beberapa minggu sebelumnya. Bagus sekali, Vera!

Vera merapikan seragam putih biru yang dikenakannya. Kepalanya menengadah, menatap tulisan yang tergantung di atas pintu sekadar memastikan bahwa ia tidak salah kelas.

Kelas VIIC

Vera memberanikan diri memasuki kelasnya. Tanpa mengetuk pintu, tanpa mengucapkan salam, yang tampak hanyalah cengiran lebar yang ditunjukkan kepada Pak Samsul. Namun, entah vera sedang beruntung atau apa, Pak Samsul tidak melihatnya. Kedua tangan yang sudah mulai keriput itu sibuk membersihkan lensa kacamatanya.

Momen berharga ini tidak disia-siakan oleh Vera. Gadis itu pun berjalan mengendap-endap menuju kursi tempat ia duduk. Sementara, mata bulatnya sibuk memelototi satu per satu temannya yang cekikikan di tempatnya.

“Hei, tuyul!”

Seruan yang bersumber dari depan kelas membuat langkah Vera terhenti. Karena Vera merasa wajahnya tidak seperti tuyul pencuri uang, tuyul hijau, atau tuyul telinga merah, maka ia lanjutkan aksi mengendap-endapnya.

“Hei, tuyul!” ulang suara itu. “Sudah terlambat, masuk nggak pake salam, kayak tuyul aja kamu.”

Langkah Vera benar-benar berhenti saat ini. Tubuhnya mendadak kaku, karena sepertinya itu adalah suara Pak Samsul. Seperti gerakan slow motion pada film-film yang biasa ditontonnya, Vera menolehkan kepala sembari menunjukkan cengirannya. Ia yakin wajahnya saat ini benar-benar tidak jauh beda dengan aneka jenis tuyul yang diketahuinya.

Pal Samsul mulai menginterogasi Vera. “Kamu kenapa telat? Baru sebulan resmi jadi murid kelas tujuh, udah langgar aturan sekolah.”

“Kesiangan, pak,” ucap Vera singkat.
Pak Samsul membenarkan letak kacamatanya. Lalu dilihatnya jam dinding yang berada di dekat papan tulis.

Epsilon OrionisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang