"Kapan kalian akan memberikan cucu untuk Ibu?"
Suara seorang wanita berusia setengah abad memecah keheningan di ruang tamu keluarga Bagaskara itu.
Pria dengan paras tampan yang duduk di seberang wanita itu tersenyum getir. Dia menghela napas berat. Selama lima tahun terakhir, setiap kali berkunjung ke rumah orang tuanya, pertanyaan itu yang selalu diajukan oleh sang ibu hingga ia pun sangat hafal.
"Sabar, ya, Bu. Kami juga sudah berusaha untuk mendapatkan momongan," ujar Bayu—pria tampan—selembut mungkin, takut jika menyakiti wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya.
Rida—wanita paruh baya—mencebik kesal. Sudut matanya menatap tajam wanita muda dengan kerudung kuning kunyit yang menutupi kepalanya. Wanita yang telah menggantikan posisinya untuk merawat serta mengayomi putra semata wayang keluarga Bagaskara itu.
"Sabar, Sabar! Kamu kira, Ibu bisa hidup sampai seribu tahun lagi? Sampai kapan Ibu harus menunggu? Ibu sudah ingin cepat-cepat gendong cucu. Bahkan, ada teman Ibu yang sudah punya tiga cucu. Sedangkan, Ibu? Satu saja tidak punya."
Wanita muda berkerudung kuning yang duduk tepat di samping Bayu itu hanya mampu merundukkan kepala dalam-dalam, takut menatap sorot mata ibu mertuanya yang sangat tajam itu.
"Kamu sih, Anggita. Kamu 'kan wanita cerdas, seharusnya kamu bisa dong menentukan masa subur kamu. Jadi, sekali tembak langsung gol. Apa perlu Ibu turun tangan supaya kamu cepat hamil?"
"Bu, sudah dong. Jangan menekan anak kita seperti itu. Jika kamu terus mendesak Anggita, yang ada nanti dia akan stres dan sulit untuk hamil." Pria paruh baya di samping Rida yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. Dia sudah tak tahan lagi mendengar sang istri yang terus-menerus menekan menantu dan putra semata wayangnya.
Suasana kian memanas. Anggita mencoba memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Dia harus segera mengakhiri perbincangan ini sebelum keadaan mulai tak terkendali. Wanita ayu itu menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan oksigen serta keberanian.
"Ibu dan Ayah tidak perlu khawatir, saya dan Mas Bayu akan segera memberikan kalian cucu. Apa pun akan saya lakukan agar kalian bisa menimang seorang cucu. Saya berjanji, Bu."
***
Anggita menatap rintik hujan yang jatuh di atas kaca mobil. Tangannya terjulur, mengusap kaca mobil yang mulai mengembun itu. Pikirannya kalut setelah mengatakan bahwa ia berjanji akan memberikan mertuanya seorang cucu secepatnya. Entah, ia mendapatkan keberanian dari mana saat mengatakan kalimat bodoh itu. Bagaimana mungkin ia semuda itu mengatakannya?
Lima tahun membangun bahtera rumah tangga bersama Bayu, Anggita belum juga dinyatakan hamil oleh dokter. Padahal, mereka baik-baik saja, tidak menderita penyakit apa pun. Ah, mungkin Allah masih belum mempercayai mereka untuk mendapatkan momongan.
"Sayang?" Bayu meraih tangan kanan Anggita untuk digenggam. Pandangannya fokus ke depan, tetapi sesekali ia melirik ke arah sang istri yang sedang dilanda keraguan itu. "Kamu baik-baik saja, 'kan? Kamu masih memikirkan tentang perkataan Ibu?" tanyanya lembut.
Anggita mengalihkan pandangan. Menatap wajah tampan sang suami yang sedang fokus menyeir dari samping, kemudian menggeleng lemah. Membuang pandangannya ke luar jendela. Lagi. "Aku takut, Mas."
"Takut kenapa, sih, Sayang?" Bayu melirik Anggita sekilas seraya mengusap lembut punggung tangan sang istri, membuat Anggita kembali mengalihkan tatapannya.
Anggita mencengkeram safety belt dengan kuat. "Aku takut tidak bisa menepati janjiku kepada Ibu dan Ayah, Mas. Aku takut ...." Buliran bening mengalir perlahan, membasahi pipi. Ia menggigit bibir bawahnya dengan kuat, berusaha menahan isak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atas Nama Cinta (Telah Terbit)
ChickLitKebahagiaan yang Anggita rasakan lengkaplah sudah. Setelah penantian selama lima tahun, akhirnya ia berhasil mengandung buah cintanya bersama sang suami, Bayu. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama setelah ia mengetahui rahasia besar yang dise...