3. Fakta Sepatu Lusuh

2.1K 446 57
                                    

Song; Whee In ft. Junkey - Anymore


Keesokan harinya, seperti biasa, Jihoon melangkahkan kakinya di Filofrosine High School. Wajahnya semakin pucat dan jangan lupakan bisikkan dari sekitar yang semakin riuh itu. Mereka menatap Jihoon tajam, seolah ingin mengulitinya. Lelaki mungil itu terus melangkah dengan sepatu lusuhnya.

"Untukmu!" Seorang pria dengan senyumnya yang tampan tiba-tiba saja datang pada Jihoon. Menyodorkan sebuah kotak besar berwarna hitam.

Itu sepatu.

Jihoon bergeming. Ia tak menyangka atas perilaku Soonyoung. Jemari lentiknya mengambil kotak berbungkus plastik tersebut dari tangan Soonyoung. Lelaki yang lebih tinggi itu tersenyum lalu merangkul bahu Jihoon.

"Jangan pernah kau memaki sepatu lusuh itu lagi ke sekolah. Jangan permalukan aku," bisik Soonyoung dengan senyum yang terpatri di wajahnya.

Seketika napas Jihoon tersendat. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan perlakuan yang Soonyoung. Masih sempat pula dia tersenyum seolah baru saja melakukan sesuatu yang tidak menyakiti hati Jihoon.

Jihoon ingin sekali menamparnya, namun apalah dayanya. Tak berkuasa. Anak seorang pemilik sekolah akan selalu menang. Memiliki satu hal mutlak seperti kepopularitasan dan kekuasaan atas apapun yang ia mau.

Hidup memang tidak adil.

---

Siang itu, benar-benar panas. Lelaki berparas manis itu kian menundukkan kepalanya ke atas meja dan seketika ia ambruk tanpa ada seseorang yang membopongnya ke ruang kesehatan, kecuali guru mereka. Teman-temannya menatap jijik ke arahnya saat pingsan tadi. Seolah hama yang harus disingkirkan.

Hingga saat Jihoon sadar, ia sudah ada di sebuah kamar megah. Suasananya sangat tidak asing bagi Jihoon. Kamar dengan cat putih dengan sofa hitam di depannya. Ini kamarnya yang dulu.

Ia menyibakkan selimut yang dikenakannya. Mengambil tas dan sepatu yang ada di sofa tersebut lalu turun ke lantai bawah.

"Kau mau kemana, Nak?" Suara itu pun sangat tidak asing di telinganya. Suara orang yang paling dibencinya di dunia ini.

Ayahnya.

Jihoon menghela napasnya dan melirik sinis ke arah ayahnya. "Aku mau pulang ke apartemenku," jawabnya dingin.

"Disinilah dulu. Kau masih sakit," balasnya lembut.

Jihoon berbalik ke arah dimana ayahnya berbicara. "Sejak kapan kau peduli padaku? Kau tidak usah bersikap baik padaku hanya karena untuk mendapatkan restuku. Aku tetap pada pendirianku, aku tidak akan menerima kedatangan wanita lain di kehidupanku. Aku tidak ingin eomma baru!" serunya.

Lelaki paruh baya itu menghela napasnya. "Tapi Ji, Appa tidak bisa membesarkanmu seorang diri..."

"Apa aku tidak salah dengar? Kau tidak pernah menyentuhku selama eomma masih ada. Kau selalu sibuk dengan pekerjaan. Aku anak eomma, bukan anakmu!" serunya lantang. Wajahnya memerah menahan amarah dan ia menggenggam erat plastik berisikan sepatu tersebut.

Jihoon mengangguk pelan. "Memang sekarang kita kaya. Banyak harta dan bahkan apapun yang aku inginkan bisa aku beli. Tapi, apa bisa kau mengembalikan kembali ibuku yang sudah tiada?"

"Maaf, Ji..." lirihnya.

"Untuk apa meminta maaf. Kata maafmu tidak bisa mengembalikan ibuku yang telah meninggal. Beliau meninggal karena ulahmu. Ia sakit sampai harus berjuang sendiri di rumah sakit. Kau kemana saat ibuku sekarat? Berada di club dengan wanita jalang itu?"

Jihoon pergi seraya membanting pintu rumah megah itu-yang lebih pantas disebut istana. Ia sudah menahan air matanya sedari tadi.

Terlalu menyakitkan jika dihadapkan dengan kenyataan. Tubuh ringkihnya yang kian hari kian memburuk dan juga kenangan tentang ibunya tidak mudah untuk dilupakan. Bagaimana ibunya menderita kanker lambung stadium akhir dan harus meninggal saat Jihoon baru saja masuk Filofrosine High School.

Sesampainya, ia menumpukkan sepatu pemberian Soonyoung di lemari yang penuh dengan sepatu-sepatu baru yang ayahnya berikan. Ia tidak pernah memakai atau bahkan menyentuhnya. Sepatu lusuh ini pemberian mendiang ibunya. Ibunya membeli sepatu ini dari uang hasil ia bekerja. Bahkan saat ibunya pulang membawa sepatu itu, Jihoon sudah tertidur pulas di kamarnya. Saat ia bangun, ibunya sudah terbujur kaku di dalam bathtub.

Orang-orang berteriak si sepatu lusuh, sebenarnya hati dari namja mungil itu sakit. Namun, ibunya pernah berpesan untuk tidak menangis dan harus menjadi anak yang kuat. Ya, Jihoon kuat!

Namun untuk malam ini, izinkan ia menjadi anak yang lemah sehari saja. Menangis dengan menyerukan nama mendiang ibunya. Benar perkataan Soonyoung, wajahnya sudah semakin memucat seiring berjalannya waktu. Sakit di bagian perutnya pun kian menjadi. Mual dan terkadang ia memuntahkan makanan yang telah Jeonghan-asisten ayahnya yang ia pinta untuk mengawasi Jihoon, buatkan.

Ayahnya tidak pernah tau atas penyakitnya yang kian parah dari hari ke hari. Jihoon terlalu pandai menyembunyikan. Ia bersyukur tidak punya teman. Karena ia hanya takut jika ia pergi, akan ada yang menangis tersedu-sedu atau bahkan depresi karenanya. Ia tidak ingin membuat orang lain bersedih. Hatinya terlampau lembut hingga tidak ingin membalas perlakuan mereka.

Soal Soonyoung, ia tidak akan pernah menyetujui penawaran itu. Karena sekali lagi ditekankan, Jihoon tidak ingin membuat siapa pun terluka lagi.

catetan: Maaf buat beberapa FF harus di unpublish yaa, karena ada sesuatu...

Setelah FF ini beres aku bakal kasih tau semuanya:)

Casanova | SoonHoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang