Kakiku menelusuri koridor sekolah dengan lambat. Aku melirik arloji putih yang melingkar di pergelangan tanganku untuk memastikan bel berbunyi 15 menit lagi. Koridor ramai dengan siswa-siswa yang saling bercanda, mengobrol, tertawa, dan lainnya. Namun, aku merasa kesepian di tengah keramaian.
Terkadang terbesit keinginan untuk hidup seperti mereka. Melewati masa remaja dengan normal, punya sahabat, jatuh cinta, dan melakukan hal-hal yang menyenangkan lainnya.
Sejauh ini, aku menjalani hidupku dengan cukup baik. Aku bersikap sopan dan ramah pada siapa saja. Namun, ada jarak yang harus aku jaga. Aku tak membiarkan orang lain memasuki lingkar kehidupanku. Punya sahabat berarti akan ada orang yang ingin tahu kehidupan pribadiku. Oleh sebab itu, aku hanya menganggap mereka semua sebagai teman. Sekadar teman dan mereka tidak perlu tahu kehidupanku yang sebenarnya.
Mereka cukup tahu bahwa aku adalah putri dari seorang pengusaha pelayaran di Brunei.
***
"Ini minumannya," seorang waiter meletakkan chocolatte di mejaku. Aku pun berterima kasih dan kembali melanjutkan buku yang sedang kubaca di kafe langgananku tersebut. Seorang diri.
Lalu, siapakah pria itu? Pria yang kupanggil papa di depan orang lain. Ia adalah Om Alex.
Aku mengenalnya sebagai tuan dari ibuku. Ibuku bekerja padanya saat kami masih tinggal di Pontianak sebagai salah satu juru masak rumahnya. Ibuku turut membawaku tinggal di rumah mewah mereka. Sampai suatu hari, ibuku jatuh sakit. Istri pria itu memilih untuk merumahkan ibuku, alasannya ia takut seisi rumah mereka ikut-ikutan sakit.
Aku frustasi. Aku hanya seorang gadis berusia 12 tahun yang tak tahu apa yang bisa kulakukan untuk kesembuhan ibuku. Hingga pria itu akhirnya datang menjenguk ke kontrakan kami. Ia membawa ibuku ke rumah sakit. Membayar biaya pengobatan ibu selama hampir 2 tahun hingga akhirnya ibuku menyerah pada penyakitnya saat usiaku menginjak 14 tahun.
Om Alex adalah satu-satunya orang yang ada di sisiku saat itu. Selama 2 tahun itu, ia mencukupi kehidupan kami serta membayar biaya pendidikanku di sana. Rasa terima kasihku bertumpuk-tumpuk dan aku tak tahu bisa membalasnya dengan apa.
Setelah ibu tiada, tanpa sepengetahuan keluarganya, ia masih memenuhi kebutuhanku. Ia selalu menemuiku untuk menghiburku dan membantuku melewati rasa sepi.
Saat itu aku semakin dewasa, kehidupan membuatku jauh lebih dewasa dari usiaku dan aku pun menyadari, bahwa Om Alex memperlakukanku dengan cara berbeda. Caranya memandangku, caranya menyentuhku, memelukku, semuanya berbeda. Bodohnya aku yang menganggap ia memperlakukanku seperti putrinya. Nyatanya, ia memiliki ketertarikan dalam konteks berbeda padaku. Hubungan complicated kami dimulai dari sana.
Pernikahan tanpa catatan sipil, pernikahan di hadapan Tuhan atau entah apapun itu namanya. Yang pasti tak resmi di mata hukum dan negara. Lagipula, hal itu semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan birahinya saja. Mungkin ia masih takut pada Tuhannya.
Di luar itu, kami tak pernah berlaku layaknya pasangan. Jadi, janji pernikahan itu bisa disebut hanya lelucon belaka dan aku pun tak pernah menganggapnya serius. Toh, ia berjanji untuk menyekolahkanku dan memenuhi semua kebutuhanku.
Saat ia mulai sibuk dengan bisnis pelayarannya, ia mengirimku ke Jakarta untuk memulai kehidupan SMA yang baru. Ia adalah wali resmiku yang artinya segala kehidupanku masih berada di bawah wewenangnya. Itu adalah wasiat dari ibuku sebelum ibuku meninggal. Aku tak tahu bagaimana proses perwalian itu berlangsung.
Aku tak tahu sampai kapan akan menjalani kehidupan take and give ini dengannya. Hingga kuputuskan batasnya sampai aku tamat SMA. Dimana aku bisa hidup mandiri dan lepas dari semua hal itu. Sampai hari itu tiba, aku akan menjalaninya seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lover
Romance18+ Laura (18thn) dikenal sebagai gadis sempurna di mata orang lain. Cerdas, cantik, baik, dan kaya. Namun, orang-orang tak sadar bahwa gadis itu hidup dengan sisi kelam yang membelenggunya Kesempurnaan itu hanyalah ilusi semata. Ia hidup di bawah k...