Setipis Bayang-3

7.4K 724 15
                                    

Gadis yang duduk bersila di atas bantal lebar di atas lantai putih itu menatap dalam diam seorang pria yang menjelaskan sesuatu yang tak ia mengerti dan tak mau ia mengerti. Yang ia lihat adalah tatapan sendu mamanya, lalu mamanya keluar dari ruangan yang luas dan bermandikan cahaya bulan dari jendela kaca di plafon.

Pria yang berwajah teduh itu tersenyum mengulurkan tangannya pada sang Gadis.

"Mengapa Paman menyuruhku duduk di sini?" tanya si Gadis.

"Panggill saja Paman Silas, Ashlyn." Sang Pria menge alkan namanya.

"Paman belum jawab pertanyaan Ashlyn. Itu buat apa?" tanya Ashlyn pada Silas yang mengeluarkan sebuah lentera berpintu kaca. Di atasnya ada pegangan dari besi bundar selebar telapak tangan.

Lentera itu ia buka pintu kacanya dan menyalakan api di dalamnya. Ashlyn terkesima, selama yang ia tahu lentera atau lilin yang ia jumpai selalu berwarna kuning dengan semburat oranye di sumbunya.

Tapi kali ini berbeda. Lentera itu berwarna biru, biru seperti langit dan lautan yang menyatu di sumbunya. Ruangan itu kini berpendar biru terang, ia tak kalah terkejut pada lilin-lilin yang ada di atas meja.

Ia yakin sedari tadi tak melihat Paman Silas berdiri untuk menyalakan lilin yang ada di atas meja, seberang ruangan. Barulah ia menatap wajah teduh pria di depannya dengan seksama, bermandikan lentera yang berada di tengah mereka.

"Untuk apa lenteranya, Paman?" tanya Ashlyn menunjuk lentera yang Silas punya.

"Pengantar," jawab Silas tersenyum.

"Pengantar? Maksudnya apa?" tanya Ashlyn.

"Ketakutan dan keberanian sering kali bersinggungan. Ketakutan bisa berubah menjadi keberanian saat kita mempertahankan sesuatu, takut ia akan pergi dan hilang dari pandangan dan keberanian menahannya pergi. Berani menantang takdir, menipunya dan menawar. Kau melihatnya?" tanya Silas setelah berbicara yang tak ia mengerti.

"Apa itu, Paman Silas? Mengapa apinya seperti itu?" tanya Ashlyn yang beringsut maju perlahan mengikuti api yang menari di atas sumbunya.

Ashlyn mengangkat wajahnya untuk bertanya lebih lanjut, saat itulah pandangannya menggelap. Ia tak menemukan wajah pria yang teduh bermandikan cahaya lentera biru. Ia merasa pusing dan dingin. Kegelapan merenggut kesadarannya dan terkulai lemas dalam dekapan Silas.

Ruangan itu tak sepenuhnya gelap, karena rembulan menyinari tepat di atas roof window yang terbuat dari kaca bening. Silas tersenyum dan menaruh tubuh gadis kecil sepuluh tahun yanh histeris ketika melihat darah, karena trauma kecelakaan merenggut papanya.

Demi masuk ke dalam ruangan itu setelah Silas membuka pintu. Seketika Demi berjalan cepat mendekati puterinya yang tertidur di atas bantal bundar yang besar sebagai alasnya.

"Dia tak apa 'kan?" tanya Demi pada Silas.

"Dia hanya tertidur, dia akan bangun lima sampai sepuluh menit lagi." Silas menjelaskan.

"Apa dia masih takut lagi jika melihat warna merah?" tanya Demi memastikan.

"Ingatan itu kusembunyikan, yang ia tahu kalian kecelakaan dan dia pingsan," tutur Silas.

"Aku tahu kau tak bohong padaku, aku percaya itu." Demi meyakini perkataan Silas.

"Ada banyak hal yang penting bagiku dari pada bermain dengan membohongi orang lain." Silas melepas lipatan tangannya di dada.

"Terima kasih sudah membantuku," ujar Demi berterima kasih.

"Sama-sama." Silas meninggalkan Demi yang menunggu puterinya sadar.

OUR STORY [The End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang