2

21K 1K 2
                                    


Salwa melarang kedua orangtuanya untuk ikut mengantar ke bandara, beda cerita dengan Meta yang memaksa ikut. Di dalam taksi benak Salwa penuh dengan mimpi itu. Mimpi yang sama didapatnya setelah istikharah. Ia tidak bisa melihat lelaki itu, tapi menggenggam tangannya terasa sangat nyata meski hanya dalam mimpi.

"Kak?"

"Ah, ya?"

Meta melipat tangan sebal, "Kakak mendengar yang Meta katakan?"

"Hm, ya," jawab Salwa ragu. "Tentang oleh-oleh, kan?"

Meta menggeleng heran. Percuma, ia harus menjelaskan lagi semuanya dari awal.

"Bukan ya?" Salwa tersenyum minta maaf. "Jadi, ada apa?"

"Beberapa sahabat Meta bilang, kalo Bang Zian sebenarnya sudah menikah Kak." Meta menelaah ekspresi Salwa yang sama sekali tidak terkejut. "Kakak sudah mendengarnya?"

"Ya. Aku juga menanyakan itu kepada Zian..."

"Lalu?" potong Meta penasaran. Salwa hanya diam. "Jadi Kakak ke sana untuk mengatakan kepada orangtua Bang Zian? Sesuatu yang sudah jelas mereka lebih tahu!"

Salwa masih tetap bungkam dengan mata yang sekarang melihat ke luar jendela taksi.

"Kak itu tidak masuk akal. Kenapa Kakak yang harus repot-repot mengeluarkan banyak biaya dan tenaga, sementara harusnya mereka yang datang ke rumah kita dan memohon maaf," jelas Meta berang. "Meta memang sudah menduga Zian itu pecundang jaman now!"

Sudut bibir Salwa terangkat, "Lalu aku wanita malang jaman now?"

Meta juga ikut tersenyum. Marahnya sedikit luntur. "Kakak harusnya tidak pergi," katanya pelan, seperti memohon.

"Aku harus memastikan semuanya," kata Salwa keras kepala.

"Kakak memang keterlaluan. Bagaimana kita menjelaskan kepada Mama-Papa kalau Zian pecundang jaman now itu benar-benar sudah menikah dibelakang Kakak?"

Salwa tertawa. Dan itu sangat janggal dimata Meta. Barangkali kakaknya mulai sedikit gila.
"Harusnya kamu menghiburku, bukan malah memojokkan seperti ini," komentar Salwa tanpa heran.

Meta mengangkat bahu, "Meta sudah melakukannya, Kakak sekarang tertawa."

Salwa mengangguk-angguk. "Semoga saja gosip itu tidak benar."

Meta menelaah wajah muram Salwa yang kembali. Bagaimana seorang bisa begitu picik, membual hanya demi kesemuan semata. Terlebih yang jadi korban adalah kakaknya.

Salwa membuka pintu taksi, "Rahasiakan dulu. Nanti aku yang akan menjelaskan semuanya."

Meta mengangguk. "Sampaikan salam kami pada Kak Neli."

"Insyaallah."

+++

Salwa ingat pernah sekali dirinya mengunjungi keluarga Zian, beberapa bulan yang lalu. Dulu perasaannya berdebar gembira, debaran yang sekarang terasa malah menyesakkan. Bagaimanapun semuanya bergulir, dalam hati Salwa ingin selalu meyakini bahwa takdir Allah yang tetap akan terjadi. Ia tidak ingin kepercayaannya luntur barang secuilpun kepada Dzat Maha Sempurna, yang Salwa yakini selalu memberikan hal terbaik bagi hamba-Nya.

Salwa semakin dekat dengan rumah itu, yang bercat putih gading dan kentara nyaman. Ia mengucap pelan basmalah dan melepaskan belenggu emosi daripada menguasainya. Setelah mengucap salam, seseorang keluar menyambutnya.

"Assalamu'alaikum, Ma," ulangnya dengan perasaan sukacita.

Wanita paruh baya itu mempercepat langkah dan seketika memeluk Salwa. Tanpa menunggu balasan salam, Salwa kini membalas pelukan itu beserta kerinduan yang sama. "Mama apa kabar?"

Sepertiga Malam Bersamamu (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang