Apa yang kau pikirkan tentang lelaki yang siap sedia ketika kau butuhkan? Ah, bahkan dengan memikirkannya pun aku tak bisa berhenti tersenyum. Dia masih berdiri memilah-milah aksesoris laptop untukku dengan sesekali mengecek raut wajahku. Dia tidak pernah bertanya apa yang kusuka atau apa yang tidak kusuka, katanya sudah tersirat jelas dalam wajahku. Aku sendiri tidak mengerti, tapi karenanya aku menganggap dia begitu manis.
"Satu minggu yang lalu kau bilang ingin membeli buku, apa kau sudah jadi membelinya?" tanyanya begitu dia mendapatkan barang kumau.
Aku hanya mengggeleng pelan. Tangannya yang besar mengusak kepalaku lembut. "Kau mau mencarinya sekarang? Sebagai ganti permintaan maafku karena tak bisa mengantarmu hari itu, bagaimana kalau aku yang bayar?"
Dia tidak pernah membayariku tanpa persetujuanku. Dia sangat menghormati prinsipku yang tak boleh mengeluarkan uang hasil meminta orang tua pada orang yang belum tentu menjadi bagian dalam hidupmu hingga tua nanti.
"Tenang saja, ini uang hasil kerja keras ku. Aku kerja part time di tempat ayah Jisung."
Ya, dia pernah mengatakan membantu keluarga Jisung yang baru saja membuka kedai makanan, dan orang tua Jisung terutama Ayah Jisung--Mark--tidak menerima penolakan saat memberinya uang. Karena prinsip ayah Jisung itu bekerja sama dengan mendapat uang. Sebagai orang yang sangat kaya, Changbin tidak pernah mengeluh atau merasa direndahkan dengan apa yang Mark lakukan. Ia malah dengan bangga memamerkan gaji pertamanya padaku. Dia tidak malu sama sekali bekerja di sebuah kedai kecil meski background keluarganya tidaklah mungkin kekurangan. Itu adalah alasan kesekian yang membuatku bertahan dengannya.
"Kenapa melamun, huh?" Rangkulannya di pundakku begitu hangat. Ah, ingin aku berlama-lama dalam peluknya. Kulingkarkan kedua tanganku dipinggangnya, kutatap matanya yang biasanya tajam berubah lembut saat menatapku.
"Bagaimana kalau kita makan saja? Aku lapar."
"Benarkah? Kenapa kau tak bilang dari tadi?"
Matanya yang tampak khawatir membuatku tersenyum menenangkan. "Tidak usah khawatir, kau 'kan tahu aku mudah lapar." Sembari memamerkan gigi, aku menariknya ke kasir.
***
Keluar dari toko, aku menyeret Changbin menuju sebuah warung tenda yang menjual ttepokki. Dahi Changbin sudah berkerut saat aku duduk di salah satu kursi plastik yang disediakan.
"Katanya kau lapar, kenapa ke sini?"
"Aku mau makan ini, Sayang."
"Kenapa? Jangan bilang kalau kau datang kemari karena takut aku kehabisan uang. Kau tahu aku mendapat uang banyak dari Ayah Jisung."
"Aku tahu, tapi bukan karena itu. Sudah, duduklah di sini." Aku menepuk kursi disebelahku sebelum memesan dua porsi--satu untukku satu untuk Changbin.
Kalau mau jujur, sebenarnya apa yang dikatakan Changbin memang benar, aku tidak mau dia membayar mahal untuk makananku. Dia bisa menyimpan uangnya untuk keperluannya sendiri. Meski wajahnya masih kecut, dan aku yakin dia tahu maksudku mengajaknya makan di tempat seperti ini, dia tidak lagi mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya memakan makanannya.
"Changbin-ah, kau marah padaku?"
"Tidak."
Aku merangkul lengannya dan mendekatkan wajahku padanya. "Kau tidak marah tetapi langsung berubah menjadi pendiam. Kau marah, bukan?"
"Aku tidak marah."
"Hanya kesal?" tebakku. Dia mengangguk. "Jangan kesal begitu, aku begini juga karena memikirkanmu. Aku ingin kau menabungnya atau membeli sesuatu yang kau inginkan. Yang paling penting aku sudah merasakan hasil jerih payahmu, bukankah itu sudah cukup? Nanti menjadi sebuah kebiasaan kalau kau tidak berpikir untuk menyimpannya hanya karena kau juga mendapat uang dari orang tuamu."
"Ah, kenapa aku tidak pernah bisa mengalahkanmu?"
Chanbin mencium puncak kepalaku dan berhenti mendebatku. Dia kembali bersikap manis dan banyak berbicara seperti biasa. Aku mengeratkan pelukanku, menghirup aroma khas-nya yang begitu menenangkan.
💞💞💞
2-2-18
KAMU SEDANG MEMBACA
Stray Kids
Short StoryKumpulan cerita pendek tentang member Stray Kids #331 (19-01-18)