Part 1

18.8K 667 11
                                    

Bagaimana rasanya mencintai seseorang? Apakah perasaan mencintai seseorang akan membuatmu tergila-gila pada mereka? Menjadi posesif? Terobsesi hingga kau ingin membunuh orang lain demi mendapatkan cintamu? Kalau begitu, apa kau yakin itu disebut cinta? atau, hanya sebatas obsesi saja.

***

"Apa rencanamu begitu lulus SMA?" tanya seorang guru padaku siang itu.

Aku terdiam sesaat, memikirkan tentang apa yang paling aku inginkan. Bu Dea menatapku, menunggu jawaban dariku.

"Saya.. Belum memikirkannya. Saya hanya ingin lulus dengan segera," jawabku disambut seulas senyum dari Bu Dea.

"Saya yakin kamu akan sukses nantinya. Kamu termasuk siswa yang berprestasi dan tekun, apapun impianmu, pasti kamu akan meraihnya."

Sebuah senyuman menggantung di bibirku. "Saya harap begitu. Terima kasih, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu," ujarku berpamitan sambil mengambil buku konsultasi dari atas meja. Aku melangkah keluar dari ruangan itu dan berjalan pelan menelesuri koridor sekolah menuju kelas.

Langkahku terhenti sejenak, menyempatkan diri untuk mengedarkan pandangan ke gedung sekolah yang sedang tenang lantaran jam pelajaran telah di mulai. Akhirnya, aku menginjak kelas 3 SMA. Waktu yang kutunggu-tunggu setelah sekian lama. Alasannya? Karena aku ingin segera lulus dan hidup bebas.

"Pagi, Kak Laura." Dua orang siswi yang berjalan melewatiku memberi salam sambil tersenyum ramah.

"Pagi," sahutku dengan seulas senyum. Senyumku pudar begitu mereka berlalu meninggalkanku seorang diri.

Aku kembali melanjutkan langkahku menuju kelas. Jam pelajaran ke-empat akan segera dimulai. Begitu masuk ke kelas aku disambut dengan hingar-bingar. Canda tawa terdengar di penjuru ruangan. Teman-temanku hidup dengan keremajaan mereka. Namun, aku seakan terpisah dari mereka,dari keremajaan itu.

"Laura.." panggil Natasha, seorang teman sekelas yang cukup popular. Ia menyodorkan undangan berwarna pink kepadaku. "Hari minggu datang ke ulang tahunku ya," ujarnya padaku.

Aku memandangi undangan itu sekilas lalu memamerkan senyum "Oke, aku pasti datang," jawabku sambil kembali ke tempat dudukku. Kudengar bahwa undangan Ulang tahun itu sangat terbatas, tak semua orang diundang ke sana. Natasha si siswi populer itu hanya mengundang orang-orang tertentu yang masuk ke dalam lingkaran standart pertemanannya. Dan, ia menganggapku sebagai salah satunya. Reputasiku memang semenakjubkan itu di mata mereka.

*

Aku melajukan mobilku memasuki halaman rumah. Aku memang menyetir sendiri ke sekolah setelah papa menghadiahiku mobil dan mengurus SIM-ku.

Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah yang telah kutinggali selama 3 tahun terakhir. Aku tinggal sendirian di Jakarta. Papa membelikan sebuah rumah yang meskipun tak terlalu besar, namun terletak di kawasan yang strategis dan elit. Mungkin ini juga agar mempermudahnya jika sedang ada urusan di Jakarta.

Bisa dibilang, aku adalah anak yang mandiri. Aku mengurus segala keperluanku sendiri. Biasanya aku bangun pukul 6 pagi, berolahraga sebentar, membuat sarapan untukku sendiri lalu berangkat ke sekolah. Sepulang sekolah, biasanya aku langsung pulang ke rumah jika sedang tidak ada les tambahan lagi. Aku bukanlah anak populer yang senang bergaul, sebaliknya aku lebih senang menyendiri, tenggelam dalam tumpukan buku.

Papa mengirimiku uang bulanan yang sangat lebih dari cukup di tanggal 1 setiap bulannya, seperti upah seorang karyawan. Mungkin ia menanggapku begitu. Aku selalu menggunakan uang yang dikirimnya dengan baik. Sebagian kugunakan untuk keperluan sekolah, biaya hidup sehari-hari, sedikit berfoya-foya, dan sisanya kuinvestasikan dalam bentuk deposito yang akan kutarik setelah aku tamat SMA.

The LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang