Aku rasa, pria bernama Leo itu bukan tipikal pria yang mudah menyerah. Untuk kesekian kalinya ia membuntutiku ke sekolah atau pun ke kafe langgananku. Sudah kukatakan padanya, aku tak berniat masuk ke dunia entertaiment, namun ia tak juga berhenti membujukku.
"Maaf, tapi masih banyak orang lain yang sangat menginginkan menjadi aktris atau pun model. Kenapa kamu membuang-buang waktu padaku?" tanya tak habis pikir saat untuk kesekian kalinya ia menawariku hal yang sama.
"Karena aku bisa melihat aura bintang padamu."
Aku tersenyum geli. Leluconnya benar-benar lucu. "Jangan membuatku tertawa dengan lelucon seperti itu. Untuk terakhir kali kukatakan. Aku tak tertarik dengan hal itu sama sekali."
"Oke, baiklah. Aku akan menyerah sekarang. Tapi, jika kamu berubah pikiran..."
"Aku tidak akan berubah pikiran," tandasku.
"Yah, baiklah," ujar pria itu akhirnya. "Aku hanya menjalankan pekerjaanku."
Aku menatapnya sekilas lalu kembali membaca novel di tangannku. Aku harusnya sudah menamatkan novel ini jika pria itu tak terus-menerus mengangguku.
"Oh ya, kenapa setiap sore kamu ke sini sendirian?" tanyannya tiba-tiba hingga membuatku kembali mendongak dari buku yang sedang kubaca. Dahiku berkeru. "Karena aku suka. Kenapa?"
"Tidak. Aku hanya sedikit penasaran," ujarnya lalu menatap buku di tanganku. "Kamu penggemar Haruki Murakami?" tanyanya lagi secara tiba-tiba. Aku melihat skeilas buku di tanganku lalu menatapnya.
"Aku melihat kamu membaca Kafka on the Shore waktu itu dan sekarang kamu juga sedang membaca buku Haruki Murakami yang berjudul..." ia berpikir sejenak.
"Norwegian Wood," ucapku memberi tahu.
"Ya, Norwegian Wood, " timpalnya.
"Kamu pembaca Haruki Murakami juga?" tanyaku menegakkan posisi dudukku. Baru kali ini aku tertarik untuk berbicara dengan pria itu.
Namun, ia menggeleng. "Aku hanya pernah membaca Kafka on the Shore dan aku tidak terlalu suka dengan novelnya."
"Kenapa?" tanyaku tak paham. Sejauh ini aku menyukai novel-novel penulis Jepang itu. Aku sudah membaca beberapa novelnya dan tak pernah mengecewakanku.
"Jujur saja aku tidak menamatkannya karena novelnya terlalu tebal, ada begitu banyak misteri di dalamnya dan plotnya berjalan sangat lambat..."
Aku menerima pendapatnya, membaca buku ini memang perlu kesabaran dan ketenangan agar dengan mudah kita memasuki dunia yang diciptakan Murakami.
"Maaf jika aku bicara terlalu jujur soal penulis favoritmu.."
"Tidak masalah," ujarku. "Aku bisa menerima pendapatmu kok."
"Boleh aku jujur lagi?" tanyanya lagi padaku.
Aku meletakkan novel itu di atas meja dan mengangguk.
"Sebenarnya aku tak begitu mengerti jalan ceritanya, bisa kamu memberiku spoiler-nya?"
Aku mengulum senyum dan menarik kursiku lebih rapat. Pria itu melakukan hal yang sama, ia bersiap mendengarku. Kuharap ia tak menyesal, karena aku benar-benar akan menceritakan seluruh isi novel itu padanya. Sekali aku berbicara soal novel favoritku, sulit bagiku untuk berhenti. Dan benar saja, kami menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk sekadar mengobrol soal novel. Untuk pertama kalinya, aku menghabiskan waktu dengan orang asing selama itu.
"Tadinya aku nggak mengerti kenapa kamu menolak kesempatan emas ini. Padahal anak-anak lainnya mengejar kesempatan ini. Tapi, setelah menghabiskan waktu denganmu, aku mengerti bahwa kamu berbeda dari anak-anak lainny," ujar pria itu berujar saat kami keluar dari kafe.
Aku tersenyum sekilas. "Aku memang berbeda dari anak-anak lainnya."
"Perbedaan itu yang membuat kamu kelihatan spesial," ujarnya lagi sambil menatapku. Aku terenyak sesaat. Namun, tak mengatakan apa-apa lagi.
"Kalau begitu, sampai jumpa, Laura." Pria itu melambaikan tangan dan berjalan menjauh. "Kalau kamu butuh teman untuk mengobrol tentang apapun, kamu bisa menghubungiku. Kamu masih menyimpan kartu namaku, kan?" katanya dari kejauhan.
Aku mengangguk. Kami berpisah di pelataran parkir. Pria itu terlihat mengendarai sepeda motornya dan pergi meninggalkanku yang masih duduk di balik kemudi. Aku menghela napas. Mengapa aku merasa begitu nyaman mengobrol panjang lebar dengan pria asing itu?
*
Aku menatap notifikasi nominal dana masuk ke rekening yang tertera di layar ponselku. Pria itu tak pernah terlambat satu hari pun mengirimnya, berbanding lurus denganku yang tak pernah membiarkannya menunggu semenit pun dalam mengucapkan terima kasih.
Aku kembali mengkalkulasikan rencana pengeluaran bulan ini. Setidaknya selama 8 bulan ke depan, aku masih bisa menyimpan dana untuk hidup selama setahun setelah aku tamat SMA dan lepas dari pria itu.
Setelah tamat SMA mungkin aku akan bekerja sambil kuliah untuk memenuhi kehidupanku. Aku akan meninggalkan rumah ini dan seluruh fasilitas yang diberikannya. Aku hanya akan membawa seluruh uang yang kusimpan itu dan pergi entah kemana. Aku sendiri belum tahu akan kemana aku pergi, yang penting tak lagi dalam belenggu pria itu.
Aku menyalakan laptopku dan mulai membrowsing tempat yang bagus untuk tinggal. Haruskah aku keluar negeri? Mungkin prosesnya akan lebih sulit, namun tidak berarti tidak mungkin. Tanganku bergerak cepat mengetik berbagai tujuan yang menarik. Aku punya waktu beberapa bulan untuk menyiapkan rencana sempurna ini.
Memikirkan apa yang sedang kurencanakan saat ini membuatku tersenyum sendiri. Leo benar. Aku memang berbeda dari anak-anak lainnya. Aku sama sekali berbeda.
Tiba-tiba saja aku teringat pada Leo. Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah di kafe itu, sekitar 3 minggu yang lalu. Sejak saat itu, aku tak pernah melihatnya mengikutiku lagi. Aku tak pernah menghubunginya dan ia juga tak meminta nomor handphone-ku.
Jariku berhenti mengetik dan bergerak menarik meja belajarku. Kuambil sebuah kartu nama yang kuletakkan di sana dan kupandangi lama. Mengapa hatiku tergerak untuk menghubunginya? Kuraih ponselku dan kuketik nomor itu di sana.
"Halo," terdengar suara pria itu di ponselku.
Aku ragu untuk berbicara dan berencana untuk mengakhiri panggilan segera.
"Laura.." panggilnya tiba-tiba hingga membuatku mengurungkan niatku sebelumnya.
"Leo.." panggilku. "Bagaimana kamu tahu kalau ini nomorku?"
"Hanya intuisi saja. Entah kenapa intuisiku berkata kalau kamu akan meneleponku hari ini."
Dahiku berkerut sama mendengar perkataannya. Bagaimana mungkin?
"Apa kamu punya waktu hari ini? Apa kita bisa bertemu?" tanyanya tiba-tiba. Aku pun berpikir sejenak sebelum akhirnya mengiyakannya ajakannya.
"Baiklah, sampai bertemu nanti, Laura."
"Ya," sahutku lalu telepon terputus. Aku meletakkan kembali ponselku di atas meja dan mengembalikan kartu nama itu di dalam laci meja belajarku.
Aku tak begitu yakin mengapa aku ingin bertemu dengannya. Tak seperti biasanya yang selalu menjaga jarak dengan orang lain, aku malah ingin bertemu dengannya lagi, menghabiskan waktu bersamanya. mungkin karena saat bersamanya, waktu terasa berjalan dengan begitu cepat. Lebih cepat. Aku benar-benar ingin waktu berjalan cepat sehingga hari yang kelulusanku bisa segera tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lover
Romance18+ Laura (18thn) dikenal sebagai gadis sempurna di mata orang lain. Cerdas, cantik, baik, dan kaya. Namun, orang-orang tak sadar bahwa gadis itu hidup dengan sisi kelam yang membelenggunya Kesempurnaan itu hanyalah ilusi semata. Ia hidup di bawah k...