CHAPTER 3 : KESEMPATAN PERTAMA DAN TERAKHIR

931 46 5
                                    

Anggita tersenyum simpul saat memperhatikan Delvian yang sedang asyik bermain dengan pasien anak-anak di area bermain rumah sakit itu hingga melupakan keberadaan Sekar yang sedari tadi duduk di sampingnya.

Sejak bertemu lima belas menit yang lalu, dua wanita berbeda usia itu tak kunjung membuka percakapan. Hanya sekadar berkenalan dan mengetahui nama saja.

"Terima kasih, Mbak."

Merasa ucapan itu ditujukan kepadanya, Anggita memalingkan wajah. Menatap wanita yang ia taksir usianya lebih muda darinya. Wanita berkerudung itu tesenyum tipis."

Sekar meraih tangan Anggita untuk digenggam. "Mungkin, kalau tidak ada Mbak, butuh waktu lama untuk menemukan Vian. Sekali lagi, terima kasih, Mbak."

Anggita membalas genggamannya lebih erat. "Jangan begitu. Saya senang, akhirnya Vian bisa bertemu dengan ibunya lagi." Wajah ayunya berubah sendu. Netra bermanik cokelat itu berkaca-kaca, menahan tangis. Perasaan itu muncul lagi. Perasaan di mana, ia sangat iri ketika ada wanita yang lebih muda darinya sudah menimang seorang anak.

"Mbak nangis?" tanya Sekar sarat akan kekhawatiran.

Anggita bergegas mengusap air matanya yang hampir terjatuh. Bibir bergincu itu mengulum senyum, tak ingin membuat wanita yang baru ia kenal beberapa menit lalu khawatir. "Saya baik-baik saja, kok."

"Kalau Mbak ada masalah, cerita saja ke saya. Mungkin, saya bisa bantu."

Lagi. Anggita hanya menggeleng. Mungkin, ini belum saatnya untuk berbagi kesedihan dengan orang lain. Apalagi, orang yang baru ia kenal. "Oh ya. Kenapa kalian ada di rumah sakit? Delvian sedang sakit?" tanyanya berusaha mengalihkan pembicaraan.

Sekar melepaskan genggaman mereka. pandangannya tertuju kepada sang buah hati yang sedang bermain peroston. Wajah tampannya terlihat sangat bahagia. Maklum, Sekar tak pernah mengajak Delvian bermain ke arena bermain karena terlalu sibuk bekerja, menghidupi kebutuhan mereka. Delvian pun merasa selalu terkurung di dalam rumah.

Wanita muda itu menatap Anggita sekilas, kemudian menundukkan kepalanya dalam. Melihat air muka Sekar berubah sendu, Anggita kembali mengenggam tangannya. Mengusapnya dengan lembut. Sesama wanita, ia sangat tahu apa yang tengah dirasakan oleh wanita di sampingnya itu. "Ceritalah. Saya tahu, kamu menyimpan banyak kekhawatiran. Saya siap mendengarkan segala keluh kesahmu," ujar Anggita lirih, berusaha menyakinkan.

Kepala Sekar terangkat perlahan. Netra hitamnya yang menyiratkan kesedihan menatap mata Anggita lekat, seolah bertanya apakah Anggita benar-benar ingin mendengar ceritanya.

Mengerti dengan arti tatapan itu, Anggita pun tersenyum simpul, lalu mengangguk. "Tidak apa-apa. Ceritakan saja. Saya orang yang bisa dipercaya, kok."

"Saya bingung harus memulai dari mana, Mbak," katanya tak enak hati.

"Mulai dari awal."

"Saya takut, Mbak. Saya takut tidak bisa menjaga Delvian sampai akhir, Mbak." Sekar terisak pelan. Air matanya jatuh perlahan, membasahi pipi.

Anggita mengerutkan kening. "Maksud kamu?"

"Saya mengidap kanker rahim, Mbak," ujarnya lirih, hampir terdengar seperti bisikan. Namun, Anggita dapat mendengarnya dengan jelas.

"Inna lillahi. Kamu serius?" Anggita menatap manik hitam milik wanita di hadapannya itu, berusaha mencari kebohongan di sana. Namun, wajah cantik Sekar sudah cukup menjawab keraguannya. "Apa suami kamu sudah mengetahuinya?"

Sekar menggeleng lemah. "Saya belum menikah, Mbak."

Anggita membeliakkan mata tak percaya. "Maksud kamu ... Delvian tidak punya ayah?"

Atas Nama Cinta (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang