LULUH

2K 221 4
                                    

~Cinta sejati terkadang datang tanpa disadari. Hati kadang kala salah dalam mengartikan sebuah perasaan. Terkadang rasa kagum dan cinta itu beda tipis.~

.
.
.


Hinata terbangun ketika mendengar suara derap langkah yang memecah keheningan malam. Gadis itu mencoba tetap waspada dengan mata tertutup, meredam rasa takut dengan mencengkram erat bagian selimut yang menutupi tubuhnya sebatas pundak. Gadis itu terus berdo'a agar Naruto tidak melakukan hal yang sama seperti hari - hari sebelumnya. 

Tubuhnya sakit, batinnya terluka, gadis itu sudah cukup merasakan trauma lantaran pendarahan hebat yang menderanya dua hari lalu. Naruto seolah tidak pernah lelah menyakitinya, memaksa melayani nafsu bejat yang membuat Hinata menangis pilu lataran rasa sakit yang mendera sekujur tubuhnya.

Hinata semakin mengeratkan cengkramannya pada selimut ketika suara knop pintu terbuka perlahan. Gadis itu seolah tidak sanggup untuk membuka matanya walau hanya sekedar mengintip.

Jantungnya berdetak tidak karuan ketika tangannya merasakan sedikit hawa hangat yang menerpa wajahnya. Matanya perlahan terbuka dan langsung memasang wajah waspada.

"Mau apa kamu?" Suara gadis itu terdengar pelan namun terdengar nada menantang ditelinga Naruto, membuat sang pemuda tidak kuasa tersenyum kecil.

"Jika kubilang menyetubuhimu, kamu mau apa?"

Naruto dapat melihat reaksi terkejut dari perempuan di depannya, terlihat menggemaskan dan membuatnya ingin mencuri ciuman di pipi tembam yang sedikit merona.

Pemuda itu semakin mendekat dan mempersempit jarak diantara keduanya. Mengurung gadis itu dibawah tubuhnya yang kekar. 

Gadis itu terlihat memalingkan wajahnya ke arah lain seolah memberi isyarat bahwa dirinya tidak ingin terjadi kontak mata diantara keduanya.

Namun tingkahnya tidak luput dari pengawasan Naruto, pemuda itu kembali tersenyum melihat Hinata yang tidak mau melihat wajahnya.

"Kamu tahu Hinata? Tidak ada yang spesial dari dirimu jika aku boleh jujur"

Gadis itu bergeming, perkataan Naruto memanglah terdengar sopan namun Hinata merasa pemuda itu tengah merendahkannya atau menghinanya.

Menulikan indera pendengaran adalah hal yang tepat dilakukan saat ini. Toh tidak ada gunanya membantah ucapan pemuda bermarga Uzumaki itu.

"Tapi, mungkin kehadiranmu menghilangkan kewarasanku akhir -akhir ini, dan karenanya aku ingin mengajukan sebuah pilihan untukmu"

Kini tatapan keduanya bertemu, membuat Hinata mau tidak mau menelan air liurnya lantaran rasa takut yang mendera.

"Pilihan apa?"

Pemuda itu mengelus pipi Hinata dengan lembut, menciptakan sensasi menggelitik ditengah suasana menegangkan yang dirasakan sang gadis. 

"Mungkin bisa dibilang sebuah perintah"

Hinata berusaha mencerna setiap perkataan yang terucap dari bibir pria didepannya, rasanya jika memang sebuah pilihan tidak mungkin Hinata menjadi pihak yang diuntungkan.

Pria seperti Uzumaki Naruto tentu tidak akan pernah membiarkan seseorang yang telah masuk ke dalam lingkarannya hidup dengan tenang.

"Cepat katakan, dan jangan berbasa - basi"

Selama berada disini, Hinata menyadari bahwa tidak ada tempat bagi orang lemah, mereka hanya akan tertindas, menangis, kemudian ditindas lagi, dan kembali menangis begitulah polanya.

Masuk ke dalam dunia hitam membuat Hinata menyadari bahwa yang kuatlah yang akan selalu menang. Tangis penderitan tidak akan merubah apa pun, hanya akan membuatmu menjadi sosok yang semakin terinjak tanpa pernah dihargai sedikitpun.

"Wow.. Tidak kusangka kelinci kecilku menjadi pemberani sekarang"

Naruto tidak dapat menyembunyikan senyumannya, sungguh sifat Hinata yang sekarang semakin membuat Naruto tertarik. Pemuda itu semakin bersemangat merencanakan niatnya.

"Okey seperti katamu, aku memang bukan tipe yang suka berbasa - basi Hinata, jadi langsung saja, kamu pilih menjadi istriku atau kamu memilih bebas tetapi aku bunuh ibumu dan menjual semua organ tubuhnya di pasar gelap, bagaimana? Pilihan yang sangat menarik bukan?"

"Kurang ajar. Dasar pria tidak waras"

Hinata tidak kuasa menahan kekesalannya, tangannya hampir menyentuh pipi pria itu, namun Naruto adalah orang yang penuh antisipasi, sehingga kini Hinatalah yang mendapat tamparan keras dari pria itu.

"Berani menaparku, Jalang! Sungguh kamu ini tidak tahu terima kasih, aku masih berbaik hati menawarkan kebebasan untukmu dengan syarat yang mudah untuk dipenuhi"

Naruto mengeratkan cengkramanya pada kedua tangan Hinata, sontak membuat gadis itu meringis karena menahan sakit di pergelangan tangannya.

"Kamu ini bodoh atau dungu? Kamu fikir aku akan menukar kebebasanku dengan nyawa ibuku? Tentu tidak! Bajingan seperti kamu tentu akan memilih pilihan kedua jika berada di posisiku. Ibumu pasti menjadi perempuan yang sangat sial karena telah membesarkan anak seperti..."

PLAK!

"Tutup mulut sialanmu itu, rasanya kamu memang selalu ingin dikasari"

Ucap pria itu dengan nada tinggi. Naruto menatap remeh pada sosok Hinata yang kini terlihat ketakutan, pria itu menghembuskan nafasnya kasar, mencoba meredam segala emosi yang seketika menguar. 

"Oke. Jadi kesimpulannya kau memilih untuk mejadi istriku? Bukan begitu HINATA sayang"

Suaranya kembali melembut, perubahan emosi Naruto membuat Hinata bergidik ngeri. Pria itu bagai bom waktu, seolah tidak tahu kapan akan meledak. Hinata hanya dapat terdiam, bekas tamparan tadi masih terasa di pipinya, rasanya perih dan panas.

Naruto kembali tersenyum, karena dialah pemenangnya kali ini. Pria itu bergegas pergi meninggalkan Hinata yang masih terdiam tanpa merubah posisi. Namun ketika tangan pria itu hampir mencapai knop pintu, perkataan Hinata membuatnya sedikit terkejut.

"Aku lebih memilih mati"


<><><><><><>
Mati Rasa
<><><><><><>

Mati RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang