CHAPTER 2 : DIA?

961 37 1
                                    

Saya sudah membuat jadwal dengan dokter kandungan. Pergilah ke Rumah Sakit Citra Medika!

Anggita mengembuskan napas berat ketika membaca pesan berisi perintah itu untuk kedua kalinya. Kini, ia sedang berada di perjalanan menuju rumah sakit yang telah disebutkan oleh ibu mertuanya di dalam pesan tersebut. hanya seorang diri, tanpa ditemani oleh Bayu.

Sebagai manajer product development sebuah perusahaan roti di Jakarta membuat Bayu cukup sibuk hingga harus pintar-pintar membagi waktu untuk pekerjaannya dan sang istri.

Wanita ayu dengan kerudung merah muda itu memasukkan ponselnya ke dalam tas kembali, tak berniat memainkannya sedikit pun. Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Pandangannya teralihkan ke luar jendela. Jalanan ibu kota terlihat sangat padat sekali, meskipun jam sudah menujukkan pukul setengah sepuluh pagi. Di mana, pada waktu itu semua orang sibuk dengan dunianya masing-masing. Namun, tampaknya, kendaraan yang berlalu-lalang tak akan pernah ada habisnya.

"Kita sudah sampai, Bu." Suara berat milik seorang pria yang ia taksir berusia sekitar lima puluh tahun ke atas itu menyadarkan lamunan Anggita.

Setelah membayar ongkos taksi, Anggita pun bergegas masuk ke dalam bangunan pencakar langit tersebut. Rumah Sakit Citra Medika adalah rumah sakit terbaik dan terbesar di kawasan Jakarta Pusat. Rumah sakit berlantai 12 dengan fasilitas bertaraf Internasional yang pastinya membutuhkan biaya mahal ketika berobat ke situ. Namun, Anggita tak perlu merisaukan hal itu karena semua biaya sudah ditanggung oleh ibu mertuanya yang bisa dikatakan orang berada.

Setelah menanyakan ke resepsionis, Anggita diarahkan untuk naik ke lantai 8, di mana dokter spesialis kandungan berada. Tak ingin membuang waktu, wanita itu pun bergegas menuju lantai 8 untuk menemui Dokter Nadira.

Lift berdenting pelan, tepat di lantai 8, wanita dengan balutan gamis wolfis polos berwarna senada dengan kerudungnya itu melangkah anggun keluar dari lift. Netra hitamnya mengedar, mencari papan petunjuk yang bisa mengantarkannya ke ruangan sang dokter.

Anggita urung melangkah ketika didengarnya suara tangis seseorang yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Penasaran dengan suara tangis tersebut, Anggita melangkah pelan, menghampiri sumber suara tersebut.

Seorang anak kecil berusia sekitar lima tahun tengah duduk bersandar di dinding sembari menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Bahu anak itu sedikit bergetar karena menangis. Orang-orang yang berlalu-lalang di koridor sama sekali tak menghiraukan keberadaannya. Bahkan, tak ada satu pun dari mereka yang menghampiria anak tersebut untuk sekadar menanyakan apa yang terjadi.

Anggita berjalan menghampiri anak malang itu. Hatinya tergerak ingin membantu. Anggita duduk tepat di samping anak tersebut. mengusap bahu kecilnya yang rapuh.

"Kamu kenapa, Sayang?" Suara lembut milik Anggita membuat anak tersebut menurunkan kedua tangan dari wajahnya. Dia masih menangis sesengukan seraya menatap Anggita dengan penuh selidik, takut jika wanita di depannya itu adalah penjahat yang akan menculiknya.

Anggita tersenyum tipis. Anak itu memiliki rupa yang sangat tampan. Manik cokelat itu mengingatkanya pada Bayu.

"Jangan takut. Tante orang baik, kok. Nama kamu siapa?" Anggita bertanya sekali lagi ketika anak itu tak kunjung menjawab pertanyaan sebelumnya.

Sembari menyeka air mata di pipi, anak itu menjawab dengan suara serak, "Delvian."

Anggita berusaha menahan tawa ketika mendengar suaranya yang begitu menggemaskan. Tangannya tak tahan ingin mengusap rambut cepak bocah tampan itu. "Kenapa kamu menangis, Delvian? Di mana mamamu?"

Tangis Delvian kembali pecah, membuat Anggita bingung dibuatnya. "Ada apa, Delvian?"

"Mama ... Mama, Delvian enggak tahu Ibu ada di mana." Tangis anak itu semakin kencang. "Tadi, Delvian pergi sama Mama, tapi tiba-tiba Mama ngilang gitu aja." Delvian mengucek kedua matanya yang mulai memerah karena terlalu lama menangis.

"Cup ... cup, jangan nangis, Sayang. Tante akan bantu kamu untuk menemukan Mama. Jadi, jangan nangis, ya?" Anggita berusaha menenangkannya.

Tangis Delvian mulai berhenti. Netra cokelatnya berbinar. Menatap Anggita penuh harap. "Tante janji, ya?" Dia mengacungkan jari kelingkingnya yang begitu mungil.

Anggita mengangguk yakin. "Tante janji," ucapnya seraya menautkan kelingkingnya dengan kelingking mungil itu.

***

"Delvian!"

"Delvian!"

Seorang wanita muda berlari menyusuri koridor lantai 7 di sebuah rumah sakit. Memanggil-manggil anaknya seperti orang kesetanan. Tak ia hiraukan cibiran dari pengunjung lain, yang terpenting baginya saat ini bisa menemukan putranya yang hilang entah sejak kapan.

Sekar—wanita muda—merutuki kebodohannya yang tak menyadari sang putra hilang. Padahal, tadi ia sudah menyuruh Delvian untuk menunggu selagi ia diperiksa oleh dokter, tapi memang dasar anak itu yang hiperaktif, disuruh diam sebentar saja ia tak mau.

"Delvian!" Tubuh rapuhnya luruh bersamaan dengan bulir bening yang sedari tadi ia tahan. Merasa putus asa karena tak kunjung menemukan sang putra. Sudah tiga lantai ia susuri hanya untuk menemukan putra semata wayangnya. Namun, hasilnya nihil.

"Kamu di mana, Nak?" Bibir pucatnya bergetar menahan isak tangis.

"Mama!"

Suara nyaring yang tak lagi asing baginya tiba-tiba menggema di seluruh penjuru koridor. Sekar memalingkan muka ke belakang. Wajah pucatnya kembali semringah mendapati sang buah hati tengah berlari kecil ke arahnya sembari merentangkan tangan.

Sekar mendekap tubuh Delvian dengan erat, seolah-olah tak ingin kehilangan sang buah hati untuk kedua kali. Mengusap rambut hitam pekat milik Delvian dengan lembut. "Kamu ke mana saja, Sayang?" Sekar melepas pelukannya. Menangkup kedua pipi gembil Delvian. "Mama sangat mengkhawatirkan kamu. Mama takut terjadi sesuatu sama kamu." Wanita muda itu kembali memeluk tubuh mungil Delvian. Air matanya merebak. "Mama tidak sanggup jika harus kehilangan kamu."

Bocah tampan itu menghapus air mata sang ibu yang mengalir di pipi. "Mama kenapa nangis? Maafkan Vian, Ma. Vian memang nakal. Vian janji enggak akan pergi tanpa izin Mama," sesalnya kemudian memeluk Sekar kembali. Cukup lama mereka saling berpelukan hingga tak menyadari bahwa ada seorang wanita yang sedari tadi berdiri di belakang mereka. Menyaksikan adegan kecil antara ibu dan anak itu membuatnya merasa iri sekaligus terharu.

"Kamu kok bisa menemukan Mama di sini?" tanya Sekar setelah melepaskan pelukan mereka.

Delvian mengembungkan pipi gembilnya, membuat siapa pun yang melihat akan merasa gemas ingin mencubit pipi bakpao itu. "Tadi, ada yang menolong Vian waktu Vian tersesat, Ma." Delvian memalingkan muka, mencari sosok wanita cantik yang telah membantunya tadi. Netra bermanik cokelat itu berbinar ketika menemukan malaikat penolong—baginya.

"Itu Tante Gita, Ma. Dia yang udah nolong Vian." Delvian menunjuk Anggita yang masih bergeming di tempat.

Sekar mengikuti arah telunjuk sang putra. Netra dengan manik hitam pekat itu membelalak seketika. Tubuhnya membeku. Keringat dingin bercucuran di sekujur tubuh. "Dia?" 

Atas Nama Cinta (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang