SUN AND LUNA

4.1K 258 8
                                    



Ini kisah tentang ibu dan anak yang harus berjuang bertahan hidup. Ditinggal pergi ayah yang seharusnya melindungi.
Bagai rumah yang kehilangan atap. Seberapa keras mencoba menutupi hujan dan teriknya sinar matahari tidak akan sanggup terbendung.

.
.
.

Namanya Hyuga Hinata, gadis cantik mahasiswi tingkat pertama universitas Tokyo. Gadis muda itu harus berjuang demi mencukupi kebutuhan hidup dan kuliahnya. Bekerja dan belajar harus bisa diseimbangkannya.

Dirinya merupakan salah satu mahasiswi beruntung yang mendapat beasiswa dari kampusnya. Namun pihak kampus hanya menanggung biaya semester sampai lulus nanti. Hinata harus berusaha memenuhi kebutuhan perkuliahan yang tidaklah sedikit.

Gadis itu tinggal bersama ibunya. Namanya Hyuga Hikari, wanita yang saat ini sudah memasuki usia 38 tahun dan masih tetap cantik di usianya. Ibunya bekerja di sebuah tempat hiburan malam, katanya menjadi seorang pelayan pengantar minuman.

Namun Hinata masih meragukan itu. Sudah sering Hinata meminta agar ibunya tidak usah bekerja di club itu. Namun Hikari tidak pernah menggubris sama sekali.

Sampai pada suatu hari salah satu mahasiswi dari fakultas kesenian datang dan menyiramkan sekaleng soda di atas kepalanya. Hinata terkejut, dia tidak merasa melakukan kesalahan pada mahasiswi itu.

Detik berikutnya dia merasakan tubuhnya kaku. Seolah kehilangan ruhnya ketika mendengar perkataan gadis yang diketahui bernama Hayate Kazui.

Kenyataan bahwa sang ibu adalah wanita malam yang merebut ayah Kazui. Namun Hinata mencoba meluruskan kesalahpahaman ini. Tidak mungkin ibunya melakukan hal buruk itu, dan tepat setelahnya tamparan keras serta kata-kata hinaan didapatnya ketika mencoba membela sang ibu.

"Dasar jalang! kamu dan ibumu sama saja"

.
.

~Bunga itu layu
Menguning sebelum akhirnya kering.
Menjadi butiran butiran kecil yang kan hilang tertiup angin~

.

.

Pada malam hari Hinata berjalan pelan sambil mengendap-ngendap di belakang ibunya. Hatinya merasakan gemuruh yang begitu meyesakkan. Sungguh tidak ingin melakukan hal seperti ini, sama artinya jika dia tidak memepercayai ibunya.

Gadis itu berharap jika apa yang mengganjal di hatinya dan ucapan Kazui tidaklah benar. Hinata berusaha menguatkan hati ketika berada di depan bangunan tinggi di hadapannya.

"Semoga baik-baik saja"

Bau alkohol dan parfum bercampur menjadi satu. Mencipta kerutan di dahi Hinata karena indera penciumannya merasa terganggu. Dengan keberanian yang dipaksakan gadis muda itu masuk kedalam tempat yang sama sekali tidak pernah dia datangi seumur hidupnya.

Tidak hentinya dia berdoa dalam hati. Gadis itu berharap agar tidak ada apa pun yang buruk terjadi. Namun tentulah satu yang menjadi do'a terbesarnya adalah harapan jika semua ucapan buruk tentang ibunya tidaklah benar.

"Aku harus mencari ibu"

.
.
.

Pemuda berusia hampir seperempat abad itu memandang tajam seorang wanita paruh baya di hadapannya. Tatapannya dipenuhi amarah yang ditujukan pada wanita yang membuatnya kehabisan kesabaran.

"Kamu tahu kan saya ini bukan orang yang sabar! Dan tentu tidak ada kemurahhatian dalam diriku"

Wanita itu sedikit gemetar. Pemuda di depannya begitu menyeramkan. Tentu ini semua karena ulah suaminya. Pria tua itu meninggalkan dirinya dengan bertumpuk hutang beserta bunga yang membuatnya nyaris mati karena serangan jantung.

"Saya berjanji akan bekerja lebih giat lagi. Tapi kumohon beri saya waktu lagi tuan. Hutang suamiku begitu banyak. Terlebih dengan bunga yang melebihi jumlah hutangnya. Tentu dua tahun tidaklah cukup bagiku untuk melunasinya"

Pemuda itu berjalan mendekat, hingga kini hidungnya dapat mencium bau menyengat parfum wanita tua itu.

"Coba kamu pakai otakmu! kalau hanya mengandalkan wajahmu yang sebentar lagi akan menua, tentu para pelanggan tidak akan mau memakaimu lagi! Kamu tahu kan jika dirimu sudahlah tidak muda? Umurmu sudah hampir menginjak kepala empat. Kamu fikir akan banyak orang yang mau memakai wanita tua seperti mu? Walau kamu serahkan tubuhmu secara percuma pun, mungkin tidak akan yang sudi menyentuhmu! Das.."

"Tapi saya punya pelanggan tetap tuan"

Wanita itu segera menyela ucapan pemuda di depannya. Mematik kekesalan pada diri pemuda dengan rambut berwarna pirang.

PLAK!!

"Bagus Hikari. Kamu berani menyelaku? Dasar jalang tua"

Bunyi tamparan menggema di sebuah ruangan yang di dominasi dengan warna merah dan hitam. Wanita bernama Hikari itu jatuh terduduk dengan sudut bibir yang sedikit mengeluarkan darah.

"Hah! Oke oke. Kamu tahu aku masih sedikit berbaik hati. Cepat segera lunasi hutangmu. Saya tidak peduli walau kamu harus menjual organ tubuhmu. Saya ingin uangku kembali. Suamimu itu memang bajingan tengik"

Hikari segera berdiri walau sedikit terhuyung karena pusing akibat tamparan yang di terimanya.

"Te..terima. Ka.."

"PERGI!"

Wanita itu segera pergi meninggalkan ruangan bosnya. Sungguh ingin menangis karena nasib buruk yang di alaminya. Tapi dia sadar bahwa menangis tidak akan menyelesaikan masalah.

"Kamu tahu Hiashi? Saya sangat berterima kasih karena berkatmu hidupku hancur"

.
.
.

"Bos, tuan besar meminta anda menjemputnya di Bandara Narita segera"

Pria dengan pakaian serba hitam menunduk hormat pada seorang pemuda yang kini memasang wajah tanpa ekspresi. Kemudian pergi dan menutup pintu ruangan dengan perlahan.

"Apa ayah tidak tahu jika moodku sedang tidak baik"

Pemuda itu bermonolog. Setidaknya rasa rindunya segera terobati. Sudah hampir satu tahun dirinya tidak bertemu kedua orang tuanya. Hanya lewat sambungan telepon mereka melepas rindu.

Diambilnya benda persegi panjang dan segera mengetikkan pesan singkat pada ibunya.

Mungkin seteguk wine akan menghilangkan kekesalan hatinya, sebelum menjemput kedua orang tuanya di bandara.


<><><><><><>
Mati Rasa
<><><><><><>

Mati RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang