Lembar Kedua

1.7K 173 45
                                    


Kalau saja hidup ini bisa diumpakan sebuah perjanjian. Kalau saja hidup ini adalah sebuah perjanjian dengan Sang Pencipta saat masih berada di tempat paling kokoh di dunia. Saat dimana manusia masih dalam kandungan. Sebuah perjanjian untuk meninggalkan dunia dengan berbagai cara. Memilih meninggalkan dunia disaat perjanjian itu dilakukan, atau mmeilih menatap dunia terlebih dahulu sebelum nanti kembali kepada Sang Pencipta. Para pengecut memilih pergi saat itu juga saat diceritakan bagaimana kejamnya dunia. Dan para pejuang dan pemenang memilih untuk menatap dunia, menghadapi dunia sebelum nantinya kembali ke pangkuan Sang Pencipta. Dan meskipun telah diceritakan bagaimana nanti mereka akan hidup, mereka tetap tidak tahu apa takdir yang telah digariskan Tuhan untuk mereka. Hingga keluh kesah, cacian dan pujian silih berganti datang. Kehidupan itu seperti roda yang berputar, terus berputar hingga roda itu berhenti. Kehidupan itu layaknya fatamorgana di gurun pasir yang gersang, dimana oase adalah keajaiban. Kehidupan itu begitu semu. Mengeluh tidak akan merubah hidup mereka. Merutuki takdir tidak akan mengubah takdir mereka. Karena hidup adalah pilihan, karena hidup dan semua keputusan ada di tangan mereka. Memilih berjuang atau mundur, memilih tinggal atau pergi, semua tergantung pada diri mereka sendiri. Tuhan sudah mengatur semuanya, namun tidak bisa dipungkiri kalau sebagai manusia, mereka juga bisa merencanakan apa yang terbaik untuk mereka, dengan doa dan permohonan kepada Tuhan. Sungguh, demi apapun Tuhan tidak pernah meninggalkan hamba-Nya sedikitpun. Meskipun tak terlihat namun Tuhan selalu ada bersama mereka, mengawasi setiap langkah kaki makhluk-Nya. Namun, namanya juga manusia, makhluk yang seringkali berbuat khilaf.



JIKA



Nathan melangkah santai disepanjang koridor sembari terus memikirkan tentang Jika, teman barunya yang misterius. Nathan menghela nafas panjang, memikirkan itu membuatnya tidak tidur semalaman dan berakhir dengan kantung mata yang terlihat mengerikan. Membuatnya lagi – lagi mendapat ceramahan yang membuat kepalanya terasa berdenyut. Ayahnya dan wanita itu menceramahinya ini – itu. membuatnya berpikir kenapa orang dewasa selalu percaya dengan pemikirannya sendiri tanpa mengindahkan pendapatnya, tanpa mengacuhkan penjelasannya. Dia tidak mengerti kenapa mereka begitu egois dengan sikap mereka yang menurutnya sangat kekanakan. Tidak bijak sama sekali. 

"Ka, lo udah nemu konsep buat acara ulang tahun sekolah??" 

lagi – lagi entah kenapa telinga Nathan begitu sensitif mendengar nama Jika, dia melihat Jika bersama beberapa teman sekelasnya tengah berkumpul disalah satu gazebo yang tersedia di depan halaman kelas yang luas dan asri itu. tatapan Nathan hanya tertuju pada Jika yang hari ini memakai jaket berwarna biru berpolet putih di bagian kerah dan lengannya. Laki – laki itu masih terlihat pucat, atau bisa dikatakan memang selalu pucat. 

"Ada sih,, tapi gak tahu bagus apa enggak," Jika menjawab sembari memainkan kertas yang dia lipat menyerupai burung di tangannya. 

"Emang mau gimana konsep lo??" Jika menghela nafas panjang, kemudian mengangkat bahunya. 

"Sebenarnya gue belum tahu juga sih, tapi gue udah ada plan, lagian itu acara masih dua bulan lagi kan??" jawaban Jika membuat semua yang ada disana terdiam, memikirkan hal yang sama. 

Iya, kalau besok Jika tidak meninggalkan mereka

Dan pemandangan itu membuat Nathan bingung, kepalanya terasa pusing memikirkan semua itu. Nathan memilih melangkahkan kakinya menuju ruang kelas, dia ingin mengistirahatkan tubuhnya barang sebentar saja. 

"Gue baru ngawang tema," entah apa yang membuat langkah Nathan berhenti begitu mendengar suara Jika. 

"Gimana kalau sorry and thanks for all," tema yang disebutkan Jika membuat bulu kuduk mereka merinding, pun dengan Nathan. Yang Nathan tahu kata itu biasanya digunakan sebagai ucapan perpisahan. 

JIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang