LIMA

5.8K 448 38
                                    

"Assalamualaikum Ambu.." Kata Ainun sambil membuka pintu rumahnya. Sedang Akbar mengikuti dari belakang.

"Ambu.." Kata Ainun lagi, sebab tak ada sahutan sama sekali.

"Ga ada orang kayaknya" Celetuk Akbar.

Ainun, mencari Ambu pada satu per satu ruangan. Sedang, Akbar sibuk melihat - lihat isi dari rumah Ainun. Ya, di dinding ruang tamu, ada sebuah vas foto besar, yang berisi sepasang suami istri yang menggendong bayinya, dengan wajah bahagia.

"Ai.. Ini kamu?" Tanyanya sambil menunjuk foto di dinding.

Ainun tak membalas, ia malah berjalan ke arah dapur.

"Eh, si Neng Ai mah suka gitu" Kata Akbar lagi.

Tak lama, Ainun kembali. Sambil menekan tombol ponselnya. Lalu, ia arahkan pada telinganya.

"Halo, waalaikumsalam Ambu" Jawab Ainun, sedang menelpon seseorang, sepertinya, Ambu.

"Ambu dimana? Ko ga bilang Neng?" Lanjutnya. Dan Akbar mematung mendengarkan.

"Oh yaudah atuh, Assalamualaikum" Lalu panggilan tersebut terakhiri.

Ainun lalu, merilik Akbar yang sedari tadi menatap Ainun tajam - tajam.

"Apa?!" Katanya, penuh emosi.

"Emang saya kenapa?" Balas Akbar.

"Ngeliatin apa?" Tanyanya lagi.

"Pikir sendiri aja.." Tanpa membalas, Akbar beranjak pergi ke dapur.

"Ih!" Keluh Ainun.

"ANGGAP RUMAH SENDIRI AJA, GAPAPA KO.." Kata Ainun sambil menaikkan nada bicaranya, agar terdengar untuk menyindir Akbar.

"Bukan rumah saya sih, tapi nanti, bakal jadi rumah mertua saya" Sahut Akbar, hanya terdengar suaranya saja. Ainun sedikit tersenyum. Ada apa dengannya?

Lalu Ainun menghampiri Akbar ke dapur.
Dengan menghilangkan senyuman itu, ia hanya diam mematung memperhatikan Akbar mengeluarkan semua barang - barang.

"Ambu itu nenek kamu? Ko masih muda?" Tanya Akbar.

"Umumnya nenek sih, tapi aku udah biasa manggil Ambu ke ibuku" Jawab Ainun.

Akhirnya terjawab juga pertanyaan Akbar selama ini, ia sempat bingung. Sebab, Ambu terlalu muda untuk disebut Ambu (nenek).

"Oh pantesan" Jawab Akbar, mengerti.

"Terus Ambu kemana?" Tanya Akbar lagi.

"Gatau, kerumah sodara. Ga ngerti juga mau apa. Pokoknya, tadi Ambu bilang, ya dirumah sodara" Kata Ainun.

Sudah dipastikan semua bahan - bahan tersimpan rapih di meja dapur. Akbar lalu mencuci tangannya.

"Bisa masak ga?" Lagi, lagi Akbar yang memulai.

"Bisalah" Sahutnya.

"Ayo suit, yang kalah masak ya.." Ajak Akbar.

"Loh kok, kan situ yang mau masak" Keluh Ainun.

"Bilang aja ga bisa, selesai" Balas Akbar, meragukan.

"Ihh.. yaudah ayo" Kata Ainun terpaksa.

"Itungan ketiga ya, jangan curang!" Akbar memperingati.

Lalu, secara otomatis, mereka berdua menyembunyikan tangan dibelakang badan masing - masing.

"Satu.. dua.. tiga!" Kata Akbar. Dan secara bersamaan mereka menunjukkan senjata apa yang mereka keluarkan.

Ainun mengeluarkan kertas. Dan Akbar mengeluarkan gunting. Otomatis, Akbar menang, dan Ainun harus memasak. Mau tidak mau.

"Kamu masak ya.." Kata Akbar.

"Saya tunggu di luar" Lanjutnya.

"Loh kok di luar? Bantuinlah.." Kata Ainun.

"Gaenak, disini kita berdua. Jadi, saya tunggu di luar aja. Kalau butuh bantuan, panggil aja. Saya ada" Jawabnya serius. Lalu, beranjak ke luar.

"Ih!" Lagi, lagi kata Ainun.

"Masak apa aja ya, asal kamu yang masak. Saya pasti suka" Gombalnya, sambil berlalu.

***

Lima belas menit kemudian, Ainun keluar untuk menemui Akbar.

"Udah selesai?" Tanya Akbar.

"Hehehe" Balas Ainun, seperti ada yang disembunyikan.

"Ada apa?" Tanya Akbar lagi.

"Gosong" Jawab Ainun dengan wajah penuh kawatir.

"Nih.." Lanjut Ainun, sambil menujukkan masakannya yang sedari tadi ia sembunyikan di belakang badannya.

"Dari banyak bahan makanan yang kita beli tadi, kamu cuma bikin ini? Telor dadar?" Akbar kesal.

"Yaudahlah ya, kan kamu baik. Jadi, makan aja. Lagian ga gosong - gosong amat" Ucap Ainun sebagai pembelaan.

"Yaudah, ambilin nasinya" Suruh Akbar.

"Ogah. Emangnya aku pembantu. Dibayar aja engga" Ainun menolak.

"Iyah nanti dibayar, pake cinta. Cepet ih lapar" Balas Akbar datar.

Karena merasa bersalah. Akhirnya, Ainun pasrah dan mengambilkan satu piring nasi untuk Akbar dan satu lagi untuknya.

"Nih.." Ainun menyodorkan piring pada Akbar.

Tanpa berkata apapun, Akbar langsung memindahkan telur dadar buatan Ainun ke piring nasinya. Begitu lahapnya ia makan.

"Emang enak ya? Aku aja yang bikin, ga suka. Gaenak. Keasinan" Kata Ainun, mengkritik makanannya sendiri.

"Kan tadi saya udah bilang. Apapun yang kamu masak, pasti saya suka" Kata Akbar.

Ainun sedikit terenyuh.

"Walau sedikit ga enak sih.." Lanjutnya lagi.

Ainun yang awalnya merasa terenyuh, malah menjadi jengkel dengan apa yang Akbar katakan selanjutnya.

"Setidaknya udah usaha" Kata Ainun.

"Oh jadi ngusahain nih, buat saya?" Kata Akbar, menggoda.

Pipi Ainun memerah, sebab malu. Dan ia pun tak membalas apa - apa dengan pertanyaan yang Akbar lancarkan padanya.
Dan seketika, semua hening, karena pembicaraan tak berlanjut.

Tak butuh waktu lama, hanya lima menit saja, Akbar sudah mampu menghabiskan nasi serta telur dadar tadi, tanpa tersisa.

"Yowes, saya mau langsung pulang aja. Kalo lama - lama, nanti bisa buat kamu cinta, bahaya" Kata Akbar semenit setelah ia menghabiskan makanannya.

Lalu, Akbar beranjak ke motor bebek yang terpakir di halaman rumah Ainun. Dan bersegera mengunakan helm kesayangan. Tak lupa jaket denimnya.

"Oh iyah, makasih" Ucap Akbar lagi, sambil menaikan nada suaranya.

Ainun hanya melihat saja, tanpa membalas apa - apa.

"Mau minta tolong dong" Kata Akbar lagi.

"Apa?" Jawab Ainun.

"Bukain gerbangnya.."

"Tunggu.." Kata Ainun, tidak seperti biasanya ia menurut.

Ainun lalu beranjak dari kursi di teras depan rumahnya. Untuk membukakan pintu gerbang tersebut. Tak butuh waktu lama, ia sudah membukanya.

Setelah gerbang dibukakan. Akbar menyalakan motornya, lalu melajukan motornya dan berhenti tepat di depan Ainun berdiri.

"Oh iyah, satu lagi. Saya mau minta tolong juga" Kata Akbar.

"Apa lagi?!"

"Tolong cuci piringnya ya, Neng" Ucap Akbar sedikit tertawa. Lalu ia berlalu.

***

















Berawal Dari AhmadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang